Pesantren dan Terobosan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Selasa, 03 Maret 2020 - 08:05 WIB
Pesantren dan Terobosan Pemberdayaan Ekonomi Umat
Pesantren dan Terobosan Pemberdayaan Ekonomi Umat
A A A
Ahmad Zayadi
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur

KONSEP arus baru ekonomi umat sebagaimana yang dilontarkan oleh Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin dalam berbagai kesempatan pada hakikatnya berupaya menawarkan terobosan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Konsep ini menegaskan pentingnya sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan mandiri dalam mengatasi kesenjangan ekonomi. Tidak itu saja, konsep ini juga bertekad mempercepat redistribusi dan optimalisasi sumber daya alam secara arif dan berkelanjutan. Arus baru ekonomi umat mencita-citakan timbulnya kebangkitan ekonomi yang melindungi seluruh umat.

Keinginan itu beralasan. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dengan memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pusat perekonomian ekonomi Islam dunia. Sebab, selain didukung oleh besarnya jumlah penduduk muslim, Indonesia juga memiliki faktor pendukung lain yang sangat strategis bila dibandingkan dengan negara lain, yaitu adanya pesantren.

Pesantren ada jauh sebelum Indonesia merdeka serta tumbuh dan besar dari masyarakat. Pesantren diakui sebagai motor perkembangan Islam menjadi agama yang paling banyak dianut di Indonesia dan yang paling menentukan watak keislaman Indonesia. Harapan agar pesantren sebagai basis arus baru ekonomi umat tidak terlepas dari sifat awalnya, yakni lembaga di masyarakat yang berfungsi sebagai pusat pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Pesantren juga berperan sebagai mitra pemerintah sekaligus sebagai pendamping masyarakat dalam program pembangunan. Fakta selama ini menunjukkan bahwa berbagai aktivitas pesantren di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan serta kegiatan-kegiatan lainnya yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat telah memberi manfaat bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Mengingat posisi strategis pesantren sebagai basis arus baru ekonomi umat, perlu ada upaya untuk mendorong penguatan perannya sebagai institusi pemberdayaan masyarakat. Tentunya harus terlebih dahulu memahami pesantren dan belajar dari pengalaman pemberdayaan masyarakat oleh pesantren untuk kemudian menjawab tantangan yang dihadapi oleh lembaga tersebut di era digital ini.

Undang-Undang (UU) Nomor 18/2019 tentang Pesantren jelas hadir sebagai landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan pesantren yang dapat memberikan rekognisi terhadap kekhasannya. UU ini sekaligus sebagai landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangannya dalam menyelenggarakan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat, pesantren melaksanakan aktivitas dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.

Bentuknya antara lain pelatihan dan praktik kerja lapangan, penguatan potensi dan kapasitas ekonomi pesantren dan masyarakat, pendirian koperasi, lembaga keuangan, dan lembaga usaha mikro, kecil, dan menengah. Kemudian juga pendampingan dan pemberian bantuan pemasaran terhadap produk masyarakat, pemberian pinjaman dan bantuan keuangan, pembimbingan manajemen keuangan, optimalisasi, dan kendali mutu, pelaksanaan kegiatan sosial kemasyarakatan, pemanfaatan dan pengembangan teknologi industri.

Adapun partisipasi masyarakat dapat berupa pemberian bantuan program dan pembiayaan, masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mendukung kegiatan, mendorong pengembangan mutu dan standar, mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral, serta memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi pesantren.

Dari sini jelas sekali bahwa UU Pesantren ini berupaya menegaskan lagi posisi pesantren sebagai entitas yang sesungguhnya melalui pemenuhan unsur-unsur pesantren (arkanul ma’had) dan jiwa pesantren (ruhul ma’had) .

Beberapa hal yang bisa diidentifikasi sebagai faktor penentu keberhasilan pesantren dalam program pemberdayaan masyarakat adalah posisi kiai atau pengasuhnya. Komitmen kiai dalam program pemberdayaan masyarakat amat berpengaruh terhadap partisipasi warga pesantren dan masyarakat terhadap program pemberdayaan yang dilakukan.

Teknologi yang kian canggih dan terus berkembang saat ini mampu mengintegrasi berbagai saluran sehingga dapat dilakukan tanpa batasan ruang dan waktu. Pesantren juga dapat menjalin kerja sama dengan pesantren lain atau lembaga lainnya di belahan dunia mana saja. Di sini, tantangannya adalah bagaimana caranya untuk saling bekerja sama dengan prinsip saling menguntungkan dan saling setara.

Banyak Berpengalaman
Tantangan ke depan pesantren bisa kian luas. Arus baru ekonomi umat yang mencita-citakan timbulnya kebangkitan ekonomi dan perlindungan umat adalah di antara tantangan yang harus dikerjakan kalangan pesantren di era digital ini. Pesantren pun menjadi strategis sifatnya mengingat posisinya yang mengakar di tengah masyarakat sebagai basis arus baru ekonomi umat.

Pemberdayaan masyarakat oleh pesantren menjadi salah satu langkah inovatif dan strategis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga pondok dan wilayah sekitarnya. Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang inklusif atau mendorong pelibatan serta berorientasi pada pemberian kemanfaatan terhadap masyarakat.

Pada teknisnya, inovasi yang dilakukan pesantren bisa dilakukan dalam tiga pola kebijakan. Pertama, kebijakan inovasi sporadis yang dilakukan oleh satu atau beberapa pesantren, tanpa adanya tema tunggal. Kedua, kebijakan inovasi yang diprakarsai oleh lembaga nonpemerintah. Ketiga, kebijakan inovasi yang diprakarsai oleh pemerintah.

Kebijakan bersifat sporadis yang dilakukan oleh satu atau beberapa pesantren berdasarkan pertimbangan bahwa kiai memiliki otoritas pada pesantrennya masing-masing. Dengan demikian, tren inovasi sangat tergantung pada kompetensi kiai dalam membaca tren perubahan dan kebutuhan yang ada di lingkungannya.

Untuk kebijakan inovasi yang diprakarsai oleh lembaga nonpemerintah antara lain pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1973 melalui Program Latihan Pengembangan Masyarakat dari Pondok Pesantren.

Tindak lanjut dari kegiatan yang dilakukan oleh LP3ES tersebut diwujudkan ketika sejumlah pengasuh pesantren dengan dukungan beberapa lembaga studi dan pengembangan masyarakat merintis berdirinya Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan kerja sama antarpesantren dalam pengembangan diri dan masyarakat di sekitarnya.

Secara sektoral, melalui berbagai kementerian, sejumlah program telah ataupun pernah dilaksanakan oleh pemerintah. Sebagai contoh Program Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pesantren dan Koperasi Pesantren yang diinisiasi oleh Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), kerja sama antara Kementerian Agama dengan Bank Indonesia, OJK, serta lembaga keuangan dan filantropi Islam lainnya. Semuanya dilakukan dalam kerangka pengembangan ekonomi umat melalui pemberdayaan ekonomi pesantren dan penguatan ekonomi syariah.

Program lainnya adalah pengembangan life skills dan pendidikan vokasi melalui penyiapan tenaga kerja lulusan pondok pesantren. Program ini antara lain hasil kerja sama Kementerian Agama dengan BKPM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian/Lembaga lainnya.

Memahami pesantren menjadi hal dasar dalam pengembangan program yang melibatkan pesantren. Tanpa adanya pemahaman mengenai apa itu pesantren dan bagaimana kekhasan pesantren akan berdampak pada program yang salah sasaran dan tidak akan memiliki dampak bagi pesantren.

Pengalaman pemberdayaan masyarakat oleh pesantren memberikan pelajaran penting akan pentingnya saling bersinergi melalui kerja sama sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal. Kerja sama juga perlu mempertimbangkan faktor keunggulan dan kekhasan masing-masing pesantren. Pesantren memiliki kemandirian, termasuk dalam melakukan inovasi.

Namun, pada saat pesantren bekerja sama dengan tetap mempertahankan kekhasan dan keunggulannya masing-masing sebagaimana pengalaman P3M, hasilnya akan lebih maksimal. Sama halnya dengan program yang diiniasi dengan pemerintah, yang apabila dilakukan secara sektoral tanpa adanya kerja sama berisiko pada salah sasaran, pemborosan anggaran, dan tumpang-tindih program.

Era digital saat ini meniscayakan pesantren untuk bisa menyesuaikan diri dengan teknologi yang terus berkembang sekaligus menjaga tradisi pesantren yang merupakan kekhasannya. Pesantren dituntut memperkuat sumber daya manusia yang kompeten dan berdaya saing tinggi berbasis keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), inovasi, dan kewirausahaan. Pada posisi ini, kiai dan pengelola pesantren dituntut untuk memperkuat literasi terhadap teknologi era digital.

Agar tetap adaptif, pesantren dapat mengatasinya dengan saling berkolaborasi dan saling belajar melalui pemanfaatan teknologi yang ada. Di sini, tantangannya adalah bagaimana caranya untuk saling bekerja sama dengan prinsip saling menguntungkan dan saling setara.

Dalam konsep arus baru ekonomi umat, cara bekerja sama antarpesantren yang sepertinya tepat adalah melalui koperasi yang menempatkan masing-masing pesantren sebagai mitra setara dan saling bekerja sama dengan prinsip saling menguntungkan dalam kerangka ekonomi syariah.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6149 seconds (0.1#10.140)