Diikuti 230 Petahana, Mendagri Perkirakan Konflik Pilkada 2020 Tinggi
A
A
A
BALI - Potensi konflik dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 diperkirakan cukup tinggi. Ini disebabkan ada sekitar 230 petahana yang bakal mengikuti gelaran tersebut.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, dari 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak 2020, sebanyak 230 daerah, kepala daerahnya baru satu kali masa jabatan. Artinya, 230 kepala daerah tersebut sebagai petahana berpotensi mencalonkan kembali.“Pemerintah daerah harus menjaga netralitas. Sebagai informasi, dari 270 pilkada nanti ada sekitar hampir 230 yang berpotensi incumbent baik kepala daerah atau wakil kepala daerah ikut bertanding,” tandas Tito di Nusa Dua Bali kemarin.
Dengan ada hal tersebut, sangat mungkin para petahana menggunakan kekuasaan untuk kemenangan pilkada. Satu di antaranya melakukan mutasi aparatur sipil negara (ASN) untuk mendukung pemenangan.“Netralitas ASN salah satu langkahnya adalah saya akan membuat surat edaran di daerah yang ada pemilihan kepala daerah tidak boleh melakukan mutasi per 8 Januari. Itu aturan undang-undang,” ungkapnya.
Tito mengatakan, mutasi terhadap ASN bisa dilakukan jika mendapat persetujuan darinya. Persetujuan akan diberikan selama bersifat genting. “Misalnya meninggal dunia, terlibat pidana pejabatnya, memang jabatan itu kosong tidak diisi, kemudian sakit permanen baru boleh lakukan mutasi. Tetapi, kalau mutasi indikasinya biasa-biasa saja, apalagi untuk setting kemenangan, salah satu upaya kita adalah pencegahan,” tandasnya.
Mantan Kapolri ini menyebut ada potensi penggunaan anggaran yang diarahkan untuk menarik suara. Satu di antaranya anggaran yang berpotensi digunakan adalah sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa).
“Di tahun ini bisa digunakan untuk program-program itu. Program-program populis, program bantuan sosial, bantuan badan itu untuk merebut konstituen pemilih. Ini sangat mungkin terjadi juga,” ungkapnya.
Tito mengatakan, ada enam variabel yang menentukan potensi kerawanan pilkada suatu daerah. Variabel ini memang berbeda dari yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Variabel yang pertama adalah netralitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
“Apakah kualitas penyelenggara pemilu di daerah itu relatif netral dan profesional? Kalau netral dan profesional, umumnya penyelenggaraan akan baik. Ini karena faktor terpenting adalah penyelenggara,” paparnya.
Variabel kedua adalah kontestan pilkada baik pasangan calon, partai politik, maupun tim sukses atau pendukung. Menurut dia, jika ketiganya tidak ada konflik, maka pilkada dapat berjalan dengan baik.
“Ada enggak konflik di daerah itu? Mereka dewasa berdemokrasi atau enggak sampai grass root-nya? Umumnya di kota-kota kalau itu relatif demokrasinya sudah cukup matang. Tetapi, daerah terpencil belum tentu,” ungkapnya.
Ketiga, dukungan pemerintah daerah. Satu di antaranya berkaitan dengan anggaran dan tidak ada konflik kepentingan. “Apakah pemda netral? Kemudian anggarannya diberikan dengan negosiasi? Kemudian tidak memanfaatkan fasilitas untuk kemenangan tertentu? (Jika) itu relatif kecil, maka daerah-daerah itu cukup aman. Tetapi, jika daerahnya sudah mengarahkan pasangan calon sendiri, itu relatif berpotensi konflik,” ucapnya.
Keempat adalah netralitas aparat keamanannya. Tito mengatakan, jika aparat keamanannya netral, mampu membuat perencanaan yang baik, dan sudah memiliki anggaran, maka relatif aman.
“Tapi, jika ada tidak netral, tidak mampu merencanakan, apalagi anggarannya tidak ada, itu agak rawan,” katanya.
Variabel yang kelima adalah kondisi media sosial, di mana akan dilihat dari seberapa banyak hoaks bermunculan. “Apakah di daerah itu muncul hoaks yang sensitif seperti politik identitas, keagamaan, kesukuan, kekerasan. Lalu muncul enggak sengketa-sengketa wilayah yang menjadi isu hangat di daerah itu. Kalau tidak ada, itu kita anggap aman,” ucapnya.
Selain itu, peranan tokoh masyarakat juga perlu dilihat dalam melihat kerawanan pilkada suatu daerah. Menurut dia, jika forum-forum di daerah bekerja dengan baik, pilkada dapat berjalan dengan baik.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi SDM Aparatur Kemenpan-RB Teguh Widjinarko mengingatkan ASN untuk menghindari konflik kepentingan. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus adil. (Dita Angga)
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, dari 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak 2020, sebanyak 230 daerah, kepala daerahnya baru satu kali masa jabatan. Artinya, 230 kepala daerah tersebut sebagai petahana berpotensi mencalonkan kembali.“Pemerintah daerah harus menjaga netralitas. Sebagai informasi, dari 270 pilkada nanti ada sekitar hampir 230 yang berpotensi incumbent baik kepala daerah atau wakil kepala daerah ikut bertanding,” tandas Tito di Nusa Dua Bali kemarin.
Dengan ada hal tersebut, sangat mungkin para petahana menggunakan kekuasaan untuk kemenangan pilkada. Satu di antaranya melakukan mutasi aparatur sipil negara (ASN) untuk mendukung pemenangan.“Netralitas ASN salah satu langkahnya adalah saya akan membuat surat edaran di daerah yang ada pemilihan kepala daerah tidak boleh melakukan mutasi per 8 Januari. Itu aturan undang-undang,” ungkapnya.
Tito mengatakan, mutasi terhadap ASN bisa dilakukan jika mendapat persetujuan darinya. Persetujuan akan diberikan selama bersifat genting. “Misalnya meninggal dunia, terlibat pidana pejabatnya, memang jabatan itu kosong tidak diisi, kemudian sakit permanen baru boleh lakukan mutasi. Tetapi, kalau mutasi indikasinya biasa-biasa saja, apalagi untuk setting kemenangan, salah satu upaya kita adalah pencegahan,” tandasnya.
Mantan Kapolri ini menyebut ada potensi penggunaan anggaran yang diarahkan untuk menarik suara. Satu di antaranya anggaran yang berpotensi digunakan adalah sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa).
“Di tahun ini bisa digunakan untuk program-program itu. Program-program populis, program bantuan sosial, bantuan badan itu untuk merebut konstituen pemilih. Ini sangat mungkin terjadi juga,” ungkapnya.
Tito mengatakan, ada enam variabel yang menentukan potensi kerawanan pilkada suatu daerah. Variabel ini memang berbeda dari yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Variabel yang pertama adalah netralitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
“Apakah kualitas penyelenggara pemilu di daerah itu relatif netral dan profesional? Kalau netral dan profesional, umumnya penyelenggaraan akan baik. Ini karena faktor terpenting adalah penyelenggara,” paparnya.
Variabel kedua adalah kontestan pilkada baik pasangan calon, partai politik, maupun tim sukses atau pendukung. Menurut dia, jika ketiganya tidak ada konflik, maka pilkada dapat berjalan dengan baik.
“Ada enggak konflik di daerah itu? Mereka dewasa berdemokrasi atau enggak sampai grass root-nya? Umumnya di kota-kota kalau itu relatif demokrasinya sudah cukup matang. Tetapi, daerah terpencil belum tentu,” ungkapnya.
Ketiga, dukungan pemerintah daerah. Satu di antaranya berkaitan dengan anggaran dan tidak ada konflik kepentingan. “Apakah pemda netral? Kemudian anggarannya diberikan dengan negosiasi? Kemudian tidak memanfaatkan fasilitas untuk kemenangan tertentu? (Jika) itu relatif kecil, maka daerah-daerah itu cukup aman. Tetapi, jika daerahnya sudah mengarahkan pasangan calon sendiri, itu relatif berpotensi konflik,” ucapnya.
Keempat adalah netralitas aparat keamanannya. Tito mengatakan, jika aparat keamanannya netral, mampu membuat perencanaan yang baik, dan sudah memiliki anggaran, maka relatif aman.
“Tapi, jika ada tidak netral, tidak mampu merencanakan, apalagi anggarannya tidak ada, itu agak rawan,” katanya.
Variabel yang kelima adalah kondisi media sosial, di mana akan dilihat dari seberapa banyak hoaks bermunculan. “Apakah di daerah itu muncul hoaks yang sensitif seperti politik identitas, keagamaan, kesukuan, kekerasan. Lalu muncul enggak sengketa-sengketa wilayah yang menjadi isu hangat di daerah itu. Kalau tidak ada, itu kita anggap aman,” ucapnya.
Selain itu, peranan tokoh masyarakat juga perlu dilihat dalam melihat kerawanan pilkada suatu daerah. Menurut dia, jika forum-forum di daerah bekerja dengan baik, pilkada dapat berjalan dengan baik.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi SDM Aparatur Kemenpan-RB Teguh Widjinarko mengingatkan ASN untuk menghindari konflik kepentingan. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus adil. (Dita Angga)
(ysw)