Gaduh Cukai Karbon hingga Pemanis
A
A
A
PEMERINTAH mewacanakan memungut cukai untuk plastik, emisi karbon, dan pemanis. Sontak, wacana tersebut kembali menimbulkan kegaduhan. Kalangan industri pun mempertanyakan wacana kebijakan baru dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu. Bahkan, beberapa pihak menanggapinya dengan sinis. Penyebabnya, pernyataan Menteri Keuangan yang mengaitkan cukai karbon tersebut dengan prevalensi diabetes melitus dan obesitas yang cenderung meningkat. Pihak yang tidak sepakat pun mengusulkan agar garam dikenai cukai. Alasannya, garam juga memiliki prevalensi terhadap penyakit hipertensi atau darah tinggi.
Sejatinya, beragam wacana itu merupakan upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan. Hanya, yang menjadi pertanyaan sejauh mana efektivitas dan seberapa besar pendapatan dari cukai tersebut. Jika dibandingkan dengan insentif pajak sebesar Rp220 triliun kepada pelaku usaha pada 2018 lalu atau setara dengan 1,5% produk domestik bruto (PDB), nilai cukai dari plastik, emisi karbon, ataupun pemanis tersebut masih kalah besar.
Ambil contoh cukai yang akan dikenakan untuk plastik adalah Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembar. Tarif yang diajukan ini menurut hitungan Kemenkeu bisa menekan konsumsi plastik hingga 50% dan potensi penerimaan cukai bisa mencapai Rp1,6 triliun. Untuk cukai produk dengan kandungan pemanis, teh kemasan tarif cukainya Rp1.500/liter. Saat ini produksi minuman teh kemasan adalah 2,191 miliar liter, dan setelah pengenaan cukai diproyeksikan akan turun menjadi 2,015 miliar liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp2,7 triliun.
Sementara itu, minuman berkarbonasi dan minuman lainnya hanya menyumbang Rp3,5 triliun. Meski pendapatan yang akan diterima tidak terlalu besar, dampaknya justru akan dirasakan oleh masyarakat, mengingat hasil akhir produk tersebut akan dibayar masyarakat sebagai konsumen. Ini tentu akan menambah beban hidup masyarakat. Begitu pula dengan cukai emisi karbon. Apabila terealisasi maka pemilik kendaraan bermotor akan mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar cukai.
Kalangan industri pun kali ini berani meneriakkan ketidaksetujuannya dengan keras. Industri plastik, misalnya, menganggap jika pemerintah menginginkan sumber pendanaan baru maka bisa mencari dari sektor lain. Misalnya mengenai tarif besar pada bahan baku impor plastik dan bahan baku plastik.
Jika pemerintah ingin mengedepankan aspek lingkungan dan kesehatan, seharusnya cukai plastik tidak hanya ditujukan untuk kantong kresek saja, tetapi juga terhadap beberapa produk plastik lainnya, seperti minuman kemasan, kemasan makanan instan, dan produk lainnya. Wacana cukai tersebut sejatinya berpotensi merugikan negara. Pasalnya, cukai berpotensi menurunkan pendapatan industri sehingga setoran pajak ke negara pun ikut berkurang.
Penerapan cukai sama saja dengan memaksa pengusaha memberikan harga jual lebih tinggi pada konsumen, sebab mau tidak mau industri harus mempertahankan margin keuntungan untuk memenuhi komponen biaya produksi lain, termasuk biaya tenaga kerja. Masyarakat akan terkena dampak karena harus membeli produk makanan dan minuman dengan harga lebih mahal. Multiplier effect -nya, daya beli masyarakat berpotensi turun.
Cukai produk plastik juga berpotensi menghambat investasi hingga USD5 miliar atau setara Rp69 triliun menurut versi asosiasi industri olefin, aromatik, dan plastik. Selain itu pertumbuhan industri padat karya itu diproyeksi melambat akibat adanya tambahan regulasi. Adapun cukai emisi karbon akan dikutip dari pabrikan dan importir. Pabrikan yang dimaksud adalah produsen dalam negeri. Mengenai pembayaran dilakukan secara berkala setiap bulannya. Pabrikan mobil di dalam negeri tentunya tak mau menanggung cukai tersebut sendirian. Seperti prinsip bisnis pada umumnya, sharing the pain, kutipan cukai itu berpotensi dibebankan kepada konsumen melalui harga jual. Hal ini akan membuat industri automotif semakin diliputi ketidakpastian.
Apalagi, sejak 2019 lalu, sektor ini cenderung melemah karena kurangnya minat masyarakat untuk membeli kendaraan baru.
Selama 2019 penjualan mobil tergerus dibandingkan dengan realisasi 2018. Meskipun yang dijaikan alasan adalah 2019 tahun politik, namun data mberkata lain. Pada 2019, pertumbuhan ekonomi nasional hanya 5,05%.Kenaikan harga sangat mungkin membuat permintaan mobil dan sepeda motor turun. Akibatnya, penjualan akan tertekan. Penjualan sepeda motor sudah turun selama empat bulan beruntun. Penjualan monil, malah lebih parah selama 13 bulan berturut-turut anjlok.
Tingginya penjualan kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor merupakan salah satu indikator pergerakan perekonomian. Dengan statusnya sebagai kebutuhan tersier, jika volume penjualan besar naik berarti daya beli masyarakat sedang tinggi karena ada kemampuan untuk membeli barang yang bukan kebutuhan pokok. Untuk menambah pemasukan keuangan negara, diperlukan daya pikir dan analisis yang brilian sehingga mampu mencari sumber yang tepat sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.
Sejatinya, beragam wacana itu merupakan upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan. Hanya, yang menjadi pertanyaan sejauh mana efektivitas dan seberapa besar pendapatan dari cukai tersebut. Jika dibandingkan dengan insentif pajak sebesar Rp220 triliun kepada pelaku usaha pada 2018 lalu atau setara dengan 1,5% produk domestik bruto (PDB), nilai cukai dari plastik, emisi karbon, ataupun pemanis tersebut masih kalah besar.
Ambil contoh cukai yang akan dikenakan untuk plastik adalah Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembar. Tarif yang diajukan ini menurut hitungan Kemenkeu bisa menekan konsumsi plastik hingga 50% dan potensi penerimaan cukai bisa mencapai Rp1,6 triliun. Untuk cukai produk dengan kandungan pemanis, teh kemasan tarif cukainya Rp1.500/liter. Saat ini produksi minuman teh kemasan adalah 2,191 miliar liter, dan setelah pengenaan cukai diproyeksikan akan turun menjadi 2,015 miliar liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp2,7 triliun.
Sementara itu, minuman berkarbonasi dan minuman lainnya hanya menyumbang Rp3,5 triliun. Meski pendapatan yang akan diterima tidak terlalu besar, dampaknya justru akan dirasakan oleh masyarakat, mengingat hasil akhir produk tersebut akan dibayar masyarakat sebagai konsumen. Ini tentu akan menambah beban hidup masyarakat. Begitu pula dengan cukai emisi karbon. Apabila terealisasi maka pemilik kendaraan bermotor akan mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar cukai.
Kalangan industri pun kali ini berani meneriakkan ketidaksetujuannya dengan keras. Industri plastik, misalnya, menganggap jika pemerintah menginginkan sumber pendanaan baru maka bisa mencari dari sektor lain. Misalnya mengenai tarif besar pada bahan baku impor plastik dan bahan baku plastik.
Jika pemerintah ingin mengedepankan aspek lingkungan dan kesehatan, seharusnya cukai plastik tidak hanya ditujukan untuk kantong kresek saja, tetapi juga terhadap beberapa produk plastik lainnya, seperti minuman kemasan, kemasan makanan instan, dan produk lainnya. Wacana cukai tersebut sejatinya berpotensi merugikan negara. Pasalnya, cukai berpotensi menurunkan pendapatan industri sehingga setoran pajak ke negara pun ikut berkurang.
Penerapan cukai sama saja dengan memaksa pengusaha memberikan harga jual lebih tinggi pada konsumen, sebab mau tidak mau industri harus mempertahankan margin keuntungan untuk memenuhi komponen biaya produksi lain, termasuk biaya tenaga kerja. Masyarakat akan terkena dampak karena harus membeli produk makanan dan minuman dengan harga lebih mahal. Multiplier effect -nya, daya beli masyarakat berpotensi turun.
Cukai produk plastik juga berpotensi menghambat investasi hingga USD5 miliar atau setara Rp69 triliun menurut versi asosiasi industri olefin, aromatik, dan plastik. Selain itu pertumbuhan industri padat karya itu diproyeksi melambat akibat adanya tambahan regulasi. Adapun cukai emisi karbon akan dikutip dari pabrikan dan importir. Pabrikan yang dimaksud adalah produsen dalam negeri. Mengenai pembayaran dilakukan secara berkala setiap bulannya. Pabrikan mobil di dalam negeri tentunya tak mau menanggung cukai tersebut sendirian. Seperti prinsip bisnis pada umumnya, sharing the pain, kutipan cukai itu berpotensi dibebankan kepada konsumen melalui harga jual. Hal ini akan membuat industri automotif semakin diliputi ketidakpastian.
Apalagi, sejak 2019 lalu, sektor ini cenderung melemah karena kurangnya minat masyarakat untuk membeli kendaraan baru.
Selama 2019 penjualan mobil tergerus dibandingkan dengan realisasi 2018. Meskipun yang dijaikan alasan adalah 2019 tahun politik, namun data mberkata lain. Pada 2019, pertumbuhan ekonomi nasional hanya 5,05%.Kenaikan harga sangat mungkin membuat permintaan mobil dan sepeda motor turun. Akibatnya, penjualan akan tertekan. Penjualan sepeda motor sudah turun selama empat bulan beruntun. Penjualan monil, malah lebih parah selama 13 bulan berturut-turut anjlok.
Tingginya penjualan kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor merupakan salah satu indikator pergerakan perekonomian. Dengan statusnya sebagai kebutuhan tersier, jika volume penjualan besar naik berarti daya beli masyarakat sedang tinggi karena ada kemampuan untuk membeli barang yang bukan kebutuhan pokok. Untuk menambah pemasukan keuangan negara, diperlukan daya pikir dan analisis yang brilian sehingga mampu mencari sumber yang tepat sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.
(kri)