Membonsai Pendidikan Tinggi
A
A
A
Saifur Rohman
Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
PEMERINTAH telah menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, pada Selasa (28 Januari 2020). Sebelumnya, selama satu dasawarsa terakhir satu demi satu peraturan tentang standar nasional untuk pendidikan dasar dan menengah diselesaikan pemerintah. Langkah ini dapat dilihat sebagai lanjutan dari proyek panjang pemerintah menyusun standar penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.
Setelah meluncurkan program kampus mereka belajar, bagaimana urgensi standar nasional pendidikan tinggi dalam pengembangan kehidupan kampus di Indonesia? Apa pentingnya kebijakan pendidikan dalam membangun manusia Indonesia ke depan?
Politik Disorientasi
Di antara berbagai masalah dan isu dalam pendidikan tinggi, isu global seperti peringkat "universitas dunia", Revolusi Industri 4.0, world class university, research university telah memperparah disorientasi politik pendidikan yang dijalankan pemerintah saat ini.
Masalah secara umum, Permendikbud Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi tidak mengandung kebaruan karena standar tersebut merupakan rangkuman peraturan-peraturan teknis tentang standar nasional untuk pendidikan dasar dan menengah. Bila melihat secara khusus, Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT) terdiri atas (1) standar nasional pendidikan, (2) standar penelitian, dan (3) standar pengabdian kepada masyarakat.
Dengan kata lain, tiga standar itu merupakan perwujudan dari tridarma perguruan tinggi yang telah dikenal selama ini. Bila direfleksikan ke dalam produk perundang-undangan yang lebih tinggi, tiga jenis standar tampak relevan dengan Undang-Undang Nomor 14/2002 tentang Guru dan Dosen. Di dalam undang-undang itu disebutkan tugas profesional dosen adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Secara tekstual, tujuan standar nasional pendidikan tinggi adalah "menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan" (Pasal 3 Permendikbud Nomor 3/2020). Jaminan itu memberikan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi melalui delapan standar pendidikan, yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses pembelajaran, standar penilaian, standar dosen, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan pembelajaran.
Jaminan Kontradiksi
Jika dilihat secara lebih mendalam, jaminan yang diberikan oleh Permendikbud Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi mengandung kontradiksi.
Pertama, standar pendidikan tinggi tidak memiliki keselarasan dengan sejumlah pasal di dalam UU Nomor 14/2002 tentang Guru dan Dosen. Permendikbud Nomor 3/2020 hanya mengambil hal pokok tentang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sementara itu, jaminan terhadap hak-hak dosen sebagai ilmuwan tidak mendapatkan tempat memadai. Sebagai bukti, Pasal 51 UU Nomor 14/2002 tentang Guru dan Dosen menyebutkan tentang hak dosen untuk kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Dengan adanya Permendikbud Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, seorang dosen bisa saja dianggap tidak memenuhi standar sementara pada saat yang sama sedang menjalankan kebebasan akademisnya.
Kedua, peraturan yang bertolak belakang ini terjadi karena Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tidak didasari oleh filsafat dasar pendidikan Indonesia sebagaimana tercantum di dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Standar pendidikan tinggi menjelaskan tentang kontrol dalam proses penyelenggaraan pendidikan, sementara pendidikan tinggi berisi civitas akademika, situasi akademik, serta kehidupan kampus yang khas. Amanat tentang mencerdaskan kehidupan bangsa dianggap bukan bagian dari penyelenggaraan standar pendidikan. Nyatanya, sampai sejauh ini belum ada "standar kecerdasan kehidupan bangsa".
Ketiga, standar pendidikan tinggi tampak membonsai pendidikan tinggi menjadi sebuah mesin penghasil sumber daya manusia untuk kebutuhan industri. Standar pendidikan tinggi tidak berorientasi menghasilkan pemikir-pemikir untuk pengembangan nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia. Contoh, jika mahasiswa teknik dapat magang di bengkel, bagaimana dengan langkah mahasiswa ilmu humaniora untuk mengasah pemikiran bermutu? Ada kehidupan di luar kurikulum yang bermanfaat untuk menjamin terlaksananya tridarma perguruan tinggi. Contoh, mimbar bebas, mimbar akademik, kelompok diskusi, komunitas-komunitas di luar unit kegiatan mahasiswa, serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.
Keempat, standar pendidikan tinggi tampak tutup mata dan menyederhanakan persoalan perguruan tinggi dalam miniatur pendidikan dasar dan menengah. Kasus-kasus ijazah aspal (asli tapi palsu), penjiplakan, kultur akademik, jualan jurnal, jualan seminar, prosiding, sindrom Scopus yang menjajah, jenjang karier akademis yang involutif, serta jasa skripsi, tesis, dan disertasi adalah contoh-contoh kasus di perguruan tinggi. Contoh lain, kasus penjiplakan yang dilakukan oleh para elite akademisi pernah marak terjadi di Indonesia, tetapi sampai sekarang belum mendapatkan penyelesaian memadai.
Kasus-kasus yang mendera pendidikan tinggi kita seperti disebutkan di atas menuntut pemerintah menyusun sebuah program yang mampu memecahkan persoalan-persoalan itu dan menjamin tidak akan terulang pada masa datang. Sebab, mengelola kehidupan kampus tidaklah sama dengan mengelola pendidikan dasar dan menengah. Bila melihat kebijakan-kebijakan yang baru saja terbit, tidak sulit untuk menyatakan bahwa politik tersebut belum tepat sasaran karena kehidupan kampus bukan sekadar proses belajar-mengajar, meneliti, dan melatih masyarakat.
Idealnya, secara sosiologis, pendidikan tinggi di tengah-tengah masyarakat menuntut adanya penciptaan sumber daya manusia yang unggul untuk industri infrastruktur dan menjadi laboratorium pemikiran untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Kehidupan kampus yang sehat dapat dilihat ketika civitas akademika mampu memengaruhi kebijakan-kebijakan publik untuk kesejahteraan bersama. Kiranya kita harus berani mengatakan cukup untuk kenyataan bahwa politik pendidikan pemerintah hanya memberikan pelajaran tentang pragmatisme pendidikan. Kita tahu, iklim material-pragmatis tidak menyumbangkan apa pun untuk kehidupan kampus.
Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
PEMERINTAH telah menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, pada Selasa (28 Januari 2020). Sebelumnya, selama satu dasawarsa terakhir satu demi satu peraturan tentang standar nasional untuk pendidikan dasar dan menengah diselesaikan pemerintah. Langkah ini dapat dilihat sebagai lanjutan dari proyek panjang pemerintah menyusun standar penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.
Setelah meluncurkan program kampus mereka belajar, bagaimana urgensi standar nasional pendidikan tinggi dalam pengembangan kehidupan kampus di Indonesia? Apa pentingnya kebijakan pendidikan dalam membangun manusia Indonesia ke depan?
Politik Disorientasi
Di antara berbagai masalah dan isu dalam pendidikan tinggi, isu global seperti peringkat "universitas dunia", Revolusi Industri 4.0, world class university, research university telah memperparah disorientasi politik pendidikan yang dijalankan pemerintah saat ini.
Masalah secara umum, Permendikbud Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi tidak mengandung kebaruan karena standar tersebut merupakan rangkuman peraturan-peraturan teknis tentang standar nasional untuk pendidikan dasar dan menengah. Bila melihat secara khusus, Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT) terdiri atas (1) standar nasional pendidikan, (2) standar penelitian, dan (3) standar pengabdian kepada masyarakat.
Dengan kata lain, tiga standar itu merupakan perwujudan dari tridarma perguruan tinggi yang telah dikenal selama ini. Bila direfleksikan ke dalam produk perundang-undangan yang lebih tinggi, tiga jenis standar tampak relevan dengan Undang-Undang Nomor 14/2002 tentang Guru dan Dosen. Di dalam undang-undang itu disebutkan tugas profesional dosen adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Secara tekstual, tujuan standar nasional pendidikan tinggi adalah "menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan" (Pasal 3 Permendikbud Nomor 3/2020). Jaminan itu memberikan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi melalui delapan standar pendidikan, yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses pembelajaran, standar penilaian, standar dosen, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan pembelajaran.
Jaminan Kontradiksi
Jika dilihat secara lebih mendalam, jaminan yang diberikan oleh Permendikbud Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi mengandung kontradiksi.
Pertama, standar pendidikan tinggi tidak memiliki keselarasan dengan sejumlah pasal di dalam UU Nomor 14/2002 tentang Guru dan Dosen. Permendikbud Nomor 3/2020 hanya mengambil hal pokok tentang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sementara itu, jaminan terhadap hak-hak dosen sebagai ilmuwan tidak mendapatkan tempat memadai. Sebagai bukti, Pasal 51 UU Nomor 14/2002 tentang Guru dan Dosen menyebutkan tentang hak dosen untuk kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Dengan adanya Permendikbud Nomor 3/2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, seorang dosen bisa saja dianggap tidak memenuhi standar sementara pada saat yang sama sedang menjalankan kebebasan akademisnya.
Kedua, peraturan yang bertolak belakang ini terjadi karena Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tidak didasari oleh filsafat dasar pendidikan Indonesia sebagaimana tercantum di dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Standar pendidikan tinggi menjelaskan tentang kontrol dalam proses penyelenggaraan pendidikan, sementara pendidikan tinggi berisi civitas akademika, situasi akademik, serta kehidupan kampus yang khas. Amanat tentang mencerdaskan kehidupan bangsa dianggap bukan bagian dari penyelenggaraan standar pendidikan. Nyatanya, sampai sejauh ini belum ada "standar kecerdasan kehidupan bangsa".
Ketiga, standar pendidikan tinggi tampak membonsai pendidikan tinggi menjadi sebuah mesin penghasil sumber daya manusia untuk kebutuhan industri. Standar pendidikan tinggi tidak berorientasi menghasilkan pemikir-pemikir untuk pengembangan nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia. Contoh, jika mahasiswa teknik dapat magang di bengkel, bagaimana dengan langkah mahasiswa ilmu humaniora untuk mengasah pemikiran bermutu? Ada kehidupan di luar kurikulum yang bermanfaat untuk menjamin terlaksananya tridarma perguruan tinggi. Contoh, mimbar bebas, mimbar akademik, kelompok diskusi, komunitas-komunitas di luar unit kegiatan mahasiswa, serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.
Keempat, standar pendidikan tinggi tampak tutup mata dan menyederhanakan persoalan perguruan tinggi dalam miniatur pendidikan dasar dan menengah. Kasus-kasus ijazah aspal (asli tapi palsu), penjiplakan, kultur akademik, jualan jurnal, jualan seminar, prosiding, sindrom Scopus yang menjajah, jenjang karier akademis yang involutif, serta jasa skripsi, tesis, dan disertasi adalah contoh-contoh kasus di perguruan tinggi. Contoh lain, kasus penjiplakan yang dilakukan oleh para elite akademisi pernah marak terjadi di Indonesia, tetapi sampai sekarang belum mendapatkan penyelesaian memadai.
Kasus-kasus yang mendera pendidikan tinggi kita seperti disebutkan di atas menuntut pemerintah menyusun sebuah program yang mampu memecahkan persoalan-persoalan itu dan menjamin tidak akan terulang pada masa datang. Sebab, mengelola kehidupan kampus tidaklah sama dengan mengelola pendidikan dasar dan menengah. Bila melihat kebijakan-kebijakan yang baru saja terbit, tidak sulit untuk menyatakan bahwa politik tersebut belum tepat sasaran karena kehidupan kampus bukan sekadar proses belajar-mengajar, meneliti, dan melatih masyarakat.
Idealnya, secara sosiologis, pendidikan tinggi di tengah-tengah masyarakat menuntut adanya penciptaan sumber daya manusia yang unggul untuk industri infrastruktur dan menjadi laboratorium pemikiran untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Kehidupan kampus yang sehat dapat dilihat ketika civitas akademika mampu memengaruhi kebijakan-kebijakan publik untuk kesejahteraan bersama. Kiranya kita harus berani mengatakan cukup untuk kenyataan bahwa politik pendidikan pemerintah hanya memberikan pelajaran tentang pragmatisme pendidikan. Kita tahu, iklim material-pragmatis tidak menyumbangkan apa pun untuk kehidupan kampus.
(jon)