NN dan Kasus TPPO

Rabu, 19 Februari 2020 - 06:31 WIB
NN dan Kasus TPPO
NN dan Kasus TPPO
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional

Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah salah satu bentuk kejahatan yang paling rumit dan paling menantang bagi para pegiat hak-hak asasi manusia (HAM). Karena bentuknya bukan kejahatan yang bersifat individu, tetapi terorganisasi dan berjejaring secara sistematis.

TPPO disebut sebagai jaringan yang terorganisasi karena melibatkan banyak pihak. Di satu sisi, ada pihak yang bertugas sebagai penyedia jasa orang-orang yang dieksploitasi, di sisi lain ada kelompok yang memperdagangkan dan kelompok yang mempekerjakan. Para penyedia jasa bekerja sampai ke desa, sekolah, RT/RW, tempat anak-anak telantar, keluarga-keluarga yang rentan, bahkan sekolah tinggi dan universitas. Bentuk eksploitasi beragam. Ada yang organ seksnya digunakan untuk mengeruk penghasilan bagi jaringan yang terlibat. Ada yang organ reproduksinya digunakan untuk melahirkan anak-anak yang kemudian dijual. Ada juga yang organ tubuhnya diambil untuk dijual kepada orang-orang yang mau membeli untuk penyembuhan penyakitnya.

Kekuasaan kelompok-kelompok itu dalam jaringan ini tidak selalu sama. Kekuatannya tergantung dari wilayah operasionalnya. Semakin besar wilayah mereka, semakin banyak jaringan dan individu yang terlibat. Jaringan ini sering menggunakan oknum-oknum aparat negara untuk mengamankan operasi mereka. Jaringan ini dapat menyuap oknum aparat di beberapa negara karena lemahnya pengawasan terhadap birokrasi, terutama di negara-negara yang sistem politiknya masih tertutup dan tidak demokratis.

Kasus-kasus perdagangan orang dapat terjadi kepada siapa saja tanpa peduli agama, etnik, warna kulit, jenis kelamin, usia atau pandangan politik. Meski demikian laporan-laporan mengenai TPPO menunjukkan bahwa yang paling banyak diperdagangkan adalah perempuan dan anak-anak. Mereka umumnya dipekerjakan dalam industri prostitusi. Laki-laki juga diperdagangkan, tetapi umumnya terjadi di dalam industri perkebunan dan perikanan. Sebagian negara Asia Timur ada yang percaya atas mitos bahwa syarat menjadi kaya-raya adalah dengan menggauli perempuan di bawah umur telah menciptakan pasar perdagangan anak-anak yang sangat lukratif dan masif. Dalam konteks Indonesia sudah ditemukan sejumlah jaringan yang menangguk keuntungan paling sedikit Rp20 juta per orang yang berhasil dipaksa, dikelabui, diintimidasi, diculik, dan dibujuk karena telanjur terjerat utang.

Beberapa negara di Timur Tengah yang sangat tergantung dengan pekerja asing juga telah membuat permintaan tenaga asing menjadi tinggi. Dan ini menjadi daya tarik bagi sindikat perdagangan orang untuk mengisi peluang tersebut. Orang-orang ini berakhir sebagai layaknya budak karena kerap tidak dibayar, dibayar tidak layak, hidup dalam kondisi tidak manusiawi, bahkan juga dieksploitasi secara seksual.

Eksploitasi seksual memang bentuk perdagangan orang yang paling banyak diidentifikasi. Jumlahnya mencapai 79% dari kasus perdagangan orang di seluruh dunia dan kemudian diikuti kerja paksa (18%) (UNODC,2019). Meski demikian angka eksploitasi seksual yang lebih besar tidak berarti bentuk eksploitasi lain yang terjadi dalam praktik perdagangan orang tidak penting. Angka eksploitasi seksual cenderung terlihat besar karena kasus ini yang paling mudah didokumentasikan dan ditemukan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya tidak dilaporkan. Seperti kerja paksa, perbudakan rumah tangga, pernikahan paksa, pengangkatan dan jual beli organ manusia; dan eksploitasi anak-anak untuk mengemis.

Para korban yang diperdagangkan baik sebagai pekerja di industri prostitusi ataupun industri pada umumnya selalu berasal dari kelompok di dalam masyarakat yang rentan. Kelompok yang rentan adalah kelompok masyarakat yang mudah untuk diperdagangkan karena faktor kemiskinan, budaya, rendahnya pendidikan, kekerasan, dan sebagainya. Sebagian besar kasus memang melibatkan korban yang berasal dari daerah miskin yang birokrasim pemerintahannya korup dan tidak terawasi dengan baik. Korban dikelabui dan diiming-imingi pekerjaan atau pernikahan demi membantu keluarga. Bahkan keluarganya diberi utang terlebih dahulu sehingga tidak bisa menolak. Di sejumlah daerah di Jawa dan Nusa Tenggara Timur juga sudah ditemukan modus menawarkan beasiswa dan program magang ke luar daerah dan ke luar negeri yang ternyata berujung di rumah bordil.

Tapi ada juga kasus seperti yang baru-baru ini diproses di Batam. Remaja perempuan diculik oleh pembantunya dan dibawa menuju Malaysia. Trafficking in Person Report (2019) yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri AS menyebutkan bahwa kasus perdagangan orang di Kamboja terjadi karena kurangnya pekerjaan. Hal itu menyebabkan beberapa perempuan dan anak perempuan meninggalkan rumah di daerah perdesaan untuk mencari pekerjaan di kota tujuan wisata. Di Vietnam dan Indonesia juga marak kasus perkawinan kontrak di mana perempuan dijanjikan akan dinikahi laki-laki tertentu, diberi penghidupan lebih baik, tetapi berujung pada eksploitasi seksual dan organ reproduksi. Di banyak kasus, pelaku perdagangan manusia mengeksploitasi mereka dalam perdagangan seks, termasuk di panti pijat, bar karaoke, dan taman bir.

Perdagangan orang di India juga marak terjadi karena kaitannya dengan industri tambang. Para pemilik tambang biasanya sengaja menyasar warga miskin di India untuk bekerja di tambang. Awalnya mereka memberikan uang yang besar di depan, tetapi mengenakan bunga yang tinggi sehingga warga tersebut terjerat dalam utang dan harus bekerja seumur hidup untuk melunasi utang itu.

Kasus NN

Uraian singkat di atas ingin menggambarkan bahwa kasus eksploitasi seksual seperti yang dialami NN di Sumatera Barat bukanlah sebuah kasus sederhana. Kasus yang dialami NN dan perempuan-perempuan lain yang dilacurkan tidak cukup dilihat sepihak dengan kacamata moral. Karena hal itu hanya akan melahirkan penyelesaian yang berhenti di standar moral saja dan tidak memberangus faktor ekonomi-politik yang melindungi jaringan sindikat itu sendiri. Mengkriminalisasi NN adalah suatu kesalahan besar. Karena sesuai dengan UU Nomor 14/2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak disebutkan dengan jelas bahwa persetujuan korban yang diprostitusi dianggap tidak relevan. Alasannya karena ia dianggap telah dikontrol kemauannya oleh orang lain, bahkan dikelabui dan diintimidasi untuk kemudian dieksploitasi. NN menurut UU tersebut adalah korban yang patut dilindungi, direhabilitasi, dan diberi segala fasilitas untuk pulih dari trauma yang dialami, bahkan diberi kesempatan bekerja, belajar, dan berlatih untuk keluar dari jerat TPPO.

Argumentasi ini tidak untuk melegitimasi atau bahkan mendukung praktik prostitusi, tetapi untuk menyadarkan bahwa kasus prostitusi hanyalah bagian kecil dari praktik jaringan perdagangan orang yang sebetulnya dapat diselesaikan apabila anggota DPR benar-benar ingin menggunakan wewenangnya untuk membasmi praktik perdagangan orang.

Penyelesaian kasus prostitusi harus menggunakan dua pendekatan secara langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung adalah dengan menyelidiki dan menemukan organisasi yang menjalankan jaringan sindikat tersebut. Langkah paling penting untuk Indonesia adalah untuk mengakhiri kesenjangan identifikasi dan respons cepat kasus di tingkat kabupaten dan provinsi. Selama ini di tingkat nasional sudah ada Gugus Tugas TPPO yang dinaungi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak berdasarkan Perpres 69/2008. Bahkan ada gugus tugas daerah dan alokasi dana. Tapi karena aparat yang bertugas belum punya keberpihakan pada TPPO, bahkan lebih senang memberi label perempuan yang dilacurkan sebagai “penyakit masyarakat” atau menangani kasus sebagai masalah ketenagakerjaan, masalah pelanggaran UU ITE, masalah perlindungan anak, maka penanganan TPPO masih saja jauh dari harapan. Meskipun di pintu-pintu ke luar negeri sudah lebih ketat pengawasannya, sejumlah jalur tikus masih luput dari pengawasan dan perdagangan orang antarwilayah di Indonesia makin marak.

Pendekatan tidak langsung adalah dengan memperkuat kerja sama dengan kelompok-kelompok masyarakat dan lembaga-lembaga non-pemerintah (LSM) yang selama ini aktif memantau modus kejahatan TPPO dan mendampingi para korban.

Mereka yang tergabung dalam Jaringan Peduli Pemberantasan TPPO seperti ECPAT Indonesia, Indonesia ACT, Migrant Care, Kalyanamitra, Institute of Resource Governance and Social Change di NTT, Komisi Keadilan Perdamaian Pastoran Migran dan Perantau di KWI, Aliansi Down to Zero, Padma dan Jaringan Nasional Anti-TPPO adalah contoh yang selama ini punya keterampilan dan kepekaan akan deteksi dini penanganan korban sesuai dengan aturan nasional maupun internasional.

Dalam sharing selama ini, tidak ada satu pun kasus penanganan TPPO di negara mana pun yang berhasil efektif bila mengabaikan kerja sama dengan kelompok masyarakat dan lembaga-lembaga non-pemerintah. Indonesia ditantang untuk jadi yang terdepan dalam penanganan TPPO, apalagi selama lima tahun ini Indonesia sudah berubah dari “sekadar” negara transit dan penerima korban menjadi negara pengirim.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3372 seconds (0.1#10.140)