Jokowi Diminta Jawab Harapan Publik Soal HAM dan Intoleransi

Senin, 17 Februari 2020 - 19:32 WIB
Jokowi Diminta Jawab Harapan Publik Soal HAM dan Intoleransi
Jokowi Diminta Jawab Harapan Publik Soal HAM dan Intoleransi
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan kepadanya dengan kembali menunjukkan komitmen untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi.

Hal tersebut disampaikan Ketua SETARA Institute Hendardi, menanggapi pernyataan Jokowi pada Kamis, 13 Februari 2020. ”Pernyataan Jokowi tentang prioritas agenda pemerintahannya, menunjukkan bahwa nyaris tidak ada harapan bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi yang masih menjalar di tengah masyarakat, di sekolah, kampus, bahkan di tubuh aparatur sipil negara serta TNI/Polri,” ujar Hendardi dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Senin (17/2/2020).

Hendardi menambahkan, diletakkannya HAM bukan dalam agenda prioritas oleh Presiden menggambarkan pemerintah tidak memiliki pengetahuan holistik soal HAM. Ditegaskan, hak asasi manusia adalah paradigma bernegara. Bukan semata kasus atau pelanggaran HAM.

Karena itu, Jokowi semestinya meletakkan HAM sebagai paradigma dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan investasi, penguatan SDM dan agenda pembangunan lainnya. ”Dengan pemahaman seperti itu, agenda HAM bisa diintegrasikan dalam seluruh kinerja pemerintahan,” kata Hendardi.

Penggiat HAM ini mengingatkan, tugas konstitusional untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia yang di dalamnya memuat jaminan atas keadilan, penanganan pelanggaran HAM dan jaminan kesetaraan dalam beragama atau berkeyakinan bukanlah tugas yang harus dipilih-pilih oleh seorang presiden.

”Semua tugas konstitusional melekat pada seorang presiden dalam suatu periode pemerintahan. Karena itu, presiden dibekali kewenangan mengangkat menteri dan kepala badan di berbagai bidang agar bisa menjalankan tugasnya secara bersamaan,” urainya.

Sepanjang para pembantu presiden memiliki kepekaan dan kecakapan dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, lanjut Hendardi, tidak ada alasan bagi pemerintah menunda tugas-tugas konstitusional tersebut. ”Apalagi, khusus agenda penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi, merupakan agenda yang tertunda pada periode pertama, di mana secara eksplisit termaktub dalam Nawacita Jokowi 2014,” tegasnya.

Hendardi menambahkan, presiden memiliki banyak perangkat dan instrumen untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Gagasan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran yang tercantum dalam Nawacita 2014, misalnya, disebut Hendardi sebagai model yang paling moderat untuk merintis penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

Fokus komisi ini, kata Hendardi, adalah mengungkap kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non-yudisial. ”Jika Komisi ini selesai menjalankan tugas melakukan pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya,” tuturnya.

Sayangnya, menurut Hendardi, Jokowi justru mengurungkan niatnya pada periode kedua ini, dengan alasan prioritas kepemimpinannya adalah memajukan ekonomi, kesejahteraan dan penguatan SDM. ”Pertanyaannya, lalu kapan janji penuntasan bidang HAM akan dipenuhi, sedangkan Jokowi sudah memasuki periode kedua?”

Sementara itu, di bidang penanganan intoleransi, masih menurut Hendardi, komitmen Jokowi tampak hanya ditujukan untuk menjustifikasi tindakan politiknya dalam menunjuk sejumlah menteri yang dianggap memiliki kecakapan menangani intoleransi. ”Nyatanya, sejumlah menteri dan kepala badan/lembaga tidak memiliki agenda terpadu dan mendasar dalam menangani intoleransi,” kata Hendardi.

Dia menunjuk peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang terus terjadi dan pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4237 seconds (0.1#10.140)