Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Dinilai Jalan di Tempat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menanggung sendiri usaha penyelesaian pelanggaran HAM berat. Sedikitnya ada 12 peristiwa yang diduga ada pelanggaran HAM yang sulit dibawa ke pengadilan.
Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM menjadi salah satu agenda utama politik Indonesia. Semua usaha itu dimulai sejak 20 tahun lalu atau saat tragedi Trisaksi.
"Ini garis demarkasi masa lalu yang otoriter dengan semangat baru yang mengusung perubahan. Perubahan yang diinginkan, HAM menjadi acuan utama dalam penyelenggaraan negara," ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Selasa (12/5/2020).
(Baca juga: Eks Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Ada di Tangan Pemerintah)
Penyelesaian HAM masa lalu untuk memperbaiki proses bernegara ke depannya. Kenyataannya, penyelidikan hingga selesai yang dilakukan Komnas HAM selalu sulit menyeret sebuah kasus ke pengadilan HAM. "Kejaksaan Agung yang menolak hasil penyelidikan Komnas HAM," ucapnya.
Tembok besar juga menghadang dari situasi politik nasional. Amiruddin mengungkapkan hari ini orang-orang yang diduga bertanggung jawab terhadap peristiwa HAM malah menjadi pembuat kebijakan. Angin politik yang berubah itu membuat upaya menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat menjadi macet total.
Amiruddin secara tegas mengatakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sesungguhnya tidak berjalan. Mati suri. Kini, Komnas Ham yang memikul beban besar penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.
"Kita bisa lihat dari 12 peristiwa yang selesai diselidiki Komnas HAM. Tiga bisa dibawa ke pengadilan tapi tidak menghasilkan norma hukum baru. Lainnya tidak kunjung ditindaklanjuti," tuturnya.
Adapun 12 kasus itu, antara lain, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (petrus) 1982, peristiwa Talangsari di Lampung 1989, tragedi Trisaksi I dan II pada 1998-1999, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003, dan peristiwa Rumoh Geudong 1989.
Amiruddin menyesalkan sikap Kejaksaan Agung yang lebih membahas hal teknis dan bersifat tindak pidana sehari-hari. Sementara yang diurus dan dibawa Komnas Ham adalah sebuah peristiwa yang diduga ada pelanggaran HAM serius.
Dia mengutarakan penyelesaian HAM di masa depan sangat bergantung dari konstelasi politik dalam menyikapi isu HAM. Penyelesaian HAM akan tetap berada dalam situasi seperti ini, mandek. Ini bukan karena tidak mampu mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM.
Pria kelahiran 1970 itu mengklaim pihaknya mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dan mengumpulkan alat bukti. "Pengadilan HAM berjalan di tempat karena hanya Komnas HAM yang memikul sendiri," pungkasnya.
Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM menjadi salah satu agenda utama politik Indonesia. Semua usaha itu dimulai sejak 20 tahun lalu atau saat tragedi Trisaksi.
"Ini garis demarkasi masa lalu yang otoriter dengan semangat baru yang mengusung perubahan. Perubahan yang diinginkan, HAM menjadi acuan utama dalam penyelenggaraan negara," ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Selasa (12/5/2020).
(Baca juga: Eks Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Ada di Tangan Pemerintah)
Penyelesaian HAM masa lalu untuk memperbaiki proses bernegara ke depannya. Kenyataannya, penyelidikan hingga selesai yang dilakukan Komnas HAM selalu sulit menyeret sebuah kasus ke pengadilan HAM. "Kejaksaan Agung yang menolak hasil penyelidikan Komnas HAM," ucapnya.
Tembok besar juga menghadang dari situasi politik nasional. Amiruddin mengungkapkan hari ini orang-orang yang diduga bertanggung jawab terhadap peristiwa HAM malah menjadi pembuat kebijakan. Angin politik yang berubah itu membuat upaya menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat menjadi macet total.
Amiruddin secara tegas mengatakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sesungguhnya tidak berjalan. Mati suri. Kini, Komnas Ham yang memikul beban besar penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.
"Kita bisa lihat dari 12 peristiwa yang selesai diselidiki Komnas HAM. Tiga bisa dibawa ke pengadilan tapi tidak menghasilkan norma hukum baru. Lainnya tidak kunjung ditindaklanjuti," tuturnya.
Adapun 12 kasus itu, antara lain, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (petrus) 1982, peristiwa Talangsari di Lampung 1989, tragedi Trisaksi I dan II pada 1998-1999, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003, dan peristiwa Rumoh Geudong 1989.
Amiruddin menyesalkan sikap Kejaksaan Agung yang lebih membahas hal teknis dan bersifat tindak pidana sehari-hari. Sementara yang diurus dan dibawa Komnas Ham adalah sebuah peristiwa yang diduga ada pelanggaran HAM serius.
Dia mengutarakan penyelesaian HAM di masa depan sangat bergantung dari konstelasi politik dalam menyikapi isu HAM. Penyelesaian HAM akan tetap berada dalam situasi seperti ini, mandek. Ini bukan karena tidak mampu mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM.
Pria kelahiran 1970 itu mengklaim pihaknya mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dan mengumpulkan alat bukti. "Pengadilan HAM berjalan di tempat karena hanya Komnas HAM yang memikul sendiri," pungkasnya.
(maf)