Hidden Hunger dan Kualitas SDM
A
A
A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
BUSUNG lapar massal yang terjadi pada 1960-an di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, atau kejadian kelaparan penduduk seperti di Etiopia pada 1980-an, adalah fenomena langka yang sangat jarang terjadi di Indonesia. Meski kurang pangan atau kelaparan jarang terjadi, tidak berarti negara kita bebas dari problem gizi.
Hidden hunger atau kelaparan tersembunyi dipakai untuk menggambarkan problem kekurangan gizi, terutama gizi mikro, yang tidak memunculkan indikasi busung lapar atau gizi buruk, tetapi membawa dampak berat pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
IQ lost yang terjadi akibat defisiensi (kekurangan) gizi mikro sungguh tidak terbayangkan. Penyakit anemia akibat kurang gizi mikro zat besi menyebabkan penduduk Indonesia kehilangan 40-80 juta IQ poin. Sementara itu, defisiensi yodium melenyapkan 150 juta IQ poin. Problem gizi mikro menjadi bom waktu yang berdampak negatif bagi mutu bangsa.
Global Nutrition Report (2017) menyebutkan bahwa dua miliar populasi dunia mengalami kekurangan gizi mikro penting. Khusus persoalan anemia diderita oleh 613 juta orang. Di Indonesia, 48,9% wanita hamil dan banyak remaja putri mengalami anemia.
Anemia karena kekurangan zat besi menjadi faktor risiko dominan munculnya defisiensi seng. Hasil penelitian Riyadi (2002) mengungkapkan bahwa anak-anak baduta (bawah dua tahun) yang anemia berpeluang 2,5 kali lipat untuk mengalami kekurangan seng. Interaksi kekurangan besi dan seng selanjutnya diketahui berdampak pada hambatan pertumbuhan tinggi badan, sehingga lahirlah anak-anak yang pendek (stunting).
Kondisi stunting menyebabkan terlambatnya umur masuk sekolah. Anak-anak yang pendek kelihatan belum cukup umur sehingga masuk sekolah terpaksa ditunda. Hal ini berarti hilangnya kesempatan bagi anak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan umurnya.
Banyak publikasi yang menunjukkan bahwa defisiensi besi akan membatasi potensi intelektual anak secara signifikan. Selain itu, perkembangan psikomotorik anak juga terhambat secara permanen. Indeks psikomotorik seorang anak berkurang 5-10 poin ketika anak menderita anemia. Gangguan perkembangan anak ini membawa pengaruh negatif dalam rentang hidup seorang anak yang panjang.
Apabila anak-anak terkena anemia pada usia di atas dua tahun dan kemudian diberi intervensi gizi besi, maka kemungkinan pulih potensi intelektualnya cukup besar. Namun, apabila anemia terjadi pada usia di bawah dua tahun maka kemungkinan pulih masih tidak menentu. Sebagaimana diketahui, usia di bawah dua tahun merupakan periode golden age bagi seorang anak untuk perkembangan otaknya. Kekurangan gizi pada periode itu dapat berdampak serius dan mengurangi inteligen seorang anak.
Kekurangan zat besi juga menyebabkan menurunnya produktivitas kaum pekerja, kerugian triliunan rupiah bisa terjadi karena anemia. Daya tahan fisik seseorang terkendala karena rendahnya hemoglobin dalam darah yang bertugas mengangkut oksigen. Akibatnya para pekerja tidak dapat bekerja optimal alias produktivitasnya rendah.
Intervensi zat besi untuk meningkatkan kadar hemoglobin 10% telah dibuktikan dapat meningkatkan produktivitas kerja 15$. Hal ini perlu diperhatikan oleh berbagai industri yang banyak mengaryakan kaum perempuan seperti industri garmen, industri rokok, dan perusahaan perkebunan.
Dampak kekurangan gizi mikro terhadap kualitas penduduk dan potensi kerugian ekonominya sungguh luar biasa. Kekurangan gizi mikro merupakan wujud hidden hunger yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Di tengah-tengah implementasi otonomi daerah, perlu kiranya para bupati/wali kota mencermati dampak defisiensi gizi mikro ini terhadap kualitas SDM di daerahnya masing-masing. Program pemberian tablet tambah darah (Fe-Folat) untuk remaja SMP-SMA perlu dievaluasi menyeluruh dalam implementasinya.
Di kabupaten lokus sunting, ketersediaan tablet tambah darah telah lebih dari cukup, tetapi yang didistribusikan ke sekolah dan diminum siswi masih sangat sedikit. Banyak tenaga puskesmas yang kedodoran ketika harus melaksanakan program distribusi Fe-Folat ke sekolah-sekolah sehingga cakupannya di tingkat sekolah menjadi rendah.
Akibatnya, tablet tambah darah yang telah disediakan pemerintah menjadi kedaluwarsa dan tidak berguna. Problem minum tablet tambah darah juga terkendala oleh cita rasa tablet yang dikeluhkan menimbulkan efek samping (mual dan bau besi saat bersendawa)
Anemia adalah problem gizi yang belum tuntas sejak berpuluh tahun yang lalu. Saya menduga bahwa kemiskinan menjadi penyebab utama mengapa prevalensi anemia di negara kita masih tinggi. Di negara-negara maju yang masyarakatnya cukup mengonsumsi pangan hewani, diketahui problem anemia jarang muncul.
Oleh sebab itu, perbaikan gizi membutuhkan prasyarat penting yakni perbaikan kesejahteraan masyarakat. Membuka lapangan kerja dan pengurangan pengangguran serta pemberian upah yang layak sangatlah penting sebagai faktor pendukung utama eliminasi problem gizi mikro.
Dalam buku-buku teks lama Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) sering disebut Endemic Goitre (gondok endemik). Namun, dalam kepustakaan baru, istilah tersebut diganti dengan IDD (Iodine Deficiency Disorders) yang diindonesiakan menjadi GAKY. Pada kenyataannya, kekurangan yodium memang tidak hanya menyebabkan gondok. Ibu-ibu hamil yang kurang yodium akan melahirkan anak-anak yang cacat mental dan terganggu pertumbuhan fisiknya. Anak-anak yang mengalami defisiensi yodium akan terganggu kecerdasannya.
Total hilangnya 150 juta IQ poin dari penderita GAKY mengindikasikan bahwa masalah GAKY bukan persoalan sepele. Pemerintah sudah on the right track ketika melaksanakan program iodisasi garam. Masalahnya adalah benarkah kandungan garam beryodium mencapai 30-40 ppm seperti yang tercantum dalam kemasan, sehingga penduduk Indonesia yang mengonsumsi garam ini mendapatkan dosis yang tepat?
Pada hakikatnya, intervensi gizi berupa fortifikasi atau suplementasi makanan bukan merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah gizi mikro ini. Rekayasa sosial berupa peningkatan edukasi (penyuluhan), pendidikan perempuan, dan pengentasan kemiskinan harus dilakukan berbarengan dengan intervensi gizi yang dilakukan.
Diharapkan berbagai entry point ini dapat segera membebaskan Indonesia dari masalah hidden hunger ini agar mutu SDM tetap terjaga dan bonus demografi benar-benar mendatangkan manfaat bagi bangsa Indonesia.
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
BUSUNG lapar massal yang terjadi pada 1960-an di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, atau kejadian kelaparan penduduk seperti di Etiopia pada 1980-an, adalah fenomena langka yang sangat jarang terjadi di Indonesia. Meski kurang pangan atau kelaparan jarang terjadi, tidak berarti negara kita bebas dari problem gizi.
Hidden hunger atau kelaparan tersembunyi dipakai untuk menggambarkan problem kekurangan gizi, terutama gizi mikro, yang tidak memunculkan indikasi busung lapar atau gizi buruk, tetapi membawa dampak berat pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
IQ lost yang terjadi akibat defisiensi (kekurangan) gizi mikro sungguh tidak terbayangkan. Penyakit anemia akibat kurang gizi mikro zat besi menyebabkan penduduk Indonesia kehilangan 40-80 juta IQ poin. Sementara itu, defisiensi yodium melenyapkan 150 juta IQ poin. Problem gizi mikro menjadi bom waktu yang berdampak negatif bagi mutu bangsa.
Global Nutrition Report (2017) menyebutkan bahwa dua miliar populasi dunia mengalami kekurangan gizi mikro penting. Khusus persoalan anemia diderita oleh 613 juta orang. Di Indonesia, 48,9% wanita hamil dan banyak remaja putri mengalami anemia.
Anemia karena kekurangan zat besi menjadi faktor risiko dominan munculnya defisiensi seng. Hasil penelitian Riyadi (2002) mengungkapkan bahwa anak-anak baduta (bawah dua tahun) yang anemia berpeluang 2,5 kali lipat untuk mengalami kekurangan seng. Interaksi kekurangan besi dan seng selanjutnya diketahui berdampak pada hambatan pertumbuhan tinggi badan, sehingga lahirlah anak-anak yang pendek (stunting).
Kondisi stunting menyebabkan terlambatnya umur masuk sekolah. Anak-anak yang pendek kelihatan belum cukup umur sehingga masuk sekolah terpaksa ditunda. Hal ini berarti hilangnya kesempatan bagi anak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan umurnya.
Banyak publikasi yang menunjukkan bahwa defisiensi besi akan membatasi potensi intelektual anak secara signifikan. Selain itu, perkembangan psikomotorik anak juga terhambat secara permanen. Indeks psikomotorik seorang anak berkurang 5-10 poin ketika anak menderita anemia. Gangguan perkembangan anak ini membawa pengaruh negatif dalam rentang hidup seorang anak yang panjang.
Apabila anak-anak terkena anemia pada usia di atas dua tahun dan kemudian diberi intervensi gizi besi, maka kemungkinan pulih potensi intelektualnya cukup besar. Namun, apabila anemia terjadi pada usia di bawah dua tahun maka kemungkinan pulih masih tidak menentu. Sebagaimana diketahui, usia di bawah dua tahun merupakan periode golden age bagi seorang anak untuk perkembangan otaknya. Kekurangan gizi pada periode itu dapat berdampak serius dan mengurangi inteligen seorang anak.
Kekurangan zat besi juga menyebabkan menurunnya produktivitas kaum pekerja, kerugian triliunan rupiah bisa terjadi karena anemia. Daya tahan fisik seseorang terkendala karena rendahnya hemoglobin dalam darah yang bertugas mengangkut oksigen. Akibatnya para pekerja tidak dapat bekerja optimal alias produktivitasnya rendah.
Intervensi zat besi untuk meningkatkan kadar hemoglobin 10% telah dibuktikan dapat meningkatkan produktivitas kerja 15$. Hal ini perlu diperhatikan oleh berbagai industri yang banyak mengaryakan kaum perempuan seperti industri garmen, industri rokok, dan perusahaan perkebunan.
Dampak kekurangan gizi mikro terhadap kualitas penduduk dan potensi kerugian ekonominya sungguh luar biasa. Kekurangan gizi mikro merupakan wujud hidden hunger yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Di tengah-tengah implementasi otonomi daerah, perlu kiranya para bupati/wali kota mencermati dampak defisiensi gizi mikro ini terhadap kualitas SDM di daerahnya masing-masing. Program pemberian tablet tambah darah (Fe-Folat) untuk remaja SMP-SMA perlu dievaluasi menyeluruh dalam implementasinya.
Di kabupaten lokus sunting, ketersediaan tablet tambah darah telah lebih dari cukup, tetapi yang didistribusikan ke sekolah dan diminum siswi masih sangat sedikit. Banyak tenaga puskesmas yang kedodoran ketika harus melaksanakan program distribusi Fe-Folat ke sekolah-sekolah sehingga cakupannya di tingkat sekolah menjadi rendah.
Akibatnya, tablet tambah darah yang telah disediakan pemerintah menjadi kedaluwarsa dan tidak berguna. Problem minum tablet tambah darah juga terkendala oleh cita rasa tablet yang dikeluhkan menimbulkan efek samping (mual dan bau besi saat bersendawa)
Anemia adalah problem gizi yang belum tuntas sejak berpuluh tahun yang lalu. Saya menduga bahwa kemiskinan menjadi penyebab utama mengapa prevalensi anemia di negara kita masih tinggi. Di negara-negara maju yang masyarakatnya cukup mengonsumsi pangan hewani, diketahui problem anemia jarang muncul.
Oleh sebab itu, perbaikan gizi membutuhkan prasyarat penting yakni perbaikan kesejahteraan masyarakat. Membuka lapangan kerja dan pengurangan pengangguran serta pemberian upah yang layak sangatlah penting sebagai faktor pendukung utama eliminasi problem gizi mikro.
Dalam buku-buku teks lama Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) sering disebut Endemic Goitre (gondok endemik). Namun, dalam kepustakaan baru, istilah tersebut diganti dengan IDD (Iodine Deficiency Disorders) yang diindonesiakan menjadi GAKY. Pada kenyataannya, kekurangan yodium memang tidak hanya menyebabkan gondok. Ibu-ibu hamil yang kurang yodium akan melahirkan anak-anak yang cacat mental dan terganggu pertumbuhan fisiknya. Anak-anak yang mengalami defisiensi yodium akan terganggu kecerdasannya.
Total hilangnya 150 juta IQ poin dari penderita GAKY mengindikasikan bahwa masalah GAKY bukan persoalan sepele. Pemerintah sudah on the right track ketika melaksanakan program iodisasi garam. Masalahnya adalah benarkah kandungan garam beryodium mencapai 30-40 ppm seperti yang tercantum dalam kemasan, sehingga penduduk Indonesia yang mengonsumsi garam ini mendapatkan dosis yang tepat?
Pada hakikatnya, intervensi gizi berupa fortifikasi atau suplementasi makanan bukan merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah gizi mikro ini. Rekayasa sosial berupa peningkatan edukasi (penyuluhan), pendidikan perempuan, dan pengentasan kemiskinan harus dilakukan berbarengan dengan intervensi gizi yang dilakukan.
Diharapkan berbagai entry point ini dapat segera membebaskan Indonesia dari masalah hidden hunger ini agar mutu SDM tetap terjaga dan bonus demografi benar-benar mendatangkan manfaat bagi bangsa Indonesia.
(thm)