Mengurai Niat Jahat Bandar Asuransi

Kamis, 13 Februari 2020 - 10:04 WIB
Mengurai Niat Jahat Bandar Asuransi
Mengurai Niat Jahat Bandar Asuransi
A A A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya

Belakangan ini setelah Kejaksaan Agung mengungkap kasus Asuransi Jiwasraya dan berikutnya Asuransi Asabri, timbul pemahaman baru dalam masyarakat. Pemahaman baru ini berbeda dengan sebelumnya. Jika selama ini asuransi dipersepsikan sebagai jaminan atas ketidakpastian, dengan terungkapnya kasus Jiwasraya dan Asabri, asuransi akan dimaknai sebagai tempat potensial untuk praktik pencucian uang (money laundering) oleh para pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime).

Jika mengacu pada Pasal 1774-1791 KUH Perdata, asuransi memang digolongkan sebagai perjanjian untung-untungan; artinya, hasil akhir dari perjanjian tersebut tidak dapat diperkirakan di awal perjanjian. Dalam hal penilaian atas risiko, menjadi hal yang terpenting dalam bisnis asuransi. Sebagaimana diuraikan oleh Sri Rejeki(1994), bahwa yang dimaksud penilaian dalam usaha asuransi adalah penilaian risiko atas kemungkinan klaim nasabah dan penilaian risiko pada investasi yang dilakukan oleh pihak asuransi tersebut.

Sebaliknya pada usaha asuransi, pihak asuransi harus melakukan investasi atas premi yang dibayar oleh nasabah. Tujuannya agar jika terjadi klaim oleh nasabah, pihak asuransi dapat membayar melalui dana yang diinvestasikan. Persoalannya, sekarang muncul ”mafia asuransi” yang memanfaatkan peluang investasi atas premi yang dibayarkan oleh nasabah, sedangkan klaim oleh nasabah adalah sesuatu yang secara natural pasti akan terjadi, mengingat asuransi adalah perjanjian untung-untungan sebagaimana diuraikan di atas.

Para mafia asuransi menggunakan faktor risiko sebagai alat yang melegalkan gagalnya investasi yang dilakukan oleh pihak asuransi. Dalam hal ini, para oknum mafia asuransi sengaja menggagalkan investasiyang dilakukan oleh asuransi dengan menggunakan dana nasabah. Tentu saja gagalnya investasi tersebut direncanakan oleh para oknum mafia investasi ini guna memperoleh keuntungan pribadi atas gagalnya investasi yang dilakukan. ”Risiko” menjadi alat untuk melegalkan upaya para oknum” mafia investasi” tersebut, sehingga pada akhirnya tingkat solvabilitas (selisih aset dan kewajiban) dari perusahaan asuransi tersebut menjadi tidak sehat dan bermasalah.

Niat Jahat

Ada persamaan pada modus mafia asuransi, baik dalam kasus Jiwasraya maupun dalam kasus Asabri. Kesamaannya, sama-sama ditemukan adanya investasi di atas Rp5 triliun pada perusahaan ikan arwana yang hanya memiliki aset tidak lebih dari Rp30 miliar. Fakta ini menunjukkan bahwa faktor risiko hanya dijadikan sarana untuk melegalkan niat jahat para oknum mafia asuransi. Secaralogika, tentu akan sulit investasi di atas Rp5 triliun menghasilkan keuntungan dan men -capai return ”hanya” dengan berinvestasi pada perusahaanyang bergerak di bidang jual-beli arwana. Niat jahat tersebut biasanya disamarkan dalam bentuk investasi saham ”gorengan” melalui perusahaan terbuka (tbk), sehingga ketika harga saham turun kembali pada nilai normal maka seolah hal itu merupakan risiko investasi.

Mengacu pada doktrin hukum business judgement rules, jika keputusan bisnis —dalam hal ini investasi yang dilakukan tanpa mengukur risiko dengan standar upaya terbaik (best effort), atau standar best effort tersebut dikesampingkan, maka sesungguhnya sudah terdapat niat jahat yang terlaksana. Beberapa pengadilan di Indonesia sudah pernah memutuskan perkara pidana dengan mengacu pada doktrin business judgement rules. Sebagaimana diuraikan oleh Julie Nick(2015), bahwa risiko adalah kondisi yang tidak dapat diprediksi berdasarkan pengetahuan terbaik manusia, sedangkan niat jahat adalah kondisi pembiaran terhadap risiko yang akan terjadi, meskipun risiko tersebut dapat diperkirakan berdasarkan upaya/pengetahuan terbaik (best effort).

Artinya jika mengacu pada konstruksi hukum di atas, niat jahat dari para oknum mafia asuransi ini timbul ketika merencanakan skenario investasi yang pada akhirnya diketahui akan rugi dan mengatasnamakan risiko sebagai jalan keluar. Pelaksanaan kejahatan ini terjadi ketika investasi dimulai dan sempurnanya pelaksanaan kejahatan ini terjadi ketika pelaku sudah mendapatkan keuntungan dari skenarionya tersebut. Tipikal kejahatan kerah putih dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, terutama para intelektual.

Contohnya pada kasus Jiwasraya ataupun Asabri, ini tentu melibatkan manajer investasi dan pihak lainnya. Logikanya, jika manajer investasi tersebut menggunakan pengetahuan ataupun upaya terbaiknya (best effort ) maka tentu tidak akan terjadi investasi ikan arwana senilai di atas Rp5 triliun. Artinya, dalam hal ini Kejaksaan Agung mempunyai cukup dasar hukum untuk melakukan penyidikan pada aspek pidana, meskipun pertanggungjawaban pidana tidak menggugurkan tanggung jawab keperdataan pada nasabah. Dalam hal ini, diabaikannya best effort dalam doktrin hukum business judgement rules akan mengakibatkan pertanggungjawaban pidana dan perdata.

Peran OJK

Tentu persoalan kasus Jiwasraya dan Asabri tidak akan terjadi jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya. Kasus kedua perusahaan asuransi BUMN ini tentu harus menjadi pelajaran bagi OJK. Bahkan, kini sebagian masyarakat sudah mulai tidak percaya dengan objektivitas OJK. Pertanyaan masyarakat tersebut sesungguhnya beralasan mengingat sebelumnya OJK selalu berpedoman pada Peraturan OJK terkait solvabilitas dan jangka waktu pembayaran klaim nasabah, khususnya terkait dengan solvabilitas dan kesehatan perusahaan asuransi.

Pertanyaannya adalah mengapa OJK tidak menerapkan aturan terkait solvabilitas pada Jiwasraya maupun Asabri? Jika OJK melakukan pengawasanber dasarkan Peraturan OJK tersebut maka tentu kejahatan para mafia asuransi ini tidak akan berlangsung lama dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kejahatan yang dilakukan oleh para oknum mafia asuransi tersebut akan menggerus tingkat solvabilitas perusahaan asuransi tersebut; dan sebagai akibatnya, kemampuan pembayaran klaim akan terhambat.

Artinya, dalam hal ini jika OJK melakukan pengawasan dengan tepat maka kerugiana kibat kasus Jiwasraya maupun sejenisnya tidak akan sebesar saat ini. Demikian juga untuk mencegah terulangnya kejahatan serupa, maka OJK harus melakukan pengawasan solvabilitas secara objektif, dengan pengawasan yang objektif, meskipun ada niat jahat namun tidak akan dapat dieksekusi dengan sempurna mengingat OJK melakukan pengawasan pada sisi solvabilitas dan kepatuhan pembayaran klaim.

Pengawasan OJK sangat penting, selain untuk mengantisipasi terlaksananya niat jahat dari para mafia asuransi sesuai undang-undang pembentukan OJK, juga mengawasi praktik perusahaan terbuka sebagai sarana investasi dari perusahaan asuransi. Pengawasan yang optimal dari OJK akan mengantisipasi beroperasinya mafia asuransi dari hulu hingga hilir.

Salah satu peran OJK adalah memberi perlindungan pada masyarakat. Perlindungan yang dapat diberikan oleh OJK adalah memastikan premi yang dibayarkan oleh masyarakat sebagai nasabah tidak disalahgunakan oleh para oknum ”mafia investasi”. Artinya, kasus Jiwasraya dan Asabri harus menjadi momentum evaluasi dan perbaikan bagi OJK selaku regulator dan pengawas. OJK seharusnya berperan memberi perlindungan pada masyarakat melalui pengawasan pada sektor jasa keuangan, seperti asuransi.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0328 seconds (0.1#10.140)