Berpikir Panjang Soal Pembubaran OJK

Kamis, 13 Februari 2020 - 07:01 WIB
Berpikir Panjang Soal Pembubaran OJK
Berpikir Panjang Soal Pembubaran OJK
A A A
Frans Aba
Peneliti dan Pengamat Ekonomi Universitas Atamajaya Indonesia, Research Fellow University of Wisconsin, Madison USA.

Tanggal 22 November 2011 adalah waktu yang bersejarah bagi negara Indonesia, karena di tanggal itulah Undang-Undang Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disahkan. OJK akhirnya lahir setelah ditunggu cukup lama karena terombang-ambing berbagai kepentingan politik.

Dengan lahirnya OJK Indonesia secara resmi mengadopsi pengawasan sektor keuangan terintegrasi. OJK menjadi regulator tunggal yang mengatur dan mengawasi semua lembaga jasa keuangan di Indonesia mulai dari perbankan, lembaga keuangan non bank dan pasar modal. Sebelum adanya OJK, otoritas pengawas keuangan di Indonesia dilakukan oleh beberapa lembaga seperti Bank Indonesia (BI) yang mengatur perbankan. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan sebagai regulator industri keuangan nonbank, dan Bapepam untuk pengawasan pasar modal.

Melihat dari tugas dan fungsi OJK dalam menjalankan kebijakan sesuai amanat undang-undang itu dengan mudah kita bisa melihat bahwa pekerjaan OJK adalah pekerjaan yang amat berat. Betapa tidak, OJK harus mengawasi industri jasa keuangan yang asetnya mencapai sekitar Rp11.000 triliun, nilai yang sangat besar jika dibandingkandengan aset negara yang sekitar Rp6.300 triliun.

Dari angka itu dan ribuan perusahaan sektor keuangan yang diawasinya, peran OJK tentu menjadi sangat sentral dalam menjaga stabilitas sektor keuangan sebagai urat nadi perekonomian masyarakat sekaligus perekonomian nasional. Masih teringat jelas pelajaran krisis keuangan 1997/98 yang bermula dari krisis disektor perbankan yang merambat menjadi krisis ekonomi bahkan krisis politik dan keamanan nasional waktu itu.

OJK yang baru berumur 8tahun sebenarnya sudah cukupberhasil menjalankan tugas nyamenjaga stabilitas sektor jasakeuangan seraya terus ber -usaha meningkatkan kontr i -busi industri jasa keuanganterhadap perekonomian nasio -nal serta mendongkrak ke-se -jahteraan rakyat melalui pro -gram inklusi keuangan. Datakinerja sektor jasa keuanganterlihat stabil dan berada da lamposisi positif. Sementara angkaliterasi serta inklusi ke uanganterus meningkat dari tahun ketahun.

Kredit perbankan pada 2019 tumbuh di 6,08% year on year (yoy). Pertumbuhan kredit ini ditopang oleh sektor konstruksi tumbuh 14,6 % yoy dan rumah tangga tumbuh 14,6 % yoy. Sejalan dengan itu, kredit investasi meningkat 13,2% yoy yang menunjukkan potensi pertumbuhan sektor riil kedepan.

Pertumbuhan kredit ini diikuti dengan profil risiko kredit yang terjaga. Rasio non performing loan gros perbankan tercatat rendah, yaitu sebesar 2,5% dan NPL net 1,2%. Capital adequacy ratio perbankan mencapai 23,3%, dengan likuiditas atau LDR93,6%. Sementara net interest margin (NIM) tercatat turun menjadi 4,9%, dari 5,1% di tahun 2018 dan rata-rata suku bunga kredit turun dari 10,8% di akhir 2018 menjadi 10,5% di akhir 2019.

Kinerja pasar modal pada 2019 juga terlihat tumbuh positif. Total dana kelolaan investasi meningkat dari Rp745,77 triliun (2018) menjadi Rp806,86 triliun. Hal yang sama pun terjadi pada industri keuangan nonbank, meski terkena beberapa kasus sepanjang 2019 premi asuransi komersial yang dikumpulkan mencapai Rp281,2 triliun (8,0% yoy), dengan premi asuransi jiwa sebesar Rp179,1 triliun (4,1% yoy) serta premi asuransi umum/reasuransi sebesar Rp102,1 triliun.

Sementara tingkat permodalan industri asuransi masih sangat kuat, terlihat dari riskbased capital industri asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 345,35% dan 789,37%, lebih tinggi dari threshold 120%. Kinerja perusahaan pembiayaan pada 2019 tetap tumbuh positif dengan pertumbuhan pembiayaan 4,5%, dengan risiko kredit NPF terpantau stabil rendah sebesar 2,40% (net 0,45%). Demikian juga dengan gearing ratio perusahaan pembiayaan yang terbilang masih rendah, yaitu sebesar 2,61 kali.

OJK juga telah berhasil meningkatkan indeks literasi dan inklusi keuangan, yang dibuktikan dengan hasil survei literasi meningkat dari 29,7% menjadi 38,0% dan inklusi keuangan meningkat dari 67,8% menjadi 76,2%. Angka ini telah memenuhi target yang diamanatkan oleh pemerintah.

Nila Setitik

Ibarat pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Gambaran seperti itulah yang terjadi terhadap OJK saat ini. Prestasi regulator di sektor jasa keuangan yang sudah dibangun dengan apik meski dengan kondisi yang tertatih-tatih karena infrastruktur organisasi yang kurang mendukung, tiba-tiba seperti tidak terlihat akibat mencuatnya kasus Jiwasraya dan beberapa kasus asuransi lain.

Berbagai pihak sudah memahami bahwa sumber kejatuhan Jiwasraya bukan kesalahan OJK karena perusahaan tersebut sudah mengalami persoalan keuangan sejak tahun 2004, ketika OJK belum lahir. Namun, tetap saja kesalahan diarahkan kepada OJK sebagai pengawas sektor jasa keuangan yang dianggap lalai sehingga menuai kecaman sampai ancaman untuk dibubarkan.

Dari pengungkapan kasus Jiwasraya oleh Kejaksaan Agung dengan penetapan lima orang, tersangka sebenarnya sudah jelas bahwa perusahaan asuransi BUMN ini dimalingi oleh orang dalam yang bekerjasama dengan penjahat di luar. Secanggih apa pun pengawasan regulator terhadap perusahaan sektor jasa keuangan tentu sulit untuk mencegah dan mendeteksi masalahnya jika ternyata persoalannya justru dari dalam perusahaan itu sendiri. Seorang pengamat sektor keuangan bahkan mengibaratkan meski OJK sudah memasang kawat berduri dan kamera pengawas di sekeliling pagar perusahaan, jika malingnya sudah berada di dalam tentu sulit untuk mencegah terjadinya pencurian.

Dari titik ini, tentu sulit kita bisa memahami ada anggota DPR RI yang meminta untuk OJK dibubarkan akibat kasus Jiwasraya yang terbukti bukan karena kesalahan atau kelalaian OJK. Terlebih jika anggota DPR tersebut memikirkan dampak besar yang akan terjadi jika akhirnya OJK dibubarkan.

Pembubaran sebuah otoritas sektor jasa keuangan yang memegang peranan strategis perekonomian nasional pasti akan memicu ketidakpercayaan investor, pelaku pasar keuangan, dan masyarakat terhadap industri jasa keuangan secara umum. Mereka akan menilai industri jasa keuangan di Indonesia sangat tidak bisa dipercaya karena lembaga pengawasnya sangat mudah diintervensi bahkan dijatuhkan sewaktu-waktu. Kondisi ini akan mendorong kekhawatiran masyarakat akan keamanan dana-dana mereka di industri jasa keuangan.

Di era pemerintahan Presiden Jokowi yang sangat menekankan stabilitas baik dibidang politik, ekonomi, maupun sosial ini dengan tujuan antara lain meningkatkan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat, pernyataan pembubaran OJK itu sangatlah kontra produktif.

Hilangnya kepercayaan investor dan masyarakat pada lembaga pengawas keuangan dapat terjadi dalam hitungan jam, dan begitu sebuah lembaga pengawas keuangan dibubarkan, kondisi itu bisa berubah menjadi kehancuran pasar yang mengerikan. Stabilitas ekonomi akan terganggu dan yang pasti akan merembet kemana-mana termasuk kekuasaan politik.

Tentunya nila setitik di industri asuransi ini harus didudukkan kembali dari mana sumber menetesnya, tanpa membawanya untuk kepentingan politik kekuasaan semata. Demi perekonomian Indonesia yang stabil terjaga dan menyejahterakan rakyatnya.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3282 seconds (0.1#10.140)