100 Hari Pemerintahannya, Jokowi-Ma'ruf Perlu Pacu Kinerja Kabinet
A
A
A
JAKARTA - Bagaimana kinerja Kabinet Indonesia Maju sejauh ini? Berdasar persepsi publik, belum semuanya mampu sepenuhnya menjawab ekspektasi publik. Pasalnya, walaupun ada kementerian berkinerja baik, di sisi lain ada yang masih dianggap kurang.
Penilaian publik ini ditangkap Indonesia Political Opinion lewat survei tentang evaluasi dan pengukuran persepsi publik terhadap kinerja 100 hari pertama Kabinet Indonesia Maju. Di antara kementerian yang ada, Kementerian Luar Negeri dinilai memiliki kinerja terbaik dengan persentase 84%. Sebaliknya Kementerian Agama dengan 27,5% dianggap berkinerja paling buruk.
Pengamat menilai persepsi publik ini muncul karena kinerja kementerian masih kurang maksimal dan kurang gereget. Hal ini seperti disampaikan Direktur Eksekutif Riset Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Piter Abdullah dan pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta Emrus Sihombing. Karena itulah kinerja kementerian perlu dipacu lagi.
Piter menyebut kondisi itu terjadi karena tiap kementerian belum ada kesatuan gerak dan langkah. “Masing-masing masih jalan sendiri. Istilahnya kalau main bola nggak ada strateginya. Menteri BUMN jalan sendiri, Menteri Keuangan, Mendag, apalagi Menteri Pertanian, masing-masing masih jalan sendiri,” ungkapnya kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin. (Baca: Survei 100 Hari Kabinet: Kemlu Terbaik, Erick Thohir Paling Disukai)
Menurut dia, seharusnya ada strategi besar yang ingin dicapai sehingga semua menteri ekonomi jalan berbarengan dan fokus menyelesaikan tema utama di kementerian masing-masing. “Misalnya bicara omnibus law, posisi omnibus law ini untuk apa? Ya dijelaskan. Yang menjelaskan bukan hanya Kemenkeu saja, tetapi semua kementerian yang berkaitan,” ungkapnya.
Dia menambahkan, strategi besar tentu membutuhkan leader, dalam hal ini kementerian koordinator. Hanya, menurutnya, muncul kesan kementerian koordinator justru jalan sendiri-sendiri. Di sisi lain Presiden juga harus tegas mengarahkan perekonomian Indonesia berdasarkan RPJMN Nawacita yang disusunnya. “Jangan hanya bilang pertumbuhan 5,3% kita harus bersyukur, ya nggak juga. Harusnya kita bisa mencapai pertumbuhan 6% demi kesejahteraan,” sebutnya.
Emrus Sihombing mengatakan, temuan Indonesia Political Opinion mengindikasikan kinerja kementerian perlu digenjot lagi. Salah satu upaya yang bisa menggenjot kinerja adalah menteri menyampaikan program-program ke depan, misalnya per triwulan, per semester atau per tahun sampai mereka masa jabatannya berakhir. "Kalau itu disampaikan ke publik, mereka ada tanggung jawab moral untuk mewujudkan itu. Di sisi lain masyarakat bisa menilai dan kita kontrol secara ketat," katanya.
Presiden, menurut Emrus, juga perlu memberikan peringatan dengan batas waktu tertentu. Misalnya bila dalam satu tahun tak tercapai target yang diberikan, ada dua hal bisa dilakukan. Pertama menteri bersangkutan mengundurkan diri atau Presiden mengganti menteri tersebut. "Mereka adalah pejabat publik, tidak boleh main-main karena ini menyangkut nasib rakyat," katanya.
Berdasar survei yang digelar Indonesia Political Opinion, selain Kemlu yang dianggap berkinerja terbaik, kementerian lain yang dinilai berada pada level baik antara lain Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara , Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Adapun untuk kementerian yang dinilai berkinerja terburuk selain Kemenag ada Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Di sisi lain, lembaga yang dinilai berkinerja terbaik adalah TNI sebesar 84%, Badan SAR Nasional, BNPB, KPK, dan Komnas HAM. Adapun lembaga dengan kinerja yang dianggap terburuk adalah Polri, PSSI, DPR, BNP2TKI, serta Badan Siber dan Sandi Negara. (Selengkapnya lihat infografis).
Dalam surveinya, Indonesia Political Opinion juga menemukan sejumlah menteri yang paling disukai, yaitu Erick Thohir, Retno Marsudi, Mahfud MD, Tito Karnavian, Sri Mulyani. Urutan paling disukai dari posisi paling buncit adalah Yasonna Laoly, I Gusti Ayu Bintang Darmawati , Fachrul Razi, Sofyan Djalil, dan Abdul Halim Iskandar.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah Putra mengatakan, pelibatan publik sebesar mungkin dibutuhkan untuk perbaikan sistem politik demokrasi. Menurut dia, Indonesia sejauh ini hanya melibatkan publik pada saat pemilu. (Baca juga: Presiden Harus Berani Copot Menteri Berkinerja Buruk)
“Momentum lain yang tidak terlalu berdampak adalah reses, pertemuan parlemen dan pemilih dalam ruang dan waktu terbatas. Untuk itu menghimpun opini publik merupakan salah satu upaya pelibatan publik dalam praktik politik Indonesia yang terbuka dan menghargai setiap pandangan umum," katanya dalam keterangan tertulis kemarin.
Dia menandaskan, pendapat publik yang sulit mengemuka karena ketiadaan akses dapat dikemukakan melalui survei sosial. "Dan survei pendapat publik menyangkut kinerja 100 hari pertama pemerintah, ini adalah salah satunya," tuturnya.
Dedi lebih jauh memaparkan, pemerintah tidak dapat menafikan adanya timbal balik warga negara dalam bentuk respons, opini, dan penilaian-penilaian umum yang dirasakan secara langsung maupun tidak. "Pemerintahan terbuka seperti Indonesia memerlukan sudut pandang publik dalam pengambilan kebijakan atau sekurang-kurangnya menjadikan pendapat publik sebagai bagian dari materi pertimbangan," katanya.
Sebagai informasi, survei Indonesia Political Opinion dilakukan dalam kurun waktu 10–31 Januari 2020 dengan menggunakan teknik wellbeing purposive sampling (WPS). Menurutnya, pengarsipan data WPS memungkinkan pendapat publik tersimpan dengan model spiral majority (daerah dengan populasi besar mendapat porsi besar pula pengambilan sampel) di mana setiap penyurvei mendistribusikan questionnaire secara ganjil.
Pengukuran keabsahan data menggunakan triangulasi bertingkat, yakni membandingkan antara data ter-inputdengan analisis coder expert dan pengecekan ulang melalui wawancara via telepon sejumlah 20% dari total populasi sampel. "Validitas data dengan metode ini dalam rentang minimum 94% dan maksimum 97%," urainya.
Anggota Komisi II DPR RI Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, 100 hari memang belum cukup untuk menilai kinerja seorang menteri. Tapi setidaknya hasil survei ini menjadi gambaran awal bagaimana seorang menteri dinilai perform atau tidak oleh publik. "Oleh karena itu bagi menteri-menteri yang oleh publik dinilai buruk kinerjanya, ini lampu kuning. Jika dalam beberapa waktu ke depan tetap saja tidak ada perbaikan, Presiden harus berani mengganti mereka," tutur politikus PKB itu.
Gus Yaqut mengatakan, sangat bagus jika hasil evaluasi baik yang berasal dari kalangan eksternal maupun internal Istana menunjukkan dalam 100 hari pertama ini ada menteri yang memiliki kinerja tidak memuaskan agar segera diganti. “Artinya Presiden sudah paham betul bahwa para pembantunya yang tidak performed memang harus segera diganti. Kita dukung. Tapi kalau masih mau kasih kesempatan, target yang diberikan harus jelas," urainya.
Menurut Gus Yaqut, sikap tegas Presiden diperlukan karena dalam menjalankan roda pemerintahan tidak ada visi menteri, tetapi yang ada adalah visi Presiden. "Artinya kalau target tidak diberikan dengan jelas, sulit mengharap prestasi yang baik dari para menteri. Wong mereka nggak punya visi," katanya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan kepada kabinet keduanya tak ada istilah 100 hari kerja atas kinerjanya bersama Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin. Meski tak ada target, penilaian tetap dilakukan dari hasil kinerja menteri.
"Tidak ada 100 hari karena ini keberlanjutan dari periode pertama, kedua. Ini terus, enggak ada berhenti, terus ini lagi seperti itu," ujar Jokowi seusai acara Rakornas 2020 Integrasi Riset dan Inovasi Indonesia di Graha Widya Bhakti, Puspitek, Tangerang Selatan (30/1).
Mantan Wali Kota Solo itu menuturkan, capaian pemerintah diukur dari kinerja jajaran menteri di bawahnya. Ia mengaku telah memberikan indikator penilaian atau Key Performance Indicator (KPI) bagi para menteri dengan angka-angka yang jelas. “Semua harus pada posisi speed tinggi karena kita memiliki target yang kita arah, yang kita tuju," katanya. (Abdul Rochim/Ichsan Amin)
Penilaian publik ini ditangkap Indonesia Political Opinion lewat survei tentang evaluasi dan pengukuran persepsi publik terhadap kinerja 100 hari pertama Kabinet Indonesia Maju. Di antara kementerian yang ada, Kementerian Luar Negeri dinilai memiliki kinerja terbaik dengan persentase 84%. Sebaliknya Kementerian Agama dengan 27,5% dianggap berkinerja paling buruk.
Pengamat menilai persepsi publik ini muncul karena kinerja kementerian masih kurang maksimal dan kurang gereget. Hal ini seperti disampaikan Direktur Eksekutif Riset Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Piter Abdullah dan pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta Emrus Sihombing. Karena itulah kinerja kementerian perlu dipacu lagi.
Piter menyebut kondisi itu terjadi karena tiap kementerian belum ada kesatuan gerak dan langkah. “Masing-masing masih jalan sendiri. Istilahnya kalau main bola nggak ada strateginya. Menteri BUMN jalan sendiri, Menteri Keuangan, Mendag, apalagi Menteri Pertanian, masing-masing masih jalan sendiri,” ungkapnya kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin. (Baca: Survei 100 Hari Kabinet: Kemlu Terbaik, Erick Thohir Paling Disukai)
Menurut dia, seharusnya ada strategi besar yang ingin dicapai sehingga semua menteri ekonomi jalan berbarengan dan fokus menyelesaikan tema utama di kementerian masing-masing. “Misalnya bicara omnibus law, posisi omnibus law ini untuk apa? Ya dijelaskan. Yang menjelaskan bukan hanya Kemenkeu saja, tetapi semua kementerian yang berkaitan,” ungkapnya.
Dia menambahkan, strategi besar tentu membutuhkan leader, dalam hal ini kementerian koordinator. Hanya, menurutnya, muncul kesan kementerian koordinator justru jalan sendiri-sendiri. Di sisi lain Presiden juga harus tegas mengarahkan perekonomian Indonesia berdasarkan RPJMN Nawacita yang disusunnya. “Jangan hanya bilang pertumbuhan 5,3% kita harus bersyukur, ya nggak juga. Harusnya kita bisa mencapai pertumbuhan 6% demi kesejahteraan,” sebutnya.
Emrus Sihombing mengatakan, temuan Indonesia Political Opinion mengindikasikan kinerja kementerian perlu digenjot lagi. Salah satu upaya yang bisa menggenjot kinerja adalah menteri menyampaikan program-program ke depan, misalnya per triwulan, per semester atau per tahun sampai mereka masa jabatannya berakhir. "Kalau itu disampaikan ke publik, mereka ada tanggung jawab moral untuk mewujudkan itu. Di sisi lain masyarakat bisa menilai dan kita kontrol secara ketat," katanya.
Presiden, menurut Emrus, juga perlu memberikan peringatan dengan batas waktu tertentu. Misalnya bila dalam satu tahun tak tercapai target yang diberikan, ada dua hal bisa dilakukan. Pertama menteri bersangkutan mengundurkan diri atau Presiden mengganti menteri tersebut. "Mereka adalah pejabat publik, tidak boleh main-main karena ini menyangkut nasib rakyat," katanya.
Berdasar survei yang digelar Indonesia Political Opinion, selain Kemlu yang dianggap berkinerja terbaik, kementerian lain yang dinilai berada pada level baik antara lain Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara , Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Adapun untuk kementerian yang dinilai berkinerja terburuk selain Kemenag ada Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Di sisi lain, lembaga yang dinilai berkinerja terbaik adalah TNI sebesar 84%, Badan SAR Nasional, BNPB, KPK, dan Komnas HAM. Adapun lembaga dengan kinerja yang dianggap terburuk adalah Polri, PSSI, DPR, BNP2TKI, serta Badan Siber dan Sandi Negara. (Selengkapnya lihat infografis).
Dalam surveinya, Indonesia Political Opinion juga menemukan sejumlah menteri yang paling disukai, yaitu Erick Thohir, Retno Marsudi, Mahfud MD, Tito Karnavian, Sri Mulyani. Urutan paling disukai dari posisi paling buncit adalah Yasonna Laoly, I Gusti Ayu Bintang Darmawati , Fachrul Razi, Sofyan Djalil, dan Abdul Halim Iskandar.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah Putra mengatakan, pelibatan publik sebesar mungkin dibutuhkan untuk perbaikan sistem politik demokrasi. Menurut dia, Indonesia sejauh ini hanya melibatkan publik pada saat pemilu. (Baca juga: Presiden Harus Berani Copot Menteri Berkinerja Buruk)
“Momentum lain yang tidak terlalu berdampak adalah reses, pertemuan parlemen dan pemilih dalam ruang dan waktu terbatas. Untuk itu menghimpun opini publik merupakan salah satu upaya pelibatan publik dalam praktik politik Indonesia yang terbuka dan menghargai setiap pandangan umum," katanya dalam keterangan tertulis kemarin.
Dia menandaskan, pendapat publik yang sulit mengemuka karena ketiadaan akses dapat dikemukakan melalui survei sosial. "Dan survei pendapat publik menyangkut kinerja 100 hari pertama pemerintah, ini adalah salah satunya," tuturnya.
Dedi lebih jauh memaparkan, pemerintah tidak dapat menafikan adanya timbal balik warga negara dalam bentuk respons, opini, dan penilaian-penilaian umum yang dirasakan secara langsung maupun tidak. "Pemerintahan terbuka seperti Indonesia memerlukan sudut pandang publik dalam pengambilan kebijakan atau sekurang-kurangnya menjadikan pendapat publik sebagai bagian dari materi pertimbangan," katanya.
Sebagai informasi, survei Indonesia Political Opinion dilakukan dalam kurun waktu 10–31 Januari 2020 dengan menggunakan teknik wellbeing purposive sampling (WPS). Menurutnya, pengarsipan data WPS memungkinkan pendapat publik tersimpan dengan model spiral majority (daerah dengan populasi besar mendapat porsi besar pula pengambilan sampel) di mana setiap penyurvei mendistribusikan questionnaire secara ganjil.
Pengukuran keabsahan data menggunakan triangulasi bertingkat, yakni membandingkan antara data ter-inputdengan analisis coder expert dan pengecekan ulang melalui wawancara via telepon sejumlah 20% dari total populasi sampel. "Validitas data dengan metode ini dalam rentang minimum 94% dan maksimum 97%," urainya.
Anggota Komisi II DPR RI Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, 100 hari memang belum cukup untuk menilai kinerja seorang menteri. Tapi setidaknya hasil survei ini menjadi gambaran awal bagaimana seorang menteri dinilai perform atau tidak oleh publik. "Oleh karena itu bagi menteri-menteri yang oleh publik dinilai buruk kinerjanya, ini lampu kuning. Jika dalam beberapa waktu ke depan tetap saja tidak ada perbaikan, Presiden harus berani mengganti mereka," tutur politikus PKB itu.
Gus Yaqut mengatakan, sangat bagus jika hasil evaluasi baik yang berasal dari kalangan eksternal maupun internal Istana menunjukkan dalam 100 hari pertama ini ada menteri yang memiliki kinerja tidak memuaskan agar segera diganti. “Artinya Presiden sudah paham betul bahwa para pembantunya yang tidak performed memang harus segera diganti. Kita dukung. Tapi kalau masih mau kasih kesempatan, target yang diberikan harus jelas," urainya.
Menurut Gus Yaqut, sikap tegas Presiden diperlukan karena dalam menjalankan roda pemerintahan tidak ada visi menteri, tetapi yang ada adalah visi Presiden. "Artinya kalau target tidak diberikan dengan jelas, sulit mengharap prestasi yang baik dari para menteri. Wong mereka nggak punya visi," katanya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan kepada kabinet keduanya tak ada istilah 100 hari kerja atas kinerjanya bersama Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin. Meski tak ada target, penilaian tetap dilakukan dari hasil kinerja menteri.
"Tidak ada 100 hari karena ini keberlanjutan dari periode pertama, kedua. Ini terus, enggak ada berhenti, terus ini lagi seperti itu," ujar Jokowi seusai acara Rakornas 2020 Integrasi Riset dan Inovasi Indonesia di Graha Widya Bhakti, Puspitek, Tangerang Selatan (30/1).
Mantan Wali Kota Solo itu menuturkan, capaian pemerintah diukur dari kinerja jajaran menteri di bawahnya. Ia mengaku telah memberikan indikator penilaian atau Key Performance Indicator (KPI) bagi para menteri dengan angka-angka yang jelas. “Semua harus pada posisi speed tinggi karena kita memiliki target yang kita arah, yang kita tuju," katanya. (Abdul Rochim/Ichsan Amin)
(ysw)