Problematika Eksekutorial Putusan MK
A
A
A
Mohammad Agus Maulidi
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas, Kerja Sama KPK RI dan Yayasan Satunama
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menggelar sidang pleno laporan MK tahun 2019 yang juga dihadiri Presiden. Salah satu fakta paling mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan adalah banyaknya putusan MK yang tidak dipatuhi oleh pelaksana putusan. Disebutkan oleh Ketua MK yang mengutip salah satu hasil penelitian bahwa putusan yang dipatuhi sepenuhnya sebanyak 54,12%, dipatuhi sebagian 5,50%, tidak dipatuhi sebanyak 22,01%, dan belum diidentifikasi secara jelas 18,34%.
Tidak dipatuhinya putusan MK ini menjadi problem paling serius yang harus diperhatikan mengingat MK merupakan lembaga peradilan yang meletakkan putusan sebagai mahkotanya. Putusan yang tidak dilaksanakan hanya akan menjadi macan kertas, tegas di atas tulisan, tapi tumpul pada tataran pelaksanaan. Pada keadaan yang lebih ekstrem menjadi tidak ada artinya keberadaan MK, terutama bagi pencari keadilan, ketika apa yang diputuskan justru diabaikan oleh pelaksana putusan. Bukan tidak mungkin pada akhirnya MK akan ditinggalkan oleh pencari keadilan.
Lemahnya eksekutorial putusan MK ini sebenarnya telah disadari sejak awal cikal bakal berdirinya MK. Alexander Hamilton menyebut lembaga peradilan (terutama MK) merupakan cabang kekuasaan terlemah di antara cabang kekuasaan lainnya: jika lembaga eksekutif memegang "pedang" di lengannya karena mempunyai aparatur negara untuk melaksanakan (memaksakan) kebijakannya, lembaga legislatif mempunyai "dompet" karena dapat mengatur perekonomian negara melalui fungsi budgeting maka MK tidak mempunyai alat kelengkapan apa pun untuk memaksakan putusannya (Alexander Hamilton dalam Maruarar Siahaan, 2008).
Beberapa Faktor
Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi mengapa hingga sejauh ini masih terdapat putusan MK yang cenderung diabaikan oleh pelaksana putusan. Pertama, tidak adanya special enforcement agencies. Tidak adanya lembaga pengeksekusi khusus yang ditunjuk untuk memaksakan pelaksanaan putusan, layaknya lembaga peradilan lainnya yang dilakukan oleh lembaga kepolisian maupun juru sita pengadilan menjadi faktor penting lemahnya eksekutorial putusan MK.
Tidak adanya lembaga eksekutorial ini disebabkan putusan MK mempunyai sifat "eksekusi otomatis", yaitu bahwa putusannya langsung dapat mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut juga dengan akibat hukum yang ditimbulkan sejak diucapkan. Contohnya, yaitu apabila suatu undang-undang dinyatakan inkonstitusional maka dengan sendirinya undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dijadikan dasar hukum (Abdul Latif, 2007). Namun demikian, pelaksana putusan dapat saja memuat norma yang sama dalam pembentukan undang-undang yang lain.
Kedua, tidak adanya konsekuensi yuridis tertentu atas pengabaian putusan MK. Normativisasi hukum tentu tidak cukup jika hanya sebatas memuat perintah dan larangan. Hal tersebut sangat rentan sekali untuk dilanggar dan tidak dipatuhi. Menjadi penting untuk memuat ketentuan mengenai sanksi atas ketidakpatuhan terhadap aturan atau keputusan hukum. Hingga saat ini sanksi hukum memang harus diakui sebagai alat yang paling ampuh untuk menjaga kewibawaan hukum dengan menjaga kepatuhan terhadap substansi hukum (Bambang Sutiyoso, 2009). Tidak adanya sanksi yang tegas atas pengabaian terhadap putusan MK inilah yang juga menjadi celah lemahnya eksekutorial putusan MK.
Ketiga, political will pelaksana putusan. Kehendak pelaksana putusan turut menjadi faktor penentu dipatuhinya putusan MK. Political will ini setidaknya ditentukan oleh beberapa alasan. Alasan pertama, kesulitan pelaksana putusan untuk menindaklanjuti putusan MK karena berimplikasi pada berubahnya situasi ketatanegaraan secara signifikan. Putusan Nomor 011/PUU-III/2005 yang membatalkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dinilai dapat mereduksi angka 20% dari APBN, adalah contoh konkretnya. Konsekuensi yuridis putusan MK mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan harus dikucurkan sebesar 20% sebagaimana amanat konstitusi, tidak boleh bertahap apalagi ditunda. Pada tahun 2006, alokasi anggaran pendidikan hanya sebesar 8,1% dari APBN dan sekitar 18% pada tahun 2007.
Alasan kedua, putusan MK yang tentu akan bersentuhan dengan perkara bernuansa politis. Dalam hal putusan yang dikeluarkan ini berlawanan dengan arah politik pelaksana dan kecenderungan untuk tidak mematuhi putusan MK ini akan muncul. Sementara pada saat yang bersamaan, MK hanya dapat bersifat pasif karena tidak dapat memaksakan putusannya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang mempunyai akibat hukum berupa penyetaraan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal legislasi, pengawasan, dan anggaran merupakan contoh konkret atas kasus tersebut.
Faktanya, setelah dikeluarkannya putusan itu, tepatnya pada 28 Mei 2013, pimpinan DPR serta pimpinan fraksi kala itu mengundang MK untuk melakukan rapat konsultasi yang membahas mengenai tindak lanjut putusan, dengan substansi bahasan yang masih mempertanyakan bentuk tindak lanjut dengan alasan terlalu sulit untuk menerapkan putusan. Faktanya, melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, putusan MK tersebut tetap tidak diakomodasi (Enny Nurbaningsih, 2015).
Uraian di atas menunjukkan bahwa lemahnya kekuatan eksekutorial putusan MK sehingga angka pengabaian masih cukup tinggi merupakan persoalan yang harus menjadi perhatian serius. Sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitusion), pengabaian terhadap putusan MK tak ubahnya pengingkaran terhadap konstitusi. Demikian pula, MK yang merupakan bentuk usaha secara institusional dan konstitusional menuju negara hukum menunjukkan bahwa pengabaian terhadap putusannya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap negara hukum itu sendiri.
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas, Kerja Sama KPK RI dan Yayasan Satunama
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menggelar sidang pleno laporan MK tahun 2019 yang juga dihadiri Presiden. Salah satu fakta paling mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan adalah banyaknya putusan MK yang tidak dipatuhi oleh pelaksana putusan. Disebutkan oleh Ketua MK yang mengutip salah satu hasil penelitian bahwa putusan yang dipatuhi sepenuhnya sebanyak 54,12%, dipatuhi sebagian 5,50%, tidak dipatuhi sebanyak 22,01%, dan belum diidentifikasi secara jelas 18,34%.
Tidak dipatuhinya putusan MK ini menjadi problem paling serius yang harus diperhatikan mengingat MK merupakan lembaga peradilan yang meletakkan putusan sebagai mahkotanya. Putusan yang tidak dilaksanakan hanya akan menjadi macan kertas, tegas di atas tulisan, tapi tumpul pada tataran pelaksanaan. Pada keadaan yang lebih ekstrem menjadi tidak ada artinya keberadaan MK, terutama bagi pencari keadilan, ketika apa yang diputuskan justru diabaikan oleh pelaksana putusan. Bukan tidak mungkin pada akhirnya MK akan ditinggalkan oleh pencari keadilan.
Lemahnya eksekutorial putusan MK ini sebenarnya telah disadari sejak awal cikal bakal berdirinya MK. Alexander Hamilton menyebut lembaga peradilan (terutama MK) merupakan cabang kekuasaan terlemah di antara cabang kekuasaan lainnya: jika lembaga eksekutif memegang "pedang" di lengannya karena mempunyai aparatur negara untuk melaksanakan (memaksakan) kebijakannya, lembaga legislatif mempunyai "dompet" karena dapat mengatur perekonomian negara melalui fungsi budgeting maka MK tidak mempunyai alat kelengkapan apa pun untuk memaksakan putusannya (Alexander Hamilton dalam Maruarar Siahaan, 2008).
Beberapa Faktor
Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi mengapa hingga sejauh ini masih terdapat putusan MK yang cenderung diabaikan oleh pelaksana putusan. Pertama, tidak adanya special enforcement agencies. Tidak adanya lembaga pengeksekusi khusus yang ditunjuk untuk memaksakan pelaksanaan putusan, layaknya lembaga peradilan lainnya yang dilakukan oleh lembaga kepolisian maupun juru sita pengadilan menjadi faktor penting lemahnya eksekutorial putusan MK.
Tidak adanya lembaga eksekutorial ini disebabkan putusan MK mempunyai sifat "eksekusi otomatis", yaitu bahwa putusannya langsung dapat mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut juga dengan akibat hukum yang ditimbulkan sejak diucapkan. Contohnya, yaitu apabila suatu undang-undang dinyatakan inkonstitusional maka dengan sendirinya undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dijadikan dasar hukum (Abdul Latif, 2007). Namun demikian, pelaksana putusan dapat saja memuat norma yang sama dalam pembentukan undang-undang yang lain.
Kedua, tidak adanya konsekuensi yuridis tertentu atas pengabaian putusan MK. Normativisasi hukum tentu tidak cukup jika hanya sebatas memuat perintah dan larangan. Hal tersebut sangat rentan sekali untuk dilanggar dan tidak dipatuhi. Menjadi penting untuk memuat ketentuan mengenai sanksi atas ketidakpatuhan terhadap aturan atau keputusan hukum. Hingga saat ini sanksi hukum memang harus diakui sebagai alat yang paling ampuh untuk menjaga kewibawaan hukum dengan menjaga kepatuhan terhadap substansi hukum (Bambang Sutiyoso, 2009). Tidak adanya sanksi yang tegas atas pengabaian terhadap putusan MK inilah yang juga menjadi celah lemahnya eksekutorial putusan MK.
Ketiga, political will pelaksana putusan. Kehendak pelaksana putusan turut menjadi faktor penentu dipatuhinya putusan MK. Political will ini setidaknya ditentukan oleh beberapa alasan. Alasan pertama, kesulitan pelaksana putusan untuk menindaklanjuti putusan MK karena berimplikasi pada berubahnya situasi ketatanegaraan secara signifikan. Putusan Nomor 011/PUU-III/2005 yang membatalkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dinilai dapat mereduksi angka 20% dari APBN, adalah contoh konkretnya. Konsekuensi yuridis putusan MK mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan harus dikucurkan sebesar 20% sebagaimana amanat konstitusi, tidak boleh bertahap apalagi ditunda. Pada tahun 2006, alokasi anggaran pendidikan hanya sebesar 8,1% dari APBN dan sekitar 18% pada tahun 2007.
Alasan kedua, putusan MK yang tentu akan bersentuhan dengan perkara bernuansa politis. Dalam hal putusan yang dikeluarkan ini berlawanan dengan arah politik pelaksana dan kecenderungan untuk tidak mematuhi putusan MK ini akan muncul. Sementara pada saat yang bersamaan, MK hanya dapat bersifat pasif karena tidak dapat memaksakan putusannya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang mempunyai akibat hukum berupa penyetaraan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal legislasi, pengawasan, dan anggaran merupakan contoh konkret atas kasus tersebut.
Faktanya, setelah dikeluarkannya putusan itu, tepatnya pada 28 Mei 2013, pimpinan DPR serta pimpinan fraksi kala itu mengundang MK untuk melakukan rapat konsultasi yang membahas mengenai tindak lanjut putusan, dengan substansi bahasan yang masih mempertanyakan bentuk tindak lanjut dengan alasan terlalu sulit untuk menerapkan putusan. Faktanya, melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, putusan MK tersebut tetap tidak diakomodasi (Enny Nurbaningsih, 2015).
Uraian di atas menunjukkan bahwa lemahnya kekuatan eksekutorial putusan MK sehingga angka pengabaian masih cukup tinggi merupakan persoalan yang harus menjadi perhatian serius. Sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitusion), pengabaian terhadap putusan MK tak ubahnya pengingkaran terhadap konstitusi. Demikian pula, MK yang merupakan bentuk usaha secara institusional dan konstitusional menuju negara hukum menunjukkan bahwa pengabaian terhadap putusannya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap negara hukum itu sendiri.
(cip)