Halal Food, Maqasid Syariah , dan Virus Korona

Kamis, 06 Februari 2020 - 06:00 WIB
Halal Food, Maqasid...
Halal Food, Maqasid Syariah , dan Virus Korona
A A A
Muhammad Said
Guru Besar Ekonomi Syariah pada Program Doktor Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Direktur Lembaga Pengembangan Ekonomi Syariah Ganesha Jakarta


BELAKANGAN ini terjadi kepanikan luas di berbagai belahan dunia akibat serangan virus korona. Headline media audio visual dan cetak riuh oleh pemberitaan tentang virus korona. Pemerintah dari berbagai negara pun mengeluarkan travel warning pada warga negaranya dan berlomba mengevakuasi warga negaranya keluar dari wilayah Wuhan, tempat diduga asal-muasal sebaran serangan virus korona. Data terbaru menunjukkan angka 305 orang meninggal dunia dan jumlah penderita telah mencapai lebih dari 14.500 orang akibat serangan virus ini. Apa itu virus korona, hubungan virus korona dengan halal food serta maqasid shariah menjadi tujuan utama eksplorasi opini ini. Epilog menjadi catatan kesimpulan opini.

Hakikat Virus Korona

Wikipedia menjelaskan virus korona bersumber dari familia Coronaviridae , virus yang menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia. World Health Organization (WHO) mengidentifikasi virus korona sebagai zoonosis , virus yang bisa tertular dari hewan ke manusia. Temuan menunjukkan bahwa virus SARS-CoV ditularkan dari kucing luwak ke manusia, virus MERS-CoV ditularkan dari unta dromedaris ke manusia. Virus korona yang menjadi subject matter saat ini adalah virus jenis lain.

Hasil penelitian Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CDC) menemukan penyebaran virus korona berkorelasi dengan perdagangan binatang liar yang mudah menyebar virus dari hewan ke manusia dan dari manusia kepada manusia lain sehingga menyebabkan korban terus berjatuhan secara luas di luar zona asal mula virus korona. Sumber data meyakini virus korona berasal dari pola konsumsi abnormal binatang liar, seperti kelelawar, tikus, katak, dan sejenisnya.

Halal Food dan Maqasid S yariah

Secara kodrati tubuh manusia menunjukkan resistensi terhadap bangkai dan binatang menjijikkan atau bangkai binatang liar, seperti kelelawar, ular, katak dan tikus. Secara medis mengonsumsi bangkai berbahaya bagi tubuh. Mikroba, bakteri, dan virus di dalam bangkai mengandung racun berbahaya bagi tubuh. Mikroba penyakit yang hidup cukup lama dalam bangkai menyerang fisik menjadi lemah, sakit, bahkan mematikan.

Secara fitrah, resistensi tubuh terhadap konsumsi produk tidak lazim berkorelasi dengan fitrah manusia yang condong pada kebajikan dan kebenaran (hanief). Berbeda dari sudut pandang tersebut, ekonomi Islam menghalalkan konsumsi bangkai binatang tertentu, seperti ikan dan belalang. Bahkan, seafood , buruan laut, dan makanan berasal dari laut masuk kategori makanan lezat bagi konsumen [Al-Maidah/5 : 96]. Bahkan, dalam Hadis terdapat dua darah halal dikonsumsi, yaitu hati (lever) dan limpa.

Pada dasarnya segala sesuatu di langit dan di bumi diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia agar jiwa manusia terpelihara (hifdz al nafs ) dari kemudaratan. Menjaga perilaku konsumsi, moderasi pola konsumsi secara sehat, teratur, higienis, halal, serta thayyibah , tidak ishraf dan tidak boros (tabdzir merupakan prinsip dan nilai penting untuk memelihara jiwa manusia. Konsumen Muslim hanya diperbolehkan untuk mengonsumsi, selain atas dasar prinsip di atas, daging yang disiapkan secara Islami, disembelih dengan nama Allah.

Filosofi hukum menyembelih hewan secara Islam adalah bentuk apresiasi Islam terhadap hewan sebagai ciptaan Tuhan harus dijaga, diperlakukan dengan baik, tidak dibantai dengan cara sadis seperti digilas mesin sehingga terjadi percampuradukkan antara yang bersih dan kotor. Menyembelih hewan menggunakan pisau tajam bertujuan menghilangkan rasa sakit dan penderitaan pada hewan sehingga darah mengucur keluar sampai habis agar tidak tertahan dalam tubuh hewan dan menjadi bakteri (mikroba) yang membahayakan manusia.

Hewan yang diperlakukan dengan cara Islami juga menghindarkan derajat bangkai pada hewan dan melepasnya dengan cara suci dan bersih. Selain itu, memenuhi cita rasa etis untuk dikonsumsi dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani secara bersamaan. Perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam tidak bersifat monolitik, melainkan mengandung kemanunggalan, yaitu pemenuhan kebutuhan biologis pada satu sisi dan kebutuhan spiritual pada yang bersamaan.

Etika konsumsi produk halal mengandung nilai kemanusiaan secara universal lantaran konsumen memiliki naluri yang sama, cinta produk yang baik, bergizi, mengandung protein tinggi, dan menghindari produk yang bisa merusak fisik dan psikis serta jijik terhadap bangkai dan bintang liar dikonsumsi secara abnormal. Mengonsumsi halal food and beverage tidak berarti menegakkan norma etika universal (universality of ethical norms) yang dibutuhkan manusia tanpa segmentasi perbedaan agama, suku, bangsa, dan rasa, yaitu manusia umat yang satu.

Prinsip universality of ethical normas menjadi salah satu daya dorong penting tingginya tingkat aspektibilitas konsumen global terhadap produk-produk halal di tengah persaingan bisnis industri global. Alhasil, berbagai sektor ekonomi halal, seperti sektor makanan-minuman (food and beverage), halal fashion, halal cosmetics, halal pharmeutics, halal media, dan halal tourism berkembang luas di negara-negara dengan populasi Muslim mayoritas sebagaimana halnya negara-negara dengan konsumen Muslim minoritas.

Epilog

Serangan virus korona menjadi pelajaran berharga yang dapat membangkitkan kesadaran diri bahwa betapa pun tinggi peradaban, capaian kecerdasan otak manusia tidak bermakna apa-apa dibandingkan dengan kebesaran Tuhan.

Keangkuhan manusia bahwa tidak ada lagi yang dapat mengganggu kehebatan peradabannya, bahkan uang dianggap sebagai Tuhan dalam lelucon generasi mereka, maka Allah secara tunai mempertontonkan kekerdilan capaian otak mereka dengan mengirim pasukan berupa bala tentara, serangan korona virus dan angin yang tidak terlihat oleh mata mereka (QS. 33:9).

Membangun moderasi perilaku konsumsi secara wajar sesuai aturan dan norma agama merupakan instrumen penting memelihara jiwa manusia (hifdz al nafs ) sebagaimana tujuan syariah. Etika konsumsi, pola konsumsi, dan gaya konsumsi sehat adalah prasyarat utama mewujudkan tujuan syariah dalam memelihara jiwa (hifdz al nafs). Produk halal, clean, hygiene, dan bergizi mutlak dibutuhkan demi alasan kemaslahatan jasmani dan rohani manusia sehingga menjadi alternatif preventif serangan virus korona secara keberlanjutan dan kesinambungan. Selain itu, perwujudan tujuan syariah dalam memelihara dan memproteksi kehidupan generasi masa depan (li hifdz al nasl).
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3938 seconds (0.1#10.140)