Siasat Melucuti Palestina

Rabu, 05 Februari 2020 - 07:50 WIB
Siasat Melucuti Palestina
Siasat Melucuti Palestina
A A A
Asrudin Azwar Peneliti, Pendiri The Asrudian Center
PADA 28 Januari 2020 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian Palestina-Israel di Gedung Putih. Acara itu dihadiri banyak tamu undangan, tapi anehnya tidak melibatkan sama sekali delegasi dari Palestina. Dalam rencana tersebut, AS mendukung Yerusalem sebagai "ibu kota seutuhnya" Israel. Padahal Palestina memandang Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka di masa mendatang.

Isi rencana Trump memang memaparkan sebuah visi mengenai status negara berdaulat Palestina di masa mendatang, tetapi Trump menempelkan sejumlah syarat di dalam rencananya itu. Persoalannya, salah satu syarat rencana Trump itu tak mungkin bisa dipenuhi, sebab Palestina tidak diperbolehkan memiliki kekuatan militer, dalam kata lain demiliterisasi.

Trump juga menjanjikan berdirinya negara Palestina yang berdampingan dengan Israel. Namun, peta dalam rencana Trump memperlihatkan Tepi Barat yang masih dipenuhi permukiman Israel dan sebuah terowongan panjang menghubungkan area tersebut dengan Jalur Gaza. Jika dilihat dari peta itu, AS secara nyata merestui Israel untuk bebas menganeksasi tanah Palestina di Tepi Barat.

Tak heran apabila Presiden Palestina Mahmoud Abbas menilai rencana perdamaian Trump ditujukan hanya untuk kepentingan Israel semata. Oleh sebab itu, Abbas menyerukan kepada seluruh masyarakat Palestina untuk bersama-sama membuang rencana tersebut ke "tempat sampah sejarah."

Masalah Kesejarahan
Adalah wajar jika Abbas bersikap demikian. Karena sejarah memang menunjukkan bahwa Amerika dan Israel tidak pernah berniat baik untuk membuat rencana perdamaian yang adil bagi Palestina. Persoalan pembangunan permukiman ilegal Israel, masalah konflik di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta Yerusalem yang dijadikan ibu kota Israel, telah menjadi masalah kesejarahan bagi perdamaian di Palestina.

Di sini saya akan menelusuri masalah kesejarahan tersebut satu demi satu. Pertama, persoalan pembangunan permukiman ilegal Israel. Sebagaimana diketahui, permukiman ilegal Israel di kawasan Palestina terus bertambah jumlahnya. Pada 1993, jumlahnya sekitar 110.000. Pada November 2019, jumlahnya meningkat menjadi 653.621. Ini tentu saja menjadi penghalang bagi perdamaian Israel-Palestina dan sumber petaka dalam berbagai pelanggaran hukum internasional serta hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina.

Kemudian soal status Yerusalem-kota yang disucikan oleh tiga agama (Islam, Yahudi, dan Kristen). Sebelum 1967, kota itu terbagi antara Israel yang menguasai Yerusalem Barat dan Yordania yang menguasai Yerusalem Timur. Israel menilai unifikasi kota itu pada 1967 merupakan hasil terpenting dari Perang Enam Hari. Namun, kedua pihak tetap menganggap kota itu sebagai ibu kota mereka dan ingin menguasai situs-situs sucinya, terutama reruntuhan Kuil Besar (Baitul Magqis) yang dibangun Raja Sulaiman—yang dikenal sebagai Tembok Ratapan—dan masjid besar Al-Aqsa, sebuah situs penting dalam Islam karena Nabi Muhammad naik ke langit. Sekarang Israel malahan menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota negara tersebut.

Distribusi sumber daya yang langka di kawasan itu, khususnya air, juga menjadi faktor masalah amat penting. Sumber daya air yang ada hampir tidak mencukupi kebutuhan permintaan akibat oleh percepatan cepat populasi Palestina dan kebutuhan akan irigasi di daerah tandus. Apalagi Israel menguasai sebagian besar air Sungai Yordan dan mulai mengatur air tanah Tepi Barat setelah 1967. Air yang tersedia di Timur Tengah dan Afrika Utara mulai menurun pada 1999 dan diperkirakan turun sampai di bawah tingkat kelangkaan dalam waktu dekat ini seiring pertumbuhan penduduk di kawasan itu. Debit air yang tidak memadai ini dipastikan akan terus meningkatkan ketegangan di kawasan.

Faktor kesejarahan lainnya yang dinilai tak kalah penting dari konflik Arab-Israel adalah larinya banyak warga Arab Palestina dari rumah-rumah mereka. Antara 600.000 dan 760.000 warga Arab Palestina lari ke negara-negara Arab tetangganya setelah Perang Kemerdekaan 1948. Jumlah ini terus meningkat pesat selama perang-perang berikutnya. Akibatnya, isu "hak kepulangan" pengungsi Palestina hingga kini masih menjadi masalah pelik yang belum bisa dipecahkan (Ian J. Bickerton, 1998).

Menurut data http://www.un.org/ terkini, Badan PBB untuk Bantuan dan Pekerjaan Pengungsi Palestina (UNRWA) telah menyediakan bantuan kemanusiaan, pembangunan manusia, perlindungan, dan advokasi bagi sekitar 5 juta pengungsi Palestina yang terdaftar dan tinggal di Tepi Barat, Gaza, Lebanon, dan Yordania. Karena itulah Palestina menuntut haknya untuk kembali ke rumah yang mereka tinggalkan ketika mereka melarikan diri atau diberi ganti rugi. Sayangnya, Israel tidak merasa memiliki kewajiban moral apa pun untuk mengembalikan rumah yang mereka tinggalkan selama perang yang menurut Israel merupakan akibat dari agresi Arab.

Kini, upaya demiliterisasi terhadap Palestina pun coba diupayakan Amerika dan Israel. Merujuk pada rencana Trump dan sejumlah masalah kesejarahan tersebut, hemat saya ini adalah siasat untuk melucuti Palestina, baik wilayahnya ataupun warganya. Bahkan, profesor Jurusan Ilmu Sosial dan Kajian Internasional di Universitas Exeter, Britania Raya, Ilan Pappe (2006), menilai lebih jauh lagi. Ia menyebut situasi itu sebagai pembersihan atas etnis Palestina oleh Israel, mirip dengan penderitaan pengungsi Yahudi setelah Perang Dunia II.

Jalan Keluar
Menyikapi masalah kesejarahan tersebut dan rencana Trump pada khususnya, Liga Arab sudah menegaskan penolakannya. Kumpulan bangsa Arab itu menyatakan rencana Trump tidak akan bisa memberikan keadilan bagi rakyat Palestina. Para pemimpin negara Arab juga bersumpah, "Tak akan bekerja sama dengan administrasi AS untuk mengimplementasikan rencana ini." Mereka tetap akan berpegang pada solusi dua negara bahwa batas negara Palestina adalah sebelum Perang Enam Hari pada 1967—ketika Israel mencaplok Tepi Barat dan Gaza—dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.

Tetapi, langkah itu saja tidaklah cukup. Sebab, yang dihadapi adalah negara-negara dengan kekuatan dan kekuasaan besar (Amerika dan Israel). Itu artinya, Liga Arab masih membutuhkan solidaritas internasional yang lebih besar lagi. Hingga kini sudah ada 137 negara anggota PBB, termasuk sebagian negara Eropa di dalamnya, yang mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, namun masih ada 56 negara lainnya yang masih belum mau mengakui.

Dalam kaitan itu, Liga Arab dan tentu saja Indonesia dituntut untuk bisa terus melakukan diplomasi intensif serta mulai melakukan lobi secara terus menerus terhadap 56 negara yang belum mau mengakui Palestina sebagai sebuah negara berdaulat. Jika jalan keluar itu bisa dilakukan, ini akan menjadi amunisi diplomatik yang bertenaga bagi Palestina. Mengapa? Karena semua anggota komunitas internasional yang tergabung dalam PBB akan memberikan solidaritasnya (pengakuan dan dukungan penuh) untuk Palestina.

Dengan begitu, Israel dan pendukung setianya AS yang bersiasat melucuti Palestina bisa ditekan komunitas internasional untuk mau melakukan perundingan yang sesuai dengan hukum internasional dan konflik Israel-Palestina akan bisa diselesaikan melalui solusi dua-negara. Semoga!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0983 seconds (0.1#10.140)