Sistem Jaminan Sosial ASN
A
A
A
DIAN PUJI N SIMATUPANG
Dosen Hukum Keuangan Publik dan Ketua Bidang Studi HAM FHUI
SISTEM jaminan sosial nasional dalam perspektif hukum administrasi negara bukan hanya merupakan konsep perencanaan, melainkan juga konsep kebijakan yang bertumpu pada pengembangan yang sistematis sesuai dengan politik hukum peraturan perundang-undangan secara komprehensif. Perkembangan tersebut bukanlah suatu penyimpangan, melainkan dinamika guna memperkuat sistem jaminan nasional itu sendiri.
Dalam perspektif sistem jaminan sosial yang diamanatkan UUD 1945, amanat yang diharapkan konstitusi tidak berfokus pada penguatan badan penyelenggara, tetapi amanat Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 adalah negara mengembangkan sistem jaminan sosial yang dapat diperoleh setiap orang agar menjadi manusia yang bermartabat. Dengan demikian, UUD 1945 tidak pernah mengatur penguatan badan dan/atau lembaga penyelenggara jaminan sosial tertentu. Kewajiban negara adalah mengembangkan sistem jaminan sosial yang dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia, yang ketentuan lebih lanjut diatur undang-undang berdasarkan politik hukum yang berkembang.
Politik Hukum Jaminan Sosial
Mengingat pengembangan sistem jaminan sosial diatur lebih lanjut dengan undang-undang, materi muatan pengaturan menjadi ranah kewenangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai suatu politik hukum yang terbuka (open legal policy ). Dengan demikian, penerbitan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, kemudian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan pada akhirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bukan suatu bentuk penyimpangan, melainkan dinamika politik hukum terbuka (open legal policy ).
Pembentukan tiga undang-undang tersebut merupakan refleksi politik hukum (rechtspolitiek ) sebagai kehendak yang faktual dan dinamis, di mana jaminan sosial tertentu bagi aparatur sipil negara/pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (ASN/PPPK) dan pejabat negara dikelola oleh suatu badan yang sudah ada guna menjamin kepastian hukum dan agar tercipta pengembangan sistem jaminan. Faktualisasi politik hukum tersebut bukanlah penyimpangan karena politik hukum yang telah terjadi sejalan dengan konstitusi, yaitu pengembangan sistem jaminan sosial, dan bukan penguatan badan/lembaga penyelenggara tertentu.
Konstitusionalitas Pengaturan
Sejak satu tahun terakhir pemerintah dan DPR konsisten mengembangkan sistem jaminan sosial yang selaras dalam konstitusionalisasi pengaturannya. Penetapan UU Nomor 5 Tahun 2014, yang kemudian dilanjutkan dengan PP Nomor 70 Tahun 2015, adalah jalan pengaturan yang konstitusional guna mengembangkan sistem jaminan sosial.
Alasan penerbitan PP Nomor 70 Tahun 2015 adalah untuk menjalankan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2014 sebagai politik hukum yang harus direalisasikan dalam suatu peraturan pemerintah. Dalam hal ini, jelas pemerintah menjalankan amanat Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 guna mengembangkan sistem jaminan sosial tertentu bagi ASN/PPPK/pejabat negara sehingga fokus pelayanan publik dan pelaksanaan tugas dan wewenangnya dapat berjalan optimal sehingga rakyat yang dilayani dapat memperoleh pelayanan yang prima.
Di sisi lain, peta jalan penyelenggaraan jaminan sosial yang dilakukan PT Taspen (Persero) juga selaras dengan prinsip konstitusionalitas dalam pengembangan sistem jaminan sosial nasional dan politik hukum nasional melalui UU Nomor 5 Tahun 2014. Bahkan, diakui dalam UU Rencana Jangka Panjang yang mengamanatkan lembaga yang mengelola sistem jaminan sosial yang sudah ada tetap menjalankan fungsinya untuk menjamin kepastian hukum. Dengan demikian, peta jalan penyelenggaraan jaminan sosial yang disusun PT Taspen bukan bentuk penyimpangan, tetapi amanat yang sah konstitusional dalam menjalankan UUD 1945 dan politik hukum yang termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 2014.
Di sisi lain, pilihan pengaturan politik hukum untuk menjadikan PT Taspen (Persero) sebagai penyelenggara jaminan bagi ASN adalah juga pilihan politik hukum terbuka (open legal policy ) antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan UU Nomor 5 Tahun 2014. Dalam konsep pilihan tersebut, rasionalitas praktis dan efisiensi mungkin menjadi pilihan, tetapi yang utama pilihan tersebut juga selaras dengan pengembangan sistem jaminan sosial nasional sesuai Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Mengembangkan Sistem Jaminan Sosial
Pilihan rasional pemerintah dan DPR dalam politik hukumnya dengan menetapkan PT Taspen (Persero) sebagai penyelenggara jaminan sosial bagi ASN adalah pilihan kebijakan yang rasional sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pilihan yang keliru dan penyimpangan yang perlu diluruskan. Pengembangan sistem jaminan sosial bagi ASN yang pengelolaannya dilakukan PT Taspen (Persero) merupakan jaminan politik hukum negara terhadap ASN/PPPK/pejabat negara agar dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik dan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dapat optimal karena sistem jaminan sosialnya tetap dalam pengembangan jaminan sosial yang berkelanjutan.
Perbedaan karakteristik jaminan sosial ASN yang dikelola PT Taspen (Persero) justru akan memberikan kepastian pengembangan bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk fokus pada kepesertaan lainnya yang bersifat wajib (mandatory ). Hal ini justru akan memberikan kemudahan dan kesiapan kelembagaan dan profesionalisme BPJS Ketenagakerjaan untuk mampu menjamin kepesertaan sektor formal dan informal yang masih belum ditangani secara komprehensif dengan menawarkan beberapa program BPJS Ketenagakerjaan unggulan yang menjadi prioritas dan menarik minat masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, amanat UUD 1945 guna mengukuhkan suatu pengembangan sistem jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud. Arah konstitusional sudah jelas, tinggal semua penyelenggara saling bersinergi mengembangkan sistem jaminan sosial nasional secara bersama-sama sehingga tidak ada saling menyalahkan tanpa memahami kontekstualitasnya secara menyeluruh karena semua penyelenggara jaminan sosial meyakini tujuannya untuk mengembangkan sistem jaminan sosial nasional yang berkepastian dan berkelanjutan.
Dosen Hukum Keuangan Publik dan Ketua Bidang Studi HAM FHUI
SISTEM jaminan sosial nasional dalam perspektif hukum administrasi negara bukan hanya merupakan konsep perencanaan, melainkan juga konsep kebijakan yang bertumpu pada pengembangan yang sistematis sesuai dengan politik hukum peraturan perundang-undangan secara komprehensif. Perkembangan tersebut bukanlah suatu penyimpangan, melainkan dinamika guna memperkuat sistem jaminan nasional itu sendiri.
Dalam perspektif sistem jaminan sosial yang diamanatkan UUD 1945, amanat yang diharapkan konstitusi tidak berfokus pada penguatan badan penyelenggara, tetapi amanat Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 adalah negara mengembangkan sistem jaminan sosial yang dapat diperoleh setiap orang agar menjadi manusia yang bermartabat. Dengan demikian, UUD 1945 tidak pernah mengatur penguatan badan dan/atau lembaga penyelenggara jaminan sosial tertentu. Kewajiban negara adalah mengembangkan sistem jaminan sosial yang dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia, yang ketentuan lebih lanjut diatur undang-undang berdasarkan politik hukum yang berkembang.
Politik Hukum Jaminan Sosial
Mengingat pengembangan sistem jaminan sosial diatur lebih lanjut dengan undang-undang, materi muatan pengaturan menjadi ranah kewenangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai suatu politik hukum yang terbuka (open legal policy ). Dengan demikian, penerbitan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, kemudian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan pada akhirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bukan suatu bentuk penyimpangan, melainkan dinamika politik hukum terbuka (open legal policy ).
Pembentukan tiga undang-undang tersebut merupakan refleksi politik hukum (rechtspolitiek ) sebagai kehendak yang faktual dan dinamis, di mana jaminan sosial tertentu bagi aparatur sipil negara/pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (ASN/PPPK) dan pejabat negara dikelola oleh suatu badan yang sudah ada guna menjamin kepastian hukum dan agar tercipta pengembangan sistem jaminan. Faktualisasi politik hukum tersebut bukanlah penyimpangan karena politik hukum yang telah terjadi sejalan dengan konstitusi, yaitu pengembangan sistem jaminan sosial, dan bukan penguatan badan/lembaga penyelenggara tertentu.
Konstitusionalitas Pengaturan
Sejak satu tahun terakhir pemerintah dan DPR konsisten mengembangkan sistem jaminan sosial yang selaras dalam konstitusionalisasi pengaturannya. Penetapan UU Nomor 5 Tahun 2014, yang kemudian dilanjutkan dengan PP Nomor 70 Tahun 2015, adalah jalan pengaturan yang konstitusional guna mengembangkan sistem jaminan sosial.
Alasan penerbitan PP Nomor 70 Tahun 2015 adalah untuk menjalankan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2014 sebagai politik hukum yang harus direalisasikan dalam suatu peraturan pemerintah. Dalam hal ini, jelas pemerintah menjalankan amanat Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 guna mengembangkan sistem jaminan sosial tertentu bagi ASN/PPPK/pejabat negara sehingga fokus pelayanan publik dan pelaksanaan tugas dan wewenangnya dapat berjalan optimal sehingga rakyat yang dilayani dapat memperoleh pelayanan yang prima.
Di sisi lain, peta jalan penyelenggaraan jaminan sosial yang dilakukan PT Taspen (Persero) juga selaras dengan prinsip konstitusionalitas dalam pengembangan sistem jaminan sosial nasional dan politik hukum nasional melalui UU Nomor 5 Tahun 2014. Bahkan, diakui dalam UU Rencana Jangka Panjang yang mengamanatkan lembaga yang mengelola sistem jaminan sosial yang sudah ada tetap menjalankan fungsinya untuk menjamin kepastian hukum. Dengan demikian, peta jalan penyelenggaraan jaminan sosial yang disusun PT Taspen bukan bentuk penyimpangan, tetapi amanat yang sah konstitusional dalam menjalankan UUD 1945 dan politik hukum yang termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 2014.
Di sisi lain, pilihan pengaturan politik hukum untuk menjadikan PT Taspen (Persero) sebagai penyelenggara jaminan bagi ASN adalah juga pilihan politik hukum terbuka (open legal policy ) antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan UU Nomor 5 Tahun 2014. Dalam konsep pilihan tersebut, rasionalitas praktis dan efisiensi mungkin menjadi pilihan, tetapi yang utama pilihan tersebut juga selaras dengan pengembangan sistem jaminan sosial nasional sesuai Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Mengembangkan Sistem Jaminan Sosial
Pilihan rasional pemerintah dan DPR dalam politik hukumnya dengan menetapkan PT Taspen (Persero) sebagai penyelenggara jaminan sosial bagi ASN adalah pilihan kebijakan yang rasional sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pilihan yang keliru dan penyimpangan yang perlu diluruskan. Pengembangan sistem jaminan sosial bagi ASN yang pengelolaannya dilakukan PT Taspen (Persero) merupakan jaminan politik hukum negara terhadap ASN/PPPK/pejabat negara agar dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik dan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dapat optimal karena sistem jaminan sosialnya tetap dalam pengembangan jaminan sosial yang berkelanjutan.
Perbedaan karakteristik jaminan sosial ASN yang dikelola PT Taspen (Persero) justru akan memberikan kepastian pengembangan bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk fokus pada kepesertaan lainnya yang bersifat wajib (mandatory ). Hal ini justru akan memberikan kemudahan dan kesiapan kelembagaan dan profesionalisme BPJS Ketenagakerjaan untuk mampu menjamin kepesertaan sektor formal dan informal yang masih belum ditangani secara komprehensif dengan menawarkan beberapa program BPJS Ketenagakerjaan unggulan yang menjadi prioritas dan menarik minat masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, amanat UUD 1945 guna mengukuhkan suatu pengembangan sistem jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud. Arah konstitusional sudah jelas, tinggal semua penyelenggara saling bersinergi mengembangkan sistem jaminan sosial nasional secara bersama-sama sehingga tidak ada saling menyalahkan tanpa memahami kontekstualitasnya secara menyeluruh karena semua penyelenggara jaminan sosial meyakini tujuannya untuk mengembangkan sistem jaminan sosial nasional yang berkepastian dan berkelanjutan.
(kri)