Apa Kabar Pemekaran Daerah
A
A
A
Allan Fatchan Gani Wardhana
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII & Dosen Fakultas Hukum UII
DI TENGAH hiruk-pikuk berita pemberantasan korupsi yang setengah hati, isu pemekaran daerah hampir lenyap dari pengamatan publik. Pro-kontra kemungkinan dibukanya pintu pemekaran daerah belum menemui titik terang. Sampai saat ini tercatat ada 173 daerah otonom baru (DOB) yang diusulkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi II DPR, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) periode lalu.
Adapun usulan pembentukan DOB tersebut datang dari sejumlah daerah di Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Papua, dan Jawa Barat. Usulan tersebut sampai saat ini belum bisa ditindaklanjuti karena usulan pembentukan DOB faktanya terkendala dengan adanya moratorium pemekaran atau penggabungan wilayah yang sudah diterapkan oleh pemerintah pusat sejak 2014. Kebijakan moratorium tersebut diberlakukan dengan maksud agar tidak ada penambahan daerah administratif baru, serta pemerintah ingin berkonsentrasi mengoptimalkan 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi yang telah ada.
Melihat Regulasi Lalu, mungkinkah pemekaran daerah itu terwujud? Pertama , dari aspek regulasi bahwa pemekaran daerah merupakan bagian dari penataan daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) memberi mandat kepada pemerintah untuk melakukan penataan daerah melalui pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Adapun pembentukan daerah dilakukan dengan dua cara, yakni pemekaran daerah dan penggabungan daerah. Secara perinci, bahwa prosedur mengenai usulan hingga keputusan akhir adanya pemekaran daerah telah diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 43 UU Pemda.
Jika mencermati prosedur pemekaran daerah dalam UU Pemda, tidak mudah memang untuk mewujudkan pemekaran daerah karena harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti persyaratan dasar kewilayahan, administratif, dan persyaratan kapasitas daerah. Persyaratan tersebut nantinya akan dikaji oleh Tim Kajian Independen yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang tugasnya melakukan kajian terhadap kelayakan suatu daerah untuk dimekarkan. Meski perwujudan pemekaran daerah harus melalui prosedur yang panjang dan rumit, pemekaran daerah sangat mungkin dilakukan karena UU Pemda telah memberikan payung hukum.
Dengan hal tersebut, justru keberadaan moratorium pemekaran daerah dapat kita pertanyakan keabsahannya, karena faktanya moratorium pemekaran daerah bertentangan dengan UU Pemda. Dalam hal pemekaran daerah, keberadaan UU Pemda bersifat mengikat bagi pemerintah. Implikasinya, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain harus taat menjalankan undang-undang. Selain itu, UU Pemda harus menjadi pilihan utama dan tidak bisa dikesampingkan dengan adanya moratorium.
Kedua , dari aspek kebutuhan. Tidak bisa dimungkiri, bahwa faktanya kebutuhan akan pembentukan daerah baru justru datang dari atas melalui pemerintah pusat dan datang dari bawah melalui pemerintah daerah. Sampai saat ini, pemerintah pusat berkepentingan untuk melakukan pemekaran di Papua dan Papua Barat dengan usulan pemekaran daerah baru, yaitu Papua Tengah dan Papua Selatan. Adapun dari pemerintah daerah misalnya, usulan Wali Kota Bogor Bima Arya yang membentuk tim untuk mengkaji penyatuan Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kota Sukabumi. Kemudian Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi yang mengusulkan Bekasi dengan DKI Jakarta menjadi Jakarta Tenggara.
Ketiga , usulan pemekaran daerah adalah implikasi dari dianutnya otonomi daerah. Rezim otonomi seluas-luasnya memberikan peluang bagi daerah untuk melaksanakan pembangunan berdasarkan prakarsa dan kebutuhan daerah itu sendiri.
Cabut Moratorium
Berdasarkan ketiga hal di atas, adanya regulasi yang mendukung, kebutuhan akan pemekaran, serta konsep otonomi daerah telah memberikan peluang untuk mewujudkan adanya pemekaran daerah. Kini tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain harus mencabut moratorium pemekaran daerah. Hal ini pula yang diusulkan oleh DPD yang juga telah mengusulkan agar pemerintah mencabut moratorium pemekaran daerah.
Setelah moratorium dicabut, biarlah mekanisme pemekaran daerah dilakukan berdasarkan UU Pemda. Terkait adanya kekhawatiran bahwa ketika moratorium ini dicabut akan banyak daerah yang melakukan pemekaran, hal ini juga telah diantisipasi dengan UU Pemda di mana prosedur pemekaran daerah sangatlah panjang dan keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Bahkan, UU Pemda juga telah memberikan peluang dimungkinkannya pembentukan daerah yang didasarkan atas pertimbangan kepentingan strategis nasional seperti di Papua atau di daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita tidak perlu takut dengan adanya usulan pemekaran daerah apabila pemerintah pusat dan pemerintah daerah konsisten melaksanakan UU Pemda. Justru, pemekaran daerah berpotensi dapat menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah, terutama bagi daerah-daerah yang memiliki kesamaan geografis dan sosiokultural.
Pemekaran daerah harus dimaknai sebagai bentuk penataan daerah yang diarahkan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan demikian, kebutuhan pemekaran itu bisa dipenuhi dalam konteks pemerataan pembangunan dan pengembangan di daerah.
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII & Dosen Fakultas Hukum UII
DI TENGAH hiruk-pikuk berita pemberantasan korupsi yang setengah hati, isu pemekaran daerah hampir lenyap dari pengamatan publik. Pro-kontra kemungkinan dibukanya pintu pemekaran daerah belum menemui titik terang. Sampai saat ini tercatat ada 173 daerah otonom baru (DOB) yang diusulkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi II DPR, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) periode lalu.
Adapun usulan pembentukan DOB tersebut datang dari sejumlah daerah di Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Papua, dan Jawa Barat. Usulan tersebut sampai saat ini belum bisa ditindaklanjuti karena usulan pembentukan DOB faktanya terkendala dengan adanya moratorium pemekaran atau penggabungan wilayah yang sudah diterapkan oleh pemerintah pusat sejak 2014. Kebijakan moratorium tersebut diberlakukan dengan maksud agar tidak ada penambahan daerah administratif baru, serta pemerintah ingin berkonsentrasi mengoptimalkan 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi yang telah ada.
Melihat Regulasi Lalu, mungkinkah pemekaran daerah itu terwujud? Pertama , dari aspek regulasi bahwa pemekaran daerah merupakan bagian dari penataan daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) memberi mandat kepada pemerintah untuk melakukan penataan daerah melalui pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Adapun pembentukan daerah dilakukan dengan dua cara, yakni pemekaran daerah dan penggabungan daerah. Secara perinci, bahwa prosedur mengenai usulan hingga keputusan akhir adanya pemekaran daerah telah diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 43 UU Pemda.
Jika mencermati prosedur pemekaran daerah dalam UU Pemda, tidak mudah memang untuk mewujudkan pemekaran daerah karena harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti persyaratan dasar kewilayahan, administratif, dan persyaratan kapasitas daerah. Persyaratan tersebut nantinya akan dikaji oleh Tim Kajian Independen yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang tugasnya melakukan kajian terhadap kelayakan suatu daerah untuk dimekarkan. Meski perwujudan pemekaran daerah harus melalui prosedur yang panjang dan rumit, pemekaran daerah sangat mungkin dilakukan karena UU Pemda telah memberikan payung hukum.
Dengan hal tersebut, justru keberadaan moratorium pemekaran daerah dapat kita pertanyakan keabsahannya, karena faktanya moratorium pemekaran daerah bertentangan dengan UU Pemda. Dalam hal pemekaran daerah, keberadaan UU Pemda bersifat mengikat bagi pemerintah. Implikasinya, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain harus taat menjalankan undang-undang. Selain itu, UU Pemda harus menjadi pilihan utama dan tidak bisa dikesampingkan dengan adanya moratorium.
Kedua , dari aspek kebutuhan. Tidak bisa dimungkiri, bahwa faktanya kebutuhan akan pembentukan daerah baru justru datang dari atas melalui pemerintah pusat dan datang dari bawah melalui pemerintah daerah. Sampai saat ini, pemerintah pusat berkepentingan untuk melakukan pemekaran di Papua dan Papua Barat dengan usulan pemekaran daerah baru, yaitu Papua Tengah dan Papua Selatan. Adapun dari pemerintah daerah misalnya, usulan Wali Kota Bogor Bima Arya yang membentuk tim untuk mengkaji penyatuan Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kota Sukabumi. Kemudian Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi yang mengusulkan Bekasi dengan DKI Jakarta menjadi Jakarta Tenggara.
Ketiga , usulan pemekaran daerah adalah implikasi dari dianutnya otonomi daerah. Rezim otonomi seluas-luasnya memberikan peluang bagi daerah untuk melaksanakan pembangunan berdasarkan prakarsa dan kebutuhan daerah itu sendiri.
Cabut Moratorium
Berdasarkan ketiga hal di atas, adanya regulasi yang mendukung, kebutuhan akan pemekaran, serta konsep otonomi daerah telah memberikan peluang untuk mewujudkan adanya pemekaran daerah. Kini tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain harus mencabut moratorium pemekaran daerah. Hal ini pula yang diusulkan oleh DPD yang juga telah mengusulkan agar pemerintah mencabut moratorium pemekaran daerah.
Setelah moratorium dicabut, biarlah mekanisme pemekaran daerah dilakukan berdasarkan UU Pemda. Terkait adanya kekhawatiran bahwa ketika moratorium ini dicabut akan banyak daerah yang melakukan pemekaran, hal ini juga telah diantisipasi dengan UU Pemda di mana prosedur pemekaran daerah sangatlah panjang dan keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Bahkan, UU Pemda juga telah memberikan peluang dimungkinkannya pembentukan daerah yang didasarkan atas pertimbangan kepentingan strategis nasional seperti di Papua atau di daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita tidak perlu takut dengan adanya usulan pemekaran daerah apabila pemerintah pusat dan pemerintah daerah konsisten melaksanakan UU Pemda. Justru, pemekaran daerah berpotensi dapat menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah, terutama bagi daerah-daerah yang memiliki kesamaan geografis dan sosiokultural.
Pemekaran daerah harus dimaknai sebagai bentuk penataan daerah yang diarahkan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan demikian, kebutuhan pemekaran itu bisa dipenuhi dalam konteks pemerataan pembangunan dan pengembangan di daerah.
(pur)