Buku Tidak (Lagi) untuk Dibaca

Sabtu, 01 Februari 2020 - 07:06 WIB
Buku Tidak (Lagi) untuk Dibaca
Buku Tidak (Lagi) untuk Dibaca
A A A
Saiful Maarif

Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag

SAAT ini membaca buku bisa jadi merupakan aktivitas yang tidak mudah terkait kesempatan. Membaca buku di tengah segudang aktivitas juga menjadi masalah sendiri terkait pembagian waktu. Intensitas membaca yang tinggi juga berisiko terhadap kesehatan penglihatan. Audiobook (buku suara) lahir dan berkembang untuk menjembatani ihwal tersebut.

Cikal bakal buku suara sudah terentang lama. Thomas Alfa Edison, sekitar 150 tahun yang lalu, memulai perekaman buku suara dengan merekam sebaris kalimat dalam sebuah novel. Dibayangkannya, suatu saat teknologi mampu merekam novel secara utuh. Jika masih hidup pada zaman sekarang, Edison mungkin kaget saat melihat sekian banyak buku suara dibaca di seluruh dunia dengan alat pemutar simpel, bahkan bisa dibawa ke mana-mana.

Di era ketika arus informasi demikian deras, pekerjaan dan rutinitas dihadapkan pada segala yang berbau disruptif. Dalam kondisi demikian, bisa jadi waktu yang dibutuhkan untuk membaca buku menjadi persoalan tersendiri. Buku suara hadir untuk menawarkan alternatif baru terhadap cara menikmati dan memahami buku.

Orang makin menyadari laju teknologi informasi mendukung perkembangannya. Cukup dengan memakai aplikasi dan file buku dalam bentuk suara serta sarana pendengar ke indera telinga, orang sudah bisa menikmati buku dalam bentuk tutur kata sang narator.

Beberapa pesohor terkenal, Meryl Streep dan Elizabeth Moss misalnya, telah menjadi pengisi buku suara. Michelle Obama juga merilis buku suara untuk Becoming , buku memoarnya yang ternama. Pada situs berbayar perpustakaan digital ScribD, sebagian besar buku-buku terkenal sudah tersedia dalam format buku suara. Meyakini ini sebagai tren global, buku suara rasanya lambat laun akan mewarnai dunia perbukuan di Tanah Air.

Kecenderungan mendengar alih-alih membaca buku ini menghadirkan pertanyaan kepada sistem sensorik manusia. Orang terbiasa memahami dan menerima buku dengan cara dicerna mata dan memiliki pengaruh kuat dalam membentuk cara pandang dan cara otak bekerja. Para ahli terkait memberi dasar pemahaman mengenai ini. Gregory Bens (Brain Connectivity Journal , 2013) menjelaskan bahwa membaca buku mampu memengaruhi otak pembacanya, seterusnya menuntun orang itu pada tingkah lakunya. Dengan kemungkinan seintens ini, pembaca tentu sangat dekat dengan bukunya.

Namun, pada perkembangannya, buku suara hadir sebagai alternatif mencerna buku. Format buku suara ini pada awalnya lebih dikenal peruntukannya bagi kalangan tertentu karena masalah sensorik. Gus Dur yang memiliki keterbatasan pada penglihatan dikenang sebagai orang yang "membaca" buku lewat buku suara.

Buku suara dipandang memiliki pengaruh dan dampak yang kurang lebih sama dengan buku fisik. Fatma Deniz, penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Neuroscience ( 2019), menyimpulkan kualitas bacaan dan pemahaman otak atas buku sebagai yang objek yang didengar maupun dibaca hampir identik.

Seni dan Bisnis Mendengar

Meningkatnya minat terhadap buku suara seturut dengan capaian yang sama oleh podcast . Podcast adalah file audio digital berupa rekaman suara tentang berbagai tema yang bisa diperoleh secara digital. Bedanya dengan buku suara, podcast lebih pada rekaman suara, belakangan mulai merambah video, tentang tema-tema human interest .

Baik buku suara maupun podcast adalah bagian dari "seni" mendengar. Mendengar adalah upaya untuk memahami objek suara yang dicerna pancaindera. Pada audiobook dan podcast , upaya mendengar tidak berhadapan dengan objek hidup. Indera berhadapan dengan file digital. Praktik mendengar buku suara dan podcast berbeda dengan praktik membaca buku atau mendengar ceramah.

Bedanya lagi, serius membaca buku dilakukan dengan berhadapan dengan buku. Sementara serius mendengar buku suara bisa dilakukan dengan menjalankan aktivitas lain, makan dan minum misalnya. Inilah yang nanti akan meredefinisi makna dan upaya mendengar.

Sebagai bagian dari bisnis, audiobook dan podcast tentu menjanjikan. Pada 2018 majalah Forbes menilai bahwa di Inggris bisnis audiobook telah menjadi tren industri penerbitan. Firma Deloitte memperkirakan pada 2020 nilai kapitalisasi buku suara akan tumbuh 25%, menyentuh angka USD3,5 miliar. Tidak heran bila Harper Collins dan Penguin Book membuat divisi format audio untuk merespons perkembangan ini. Buku suara telah membentuk komunitas baru penikmat buku. Komunitas ini bisa jadi adalah mereka yang tidak terbiasa dengan membeli buku atau memang mereka yang sepenuhnya hanya bisa menikmati audio tanpa keinginan memiliki bentuk cetakan (in print). Tidak tertutup kemungkinan migrasi pembaca buku banyak yang akan bergeser menjadi pendengar buku.

Bagaimana prospek buku suara di Tanah Air? Menarik untuk dilihat lebih jauh tentang hal ini. Buku suara terasa belum berkembang menjadi kebutuhan. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi dalam berbagai bentuknya, buku suara akan hadir mewarnai dunia penerbitan cepat atau lambat.

Di Indonesia buku masih mengalami kendala dalam ketersediaan dan keterbacaannya. Penyediaan buku terkendala dengan bagaimana menghadirkan buku yang bermutu pada anak misalnya karena proses, harga, dan distribusinya. Membacanya juga menjadi masalah karena kemampuan anak-anak Indonesia yang terdeteksi berkualitas rendah sebagaimana yang terdeteksi dalam rilis PISA 2019.

Kehadiran buku suara bisa menjadi alternatif menjembatani disparitas dan kendala sebaran buku. Pada pelosok daerah yang sulit dijangkau dan menjadikan distribusi buku terhambat, buku suara bisa dihadirkan untuk menjumpai dan mewadahi minat baca anak dan masyarakat secara umum. Dengan harga yang relatif lebih murah dari buku fisik, buku suara bisa mengurangi beban biaya untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari buku.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9347 seconds (0.1#10.140)