Kasus Jiwasraya dan Benci-Cinta Penny Stock
A
A
A
Ahmad Aziz Putra Pratama
Owner & Founder Monster Laut Indonesia
Merebaknya dugaan skandal di Jiwasraya, Asabri, Bumiputera 1912, dan mungkin beberapa perusahaan asuransi lain menjadikan kosakata "saham gorengan" atau penny stock menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Kesalahan dalam pemilihan portofolio investasi disinyalir menjadi salah satu penyebab utama munculnya default, insolvent, dan situasi buruk kondisi perusahaan.
Secara pustaka tidak ada definisi baku tentang saham gorengan. Biasanya kategorisasi saham dibagi dalam beberapa lapis, yaitu saham lapis pertama (blue chips), lapis kedua, ketiga, dan seterusnya. Indikator yang dipakai bisa dari jumlah aset yang dimiliki, kapitalisasi pasar, dan indikator keuangan lainnya.
Tidak tertutup kemungkinan ke depan akan ada peneliti atau penulis buku yang tertarik untuk mengangkat tema/judul khusus tentang saham gorengan, ditinjau dari berbagai sisi secara komprehensif. Jika ada, apalagi dalam konteks yang terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI), ada peluang untuk menjadi buku best seller dan saya akan menjadi barisan pertama yang ingin memiliki dan membacanya.
Terjemahan bebas dari saham gorengan (penny stock) adalah saham yang fluktuasi pergerakan harganya cenderung liar, naik tinggi sekali dalam periode tertentu, misalnya dalam satu minggu perdagangan bursa, lalu biasanya diikuti dengan penurunan yang tajam pula. Jadi secara teknis, grafiknya akan cenderung sangat curam, tidak smooth seperti kebanyakan saham lainnya.
Yang sering terjadi, saham yang “digoreng” itu dialami saham lapis ketiga (third liner) atau lapis keempat (fourth liner) dan sangat jarang terjadi pada saham lapis kedua (second liner), apalagi saham blue chips. Kadang aksi goreng-menggoreng saham ini terjadi pada dormant stock, “saham tidur”, yaitu saham yang dalam kurun waktu yang lama jarang sekali ditransaksikan, bahkan tidak pernah ada transaksi sama sekali.
Benci-Cinta
Ada adagium yang diyakini oleh sebagian besar pelaku pasar bahwa harga sekuritas entah itu saham, obligasi, komoditas, mata uang atau berbagai instrumen derivatif yang lain sejatinya ada yang menggerakkan. Bahkan ada yang berpendapat secara ekstrem bahwa hampir semua komoditas yang diperdagangkan di dunia ini, dari yang skala kecil dan biasa di perdagangkan di pasar tradisional (misalnya cabai) sampai yang berskala raksasa (misal perdagangan minyak, emas), semuanya ada yang mengendalikan.
Pertanyaannya adalah siapa yang menggerakkan atau mengendalikan pergerakan harga saham, sekuritas atau komoditas tersebut atau dengan bahasa yang lebih lugas, siapa pihak yang biasa melakukan aksi “goreng-menggoreng” itu? Pelaku pasar sepakat mereka adalah bandar atau biasa disebut “Bd”? Dialah yang punya peran dan kontribusi besar terhadap situasi pasar yang “liar” seperti itu.
Secara riil, siapakah pelakunya? Yang jelas, pelaku tersebut harus menguasai sumber daya pasar yang memadai, baik dari segi dana, kepemilikan ataupun informasi. Dalam konteks saham, jika diadakan polling terhadap pelaku pasar, kemungkinan besar jawabannya akan mengerucut pada beberapa nama/pihak tertentu yang dirasa selama ini kiprahnya di BEI luar biasa. Lantas apakah aksi goreng-menggoreng (terutama saham) semacam ini 100% akan ditentang oleh pelaku pasar? Belum tentu.
Pasar modal adalah manifestasi atau pengejawantahan sejati dari sistem kapitalisme. Secara teoretis, harga sekuritas yang terjadi di pasar adalah hasil dari interaksi permintaan dan penawaran. Dalam konteks pasar saham, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI sangat mengidealkan situasi pasar yang pergerakannya teratur, wajar, dan efisien (TWE).
Faktanya tidak selalu demikian. Pelaku di pasar modal itu bisa dikatakan terdiri atas beberapa layer, mulai dari investor dan atau trader bermodal mini sampai pemain yang memutar aset triliunan rupiah per hari. Semuanya punya tujuan yang sama, yaitu mendapatkan keuntungan yang maksimum. Dalam interaksi semacam ini, kadang tercipta kondisi win-win solution, tetapi yang lebih sering terjadi adalah situasi “siapa memakan siapa”.
Sering dinyatakan bahwa mayoritas investor saham domestik dalam bertransaksi berorientasi jangka pendek, bahkan sangat pendek. Kelompok inilah yang biasa disebut trader. Berbeda dengan investor yang orientasinya bulanan atau tahunan, trader memiliki time horizon transaksi yang singkat, satu bulan, mingguan atau bahkan harian.
Bagi trader, fluktuasi harga adalah sebuah keniscayaan. Momen inilah yang sangat ditunggu-tunggu. Fluktuasi harga di pasar ibarat sebuah gelombang laut yang menjadi daya tarik utama bagi peselancar. Trader akan menikmati situasi semacam ini meskipun mereka tahu betul risikonya besar sekali, terempas ombak dan modalnya habis.
Untuk menjadi peselancar saham yang baik, dibutuhkan keahlian yang mumpuni. Di antaranya kemampuan analisis teknis dan fundamental, pengalaman trading (termasuk sudah pernah atau sering cut loss) serta manajemen psikologi trading yang cukup. Tidak kalah penting adalah feelingyang baik, yaitu kemampuan membaca arah pasar atau saham yang sedang digoreng.
Lebih sempurna jika punya akses ke bandar atau emiten. Untuk faktor yang terakhir ini, kemungkinan besar, jarang sekali dimiliki. Stock surfer ini membutuhkan gelombang yang asyik untuk berselancar, dengan kata lain, the real trader butuh pergerakan harga saham yang fluktuatif.
Jika pergerakan sahamnya fluktuatif, bahkan liar, secara guyonan mereka menyebutnya ada pasar malam di BEI. Trader bisa bersenang-senang menikmati hiburan yang ada dengan harapan mendapatkan untung yang besar dalam waktu yang singkat.
Statistik keberhasilannya mungkin kecil meskipun belum pernah ada data valid tentang hal itu. Yang jelas, trader berpengalaman biasanya sudah bisa memetakan timing yang tepat untuk masuk dan keluar di suatu saham. Mendapatkan keuntungan di saham gorengan seolah memberikan kepuasan lebih bila dibandingkan dengan saham blue chips, rasanya bisa mengalahkan pasar.
Persoalannya adalah kalau ada big fund, misal reksadana, dana pensiun, asuransi atau investor institusional lainnya ikut bermain saham gorengan. Ini sesuatu yang tidak lazim karena pergerakan mereka akan mudah dibaca. Ibarat kapal besar, akan sulit sekali bermanuver jika menghadapi gelombang. Begitu portofolionya nyangkut di saham jenis ini, sulit sekali untuk keluar karena pasar pasti tidak akan mampu menyerapnya, sebab demand-nya terlalu kecil. Inilah yang mungkin terjadi pada kasus Jiwasraya dan lainnya.
Apakah manajer investasi yang mengelola dana kakap dimaksud tidak menyadari hal tersebut? Ataukah ada pembiaran yang dilakukan oleh pihak yang berwenang? Masalah inilah yang sedang diselidiki oleh aparat penegak hukum. Di pasar, perasaan benci-cinta terhadap saham gorengan mungkin akan tetap ada.
Owner & Founder Monster Laut Indonesia
Merebaknya dugaan skandal di Jiwasraya, Asabri, Bumiputera 1912, dan mungkin beberapa perusahaan asuransi lain menjadikan kosakata "saham gorengan" atau penny stock menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Kesalahan dalam pemilihan portofolio investasi disinyalir menjadi salah satu penyebab utama munculnya default, insolvent, dan situasi buruk kondisi perusahaan.
Secara pustaka tidak ada definisi baku tentang saham gorengan. Biasanya kategorisasi saham dibagi dalam beberapa lapis, yaitu saham lapis pertama (blue chips), lapis kedua, ketiga, dan seterusnya. Indikator yang dipakai bisa dari jumlah aset yang dimiliki, kapitalisasi pasar, dan indikator keuangan lainnya.
Tidak tertutup kemungkinan ke depan akan ada peneliti atau penulis buku yang tertarik untuk mengangkat tema/judul khusus tentang saham gorengan, ditinjau dari berbagai sisi secara komprehensif. Jika ada, apalagi dalam konteks yang terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI), ada peluang untuk menjadi buku best seller dan saya akan menjadi barisan pertama yang ingin memiliki dan membacanya.
Terjemahan bebas dari saham gorengan (penny stock) adalah saham yang fluktuasi pergerakan harganya cenderung liar, naik tinggi sekali dalam periode tertentu, misalnya dalam satu minggu perdagangan bursa, lalu biasanya diikuti dengan penurunan yang tajam pula. Jadi secara teknis, grafiknya akan cenderung sangat curam, tidak smooth seperti kebanyakan saham lainnya.
Yang sering terjadi, saham yang “digoreng” itu dialami saham lapis ketiga (third liner) atau lapis keempat (fourth liner) dan sangat jarang terjadi pada saham lapis kedua (second liner), apalagi saham blue chips. Kadang aksi goreng-menggoreng saham ini terjadi pada dormant stock, “saham tidur”, yaitu saham yang dalam kurun waktu yang lama jarang sekali ditransaksikan, bahkan tidak pernah ada transaksi sama sekali.
Benci-Cinta
Ada adagium yang diyakini oleh sebagian besar pelaku pasar bahwa harga sekuritas entah itu saham, obligasi, komoditas, mata uang atau berbagai instrumen derivatif yang lain sejatinya ada yang menggerakkan. Bahkan ada yang berpendapat secara ekstrem bahwa hampir semua komoditas yang diperdagangkan di dunia ini, dari yang skala kecil dan biasa di perdagangkan di pasar tradisional (misalnya cabai) sampai yang berskala raksasa (misal perdagangan minyak, emas), semuanya ada yang mengendalikan.
Pertanyaannya adalah siapa yang menggerakkan atau mengendalikan pergerakan harga saham, sekuritas atau komoditas tersebut atau dengan bahasa yang lebih lugas, siapa pihak yang biasa melakukan aksi “goreng-menggoreng” itu? Pelaku pasar sepakat mereka adalah bandar atau biasa disebut “Bd”? Dialah yang punya peran dan kontribusi besar terhadap situasi pasar yang “liar” seperti itu.
Secara riil, siapakah pelakunya? Yang jelas, pelaku tersebut harus menguasai sumber daya pasar yang memadai, baik dari segi dana, kepemilikan ataupun informasi. Dalam konteks saham, jika diadakan polling terhadap pelaku pasar, kemungkinan besar jawabannya akan mengerucut pada beberapa nama/pihak tertentu yang dirasa selama ini kiprahnya di BEI luar biasa. Lantas apakah aksi goreng-menggoreng (terutama saham) semacam ini 100% akan ditentang oleh pelaku pasar? Belum tentu.
Pasar modal adalah manifestasi atau pengejawantahan sejati dari sistem kapitalisme. Secara teoretis, harga sekuritas yang terjadi di pasar adalah hasil dari interaksi permintaan dan penawaran. Dalam konteks pasar saham, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI sangat mengidealkan situasi pasar yang pergerakannya teratur, wajar, dan efisien (TWE).
Faktanya tidak selalu demikian. Pelaku di pasar modal itu bisa dikatakan terdiri atas beberapa layer, mulai dari investor dan atau trader bermodal mini sampai pemain yang memutar aset triliunan rupiah per hari. Semuanya punya tujuan yang sama, yaitu mendapatkan keuntungan yang maksimum. Dalam interaksi semacam ini, kadang tercipta kondisi win-win solution, tetapi yang lebih sering terjadi adalah situasi “siapa memakan siapa”.
Sering dinyatakan bahwa mayoritas investor saham domestik dalam bertransaksi berorientasi jangka pendek, bahkan sangat pendek. Kelompok inilah yang biasa disebut trader. Berbeda dengan investor yang orientasinya bulanan atau tahunan, trader memiliki time horizon transaksi yang singkat, satu bulan, mingguan atau bahkan harian.
Bagi trader, fluktuasi harga adalah sebuah keniscayaan. Momen inilah yang sangat ditunggu-tunggu. Fluktuasi harga di pasar ibarat sebuah gelombang laut yang menjadi daya tarik utama bagi peselancar. Trader akan menikmati situasi semacam ini meskipun mereka tahu betul risikonya besar sekali, terempas ombak dan modalnya habis.
Untuk menjadi peselancar saham yang baik, dibutuhkan keahlian yang mumpuni. Di antaranya kemampuan analisis teknis dan fundamental, pengalaman trading (termasuk sudah pernah atau sering cut loss) serta manajemen psikologi trading yang cukup. Tidak kalah penting adalah feelingyang baik, yaitu kemampuan membaca arah pasar atau saham yang sedang digoreng.
Lebih sempurna jika punya akses ke bandar atau emiten. Untuk faktor yang terakhir ini, kemungkinan besar, jarang sekali dimiliki. Stock surfer ini membutuhkan gelombang yang asyik untuk berselancar, dengan kata lain, the real trader butuh pergerakan harga saham yang fluktuatif.
Jika pergerakan sahamnya fluktuatif, bahkan liar, secara guyonan mereka menyebutnya ada pasar malam di BEI. Trader bisa bersenang-senang menikmati hiburan yang ada dengan harapan mendapatkan untung yang besar dalam waktu yang singkat.
Statistik keberhasilannya mungkin kecil meskipun belum pernah ada data valid tentang hal itu. Yang jelas, trader berpengalaman biasanya sudah bisa memetakan timing yang tepat untuk masuk dan keluar di suatu saham. Mendapatkan keuntungan di saham gorengan seolah memberikan kepuasan lebih bila dibandingkan dengan saham blue chips, rasanya bisa mengalahkan pasar.
Persoalannya adalah kalau ada big fund, misal reksadana, dana pensiun, asuransi atau investor institusional lainnya ikut bermain saham gorengan. Ini sesuatu yang tidak lazim karena pergerakan mereka akan mudah dibaca. Ibarat kapal besar, akan sulit sekali bermanuver jika menghadapi gelombang. Begitu portofolionya nyangkut di saham jenis ini, sulit sekali untuk keluar karena pasar pasti tidak akan mampu menyerapnya, sebab demand-nya terlalu kecil. Inilah yang mungkin terjadi pada kasus Jiwasraya dan lainnya.
Apakah manajer investasi yang mengelola dana kakap dimaksud tidak menyadari hal tersebut? Ataukah ada pembiaran yang dilakukan oleh pihak yang berwenang? Masalah inilah yang sedang diselidiki oleh aparat penegak hukum. Di pasar, perasaan benci-cinta terhadap saham gorengan mungkin akan tetap ada.
(maf)