Menakar 100 Hari Pemerintahan Jokowi

Kamis, 30 Januari 2020 - 07:24 WIB
Menakar 100 Hari Pemerintahan...
Menakar 100 Hari Pemerintahan Jokowi
A A A
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin genap menginjak usia 100 hari pada Senin (27/1) lalu. Keduanya resmi dilantik sebagai pemimpin nasional pada 20 Oktober 2019. Pertanyaannya, apakah pada 100 hari pertamanya Jokowi mampu memberi optimisme kepada publik akan keberhasilannya sebagai presiden hingga akhir masa jabatan pada 2024? Atau sebaliknya, publik justru dibuat pesimistis lantaran melihat begitu banyak masalah yang mendera di masa awal pemerintahan? Setiap orang tentu berhak membuat penilaian sendiri dengan menggunakan data dan argumentasi masing-masing. Namun, hal yang pasti, dalam 100 hari pertama, Jokowi beserta jajaran kabinetnya sudah menunjukkan kesungguhan dalam bekerja, terutama pada bidang ekonomi. Pemerintahan Jokowi kini sedang gencar-gencarnya mendorong investasi masuk ke dalam negeri demi terciptanya banyak lapangan kerja. Selain itu Jokowi juga sedang fokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi program prioritasnya.Namun kita juga tidak bisa menutup mata atas banyaknya masalah yang timbul di tiga bulan pertama ini, terutama di bidang hukum. Penegakan hukum di periode kedua Jokowi makin menunjukkan gejala kemunduran.
Istilah 100 hari pertama telanjur populer di masyarakat. Istilah ini dipakai untuk mengukur kinerja sebuah pemerintahan, baik di level pusat maupun daerah. Di lain sisi banyak pemimpin yang menjadikan momentum 100 hari untuk membuat berbagai gebrakan demi mencuri hati rakyat yang dipimpinnya. Akhirnya 100 hari telah menjadi tolok ukur tersendiri dalam menilai kinerja sebuah pemerintahan yang berkuasa.
Jokowi sebenarnya tidak mencanangkan target pada 100 hari di periode kedua pemerintahannya ini. Berbeda dengan periode pertamanya. Seusai pelantikan pada Oktober lalu Jokowi menegaskan bahwa dia tidak memasang target 100 hari. Pemerintahannya hanya akan lebih fokus pada pembukaan lapangan kerja, mereformasi birokrasi, dan membangun SDM andal demi menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0. Hal lain yang ditekankan adalah melanjutkan pembangunan infrastruktur, menyederhanakan regulasi, dan mereformasi birokrasi.
Beberapa langkah strategis memang sudah terlihat. Misalnya bagaimana pemerintah berupaya merombak regulasi. Banyaknya aturan yang saling tumpang tindih, perizinan yang rumit dinilai sebagai penghambat investasi. Atas dasar itu lalu dirumuskanlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Melalui RUU sapu jagat ini diharapkan investasi akan lebih mudah masuk dan lapangan kerja juga akan banyak tercipta. Muaranya tentu adalah menggeliatnya ekonomi dalam negeri.
Masih di bidang ekonomi, juga tampak jelas upaya pemerintah mengoptimalkan kinerja BUMN. Menteri BUMN Erick Thohir di awal masa tugas langsung melakukan "bersih-bersih" dengan merombak manajemen BUMN yang dinilai tidak sehat. Begitu pun dalam pembangunan SDM, Menteri Nadiem Makarim telah diminta Presiden membuat sejumlah terobosan agar kualitas pendidikan Indonesia membaik dan mampu mencetak generasi muda andal. Banyak yang menanti kiprah Nadiem dalam memajukan pendidikan Indonesia sebagaimana dia berhasil saat membangun bisnis transportasi berbasis daring.
Namun harus diakui upaya sungguh-sungguh dalam membangun ekonomi dan memperbaiki kualitas SDM justru tidak tampak pada bidang hukum. Penegakan yang berkeadilan terasa menjauh. Sejumlah contoh bisa disebutkan. Pertama , makin tumpulnya taring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini menjadi harapan rakyat dalam memerangi kejahatan korupsi yang menggurita. KPK dinilai tidak segarang dulu. Kasus suap terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang melibatkan kader PDI Perjuangan Hasan Masiku menjadi sorotan. Hasan Masiku hingga hari ini masih buron dan kantor DPP PDIP tak kunjung digeledah karena penyelidik harus mengantongi izin Dewan Pengawas KPK. Lembaga antikorupsi ini akhirnya dinilai takut membongkar kasus yang melibatkan kader PDIP yang notabene partai penguasa.
Kasus Jiwasraya yang gagal bayar dan merugikan negara Rp13 triliun juga menjadi catatan. Memang Kejaksaan Agung sudah menetapkan sejumlah tersangka, tetapi kasus ini dipandang perlu dibongkar hingga ke akarnya. Di luar urusan mismanajemen, kesalahan berinvestasi, diduga ada kesengajaan menyelewengkan dana nasabah Jiwasraya.
Waktu 100 hari memang tidaklah cukup untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pemerintah. Namun capaian yang baik tetap perlu apresiasi, sedangkan catatan-catatan negatif juga butuh perhatian untuk diperbaiki. Terlepas dari pro-kontra terhadap kebijakan pemerintah, hal yang terpenting saat ini adalah bagaimana membangun optimisme. Setiap komponen anak bangsa perlu bersinergi, bergandengan tangan dalam menghadapi tantangan hari ini dan masa depan yang tidak ringan. Mengkritik kebijakan pemerintah hal yang sah-sah saja dilakukan, bahkan wajib, terutama oleh partai politik di luar pemerintahan. Namun idealnya setiap kritik itu dibarengi dengan masukan-masukan yang sifatnya konstruktif dan memberi solusi. Perbedaan pandangan di antara elite tetap harus dalam kerangka kerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat yang menjadi dambaan semua pihak.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1127 seconds (0.1#10.140)