Indonesia sebagai Kabar Gembira
A
A
A
Saifur Rohman, Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
SECARA serentak pada awal 2020, terungkap tiga "kerajaan" baru yakni Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah; Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat; dan Kerajaan Selacau di Tasikmalaya, Jawa Barat. Polisi telah menangkap dua pelaku yang mengklaim sebagai raja dan ratu di Purworejo, Jateng, atas dasar tindak pidana penipuan dan penyebaran berita bohong, Jumat (17/1/2020). Modusnya adalah pengumpulan dana masyarakat antara Rp3 juta hingga Rp30 juta.
Secara umum, masing-masing kelompok tersebut memiliki pengikut hingga ratusan orang. Di samping pendekatan legal-formal, perlukah pemerintah menyelidiki lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi di tengah-tengah masyarakat kita? Jika perlu, dengan mempertimbangkan persoalan sosial tidak berhenti setelah vonis hakim, bagaimana sikap pemerintah pada masa datang?
Narasi Sosial
Dari penyelesaian kasus-kasus serupa pada masa lalu, terungkap bahwa penjara tidak membuat persoalan sosial selesai. Pada masa kini, Anda atau saya bisa saja mengalami disorientasi ketika informasi tentang apa saja dan dari siapa saja masuk secara serentak di layar sentuh. Kualitas dan kuantitas informasi pun sangat beragam. Ketika media televisi mengais-ngais berita dari tautan di media sosial, segala informasi bisa bertukar tangkap antara fakta dan asumsi.
Di tengah disorientasi nilai, informasi, dan fakta, tiga kerajaan baru ini membawa kita pada tentang pentingnya membangun narasi sosial.
Kerajaan pertama, Sunda Empire-Earth Empire, bermula dari unggahan akun Facebook bernama Renny Khairani Miler. Mereka mengklaim bahwa pemerintahan dunia akan berakhir pada 15 Agustus 2020. Karena itu, Sunda Empire bermaksud membangun sebuah kerajaan baru sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan dunia. Mereka telah mendeklarasikan diri di sebuah gedung yang berlokasi di perguruan tinggi Bandung.
Kerajaan kedua, terdapat klaim tentang Kesultanan Selacau di Kecamatan Parungponteng, Tasikmalaya, Jabar. Hal itu dinyatakan oleh Rohidin, warga Jabar yang didaulat sebagai sultan Patrakusumah VIII. Dia menyatakan diri sebagai keturunan Raja Padjadjaran Surawisesa.
Kerajaan ketiga, Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, juga mengklaim penerus Kerajaan Majapahit. Gelar raja yang bernama asli Totok Santoso, 42, adalah Rakai Mataram Agung Joyo Kusumo Wangsa Sanjaya Sri Ratu Indra Tanaya Hayuningrat Wangsa Syailendra. Sementara itu ratu yang bernama asli Fanny Aminadia, 41, adalah Kanjeng Ratu Dyah Gitarja. Mereka mengklaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit yang telah runtuh pada 1400 Masehi.
Kabar gembira
Fakta-fakta di atas memberikan pelajaran tentang empat narasi sosial.
Pertama , masing-masing klaim itu memiliki benang merah, yakni mengangkat kebesaran masa lalu sebagai identitas baru di tengah-tengah masyarakat. Bila menelusuri data sejarah, gelar yang digunakan Kerajaan Agung Sejagat terdapat dalam sejumlah prasasti yang ditemukan para arkeolog. Bukti, Rakai Mataram Sang Satu Sanjaya adalah raja dari Kerajaan Medang periode 717-746 Masehi. Hal itu berdasarkan prasasti Canggal dan Mantyasih , dan Cerita Parahyangan . Pendeknya, fakta-fakta historis menjadi sandaran dari sejumlah "kerajaan" yang muncul pada masa kini.
Kedua , beranjak dari temuan di lapangan, masing-masing telah membawa kabar tentang kesejahteraan bagi masyarakat di seluruh dunia. Dalam perspektif Weberian, kabar gembira adalah bagian dari sistem sosial karena kabar gembira memiliki aspek menjaga stabilitas struktur masyarakat. Perilaku masyarakat digerakkan oleh orientasi-orientasi abstrak yang diyakini sebagai benar. Itulah mengapa dari waktu ke waktu, kemunculan Ratu Adil, Imam Mahdi, juru penyelamat akan selalu terjadi. Klaim pembenaran dari fakta-fakta historis juga dapat dengan mudah didapati dalam teks-teks sejarah. Kendati demikian, di sisi lain, teks sejarah itu sendiri pun sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita mistis dan opini dari penulis. Hal itu mestilah dibaca sebagai politik membangun narasi sejarah sehingga memunculkan narasi ketiga.
Ketiga , kebutuhan masyarakat tentang identitas yang kuat, nilai-nilai, serta narasi tentang kebenaran dan kekuasaan. Buktinya, pengikut Kerajaan Agung Sejagat sudah mencapai 400 orang. Mereka dilengkapi dengan segala atribut dan ritual yang harus dijalani. Untuk memperkuat identitas itu, mereka telah diorganisasi untuk mewujudkan sebuah narasi besar tentang Majapahit yang sudah berjaya selama tiga abad. Menurut temuan pemerintah, organisasi itu telah digunakan sebagai media pengumpulan dana masyarakat untuk memperkaya diri.
Keempat , suka atau tidak, mereka membangun narasi kesejahteraan tentang masa lalu karena tidak puas dengan narasi sekarang ini. Berdasarkan penelusuran fakta-fakta di atas, mereka memiliki raja, struktur kerajaan, jabatan, gelar, klaim historis, serta visi kelompok. Dalam konteks sosial, gelar raja atau kesultanan di sebuah kerajaan memiliki "nilai" tersendiri. Nilai itu telah dikapitalisasi sebagai bagian dari narasi sejarah, keindonesiaan, sosial, hingga politik-ekonomi. Dengan kata lain, narasi itulah yang kemudian dimanfaatkan sebagai bagian dari politik kekuasaan.
Fakta-fakta di atas menunjukkan tentang alur disorientasi nilai dalam masyarakat digital menuju pembentukan nilai secara swadaya. Tak sulit mengatakan bahwa pemerintah tidak mampu membangun narasi tentang identitas kebangsaan yang menjadi bagian dari praktik-praktik sosial. Fakta, selama ini tidak terdengar pengembangan proyek "kabar gembira" yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan kita.
Kasus yang selama ini mendominasi adalah mulai ekstremitas, radikalisme, fundamentalisme, hingga persoalan terorisme. Di sisi lain, pemerintah lupa, narasi tentang "kerajaan baru" sebagai jembatan untuk meraih kesejahteraan adalah bukti tentang lemahnya pemerintah membangun narasi tentang "kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Pendeknya, pemerintah belum mampu menyebarkan kabar gembira itu. Dalam hemat kita, kata "Indonesia" itu sendiri adalah sebuah kabar gembira karena Indonesia mengemban amanat tentang ketuhanan, persatuan, kemanusiaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial.
SECARA serentak pada awal 2020, terungkap tiga "kerajaan" baru yakni Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah; Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat; dan Kerajaan Selacau di Tasikmalaya, Jawa Barat. Polisi telah menangkap dua pelaku yang mengklaim sebagai raja dan ratu di Purworejo, Jateng, atas dasar tindak pidana penipuan dan penyebaran berita bohong, Jumat (17/1/2020). Modusnya adalah pengumpulan dana masyarakat antara Rp3 juta hingga Rp30 juta.
Secara umum, masing-masing kelompok tersebut memiliki pengikut hingga ratusan orang. Di samping pendekatan legal-formal, perlukah pemerintah menyelidiki lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi di tengah-tengah masyarakat kita? Jika perlu, dengan mempertimbangkan persoalan sosial tidak berhenti setelah vonis hakim, bagaimana sikap pemerintah pada masa datang?
Narasi Sosial
Dari penyelesaian kasus-kasus serupa pada masa lalu, terungkap bahwa penjara tidak membuat persoalan sosial selesai. Pada masa kini, Anda atau saya bisa saja mengalami disorientasi ketika informasi tentang apa saja dan dari siapa saja masuk secara serentak di layar sentuh. Kualitas dan kuantitas informasi pun sangat beragam. Ketika media televisi mengais-ngais berita dari tautan di media sosial, segala informasi bisa bertukar tangkap antara fakta dan asumsi.
Di tengah disorientasi nilai, informasi, dan fakta, tiga kerajaan baru ini membawa kita pada tentang pentingnya membangun narasi sosial.
Kerajaan pertama, Sunda Empire-Earth Empire, bermula dari unggahan akun Facebook bernama Renny Khairani Miler. Mereka mengklaim bahwa pemerintahan dunia akan berakhir pada 15 Agustus 2020. Karena itu, Sunda Empire bermaksud membangun sebuah kerajaan baru sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan dunia. Mereka telah mendeklarasikan diri di sebuah gedung yang berlokasi di perguruan tinggi Bandung.
Kerajaan kedua, terdapat klaim tentang Kesultanan Selacau di Kecamatan Parungponteng, Tasikmalaya, Jabar. Hal itu dinyatakan oleh Rohidin, warga Jabar yang didaulat sebagai sultan Patrakusumah VIII. Dia menyatakan diri sebagai keturunan Raja Padjadjaran Surawisesa.
Kerajaan ketiga, Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, juga mengklaim penerus Kerajaan Majapahit. Gelar raja yang bernama asli Totok Santoso, 42, adalah Rakai Mataram Agung Joyo Kusumo Wangsa Sanjaya Sri Ratu Indra Tanaya Hayuningrat Wangsa Syailendra. Sementara itu ratu yang bernama asli Fanny Aminadia, 41, adalah Kanjeng Ratu Dyah Gitarja. Mereka mengklaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit yang telah runtuh pada 1400 Masehi.
Kabar gembira
Fakta-fakta di atas memberikan pelajaran tentang empat narasi sosial.
Pertama , masing-masing klaim itu memiliki benang merah, yakni mengangkat kebesaran masa lalu sebagai identitas baru di tengah-tengah masyarakat. Bila menelusuri data sejarah, gelar yang digunakan Kerajaan Agung Sejagat terdapat dalam sejumlah prasasti yang ditemukan para arkeolog. Bukti, Rakai Mataram Sang Satu Sanjaya adalah raja dari Kerajaan Medang periode 717-746 Masehi. Hal itu berdasarkan prasasti Canggal dan Mantyasih , dan Cerita Parahyangan . Pendeknya, fakta-fakta historis menjadi sandaran dari sejumlah "kerajaan" yang muncul pada masa kini.
Kedua , beranjak dari temuan di lapangan, masing-masing telah membawa kabar tentang kesejahteraan bagi masyarakat di seluruh dunia. Dalam perspektif Weberian, kabar gembira adalah bagian dari sistem sosial karena kabar gembira memiliki aspek menjaga stabilitas struktur masyarakat. Perilaku masyarakat digerakkan oleh orientasi-orientasi abstrak yang diyakini sebagai benar. Itulah mengapa dari waktu ke waktu, kemunculan Ratu Adil, Imam Mahdi, juru penyelamat akan selalu terjadi. Klaim pembenaran dari fakta-fakta historis juga dapat dengan mudah didapati dalam teks-teks sejarah. Kendati demikian, di sisi lain, teks sejarah itu sendiri pun sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita mistis dan opini dari penulis. Hal itu mestilah dibaca sebagai politik membangun narasi sejarah sehingga memunculkan narasi ketiga.
Ketiga , kebutuhan masyarakat tentang identitas yang kuat, nilai-nilai, serta narasi tentang kebenaran dan kekuasaan. Buktinya, pengikut Kerajaan Agung Sejagat sudah mencapai 400 orang. Mereka dilengkapi dengan segala atribut dan ritual yang harus dijalani. Untuk memperkuat identitas itu, mereka telah diorganisasi untuk mewujudkan sebuah narasi besar tentang Majapahit yang sudah berjaya selama tiga abad. Menurut temuan pemerintah, organisasi itu telah digunakan sebagai media pengumpulan dana masyarakat untuk memperkaya diri.
Keempat , suka atau tidak, mereka membangun narasi kesejahteraan tentang masa lalu karena tidak puas dengan narasi sekarang ini. Berdasarkan penelusuran fakta-fakta di atas, mereka memiliki raja, struktur kerajaan, jabatan, gelar, klaim historis, serta visi kelompok. Dalam konteks sosial, gelar raja atau kesultanan di sebuah kerajaan memiliki "nilai" tersendiri. Nilai itu telah dikapitalisasi sebagai bagian dari narasi sejarah, keindonesiaan, sosial, hingga politik-ekonomi. Dengan kata lain, narasi itulah yang kemudian dimanfaatkan sebagai bagian dari politik kekuasaan.
Fakta-fakta di atas menunjukkan tentang alur disorientasi nilai dalam masyarakat digital menuju pembentukan nilai secara swadaya. Tak sulit mengatakan bahwa pemerintah tidak mampu membangun narasi tentang identitas kebangsaan yang menjadi bagian dari praktik-praktik sosial. Fakta, selama ini tidak terdengar pengembangan proyek "kabar gembira" yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan kita.
Kasus yang selama ini mendominasi adalah mulai ekstremitas, radikalisme, fundamentalisme, hingga persoalan terorisme. Di sisi lain, pemerintah lupa, narasi tentang "kerajaan baru" sebagai jembatan untuk meraih kesejahteraan adalah bukti tentang lemahnya pemerintah membangun narasi tentang "kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Pendeknya, pemerintah belum mampu menyebarkan kabar gembira itu. Dalam hemat kita, kata "Indonesia" itu sendiri adalah sebuah kabar gembira karena Indonesia mengemban amanat tentang ketuhanan, persatuan, kemanusiaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial.
(jon)