Dana CSR versus Problem Gizi

Rabu, 22 Januari 2020 - 07:13 WIB
Dana CSR versus Problem...
Dana CSR versus Problem Gizi
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB

BEBERAPA waktu lalu saya diundang sebuah perusahaan besar untuk berbicara tentang problem gizi stunting (anak pendek) di masyarakat. Hadir dalam pertemuan tersebut tim marketing, tim communications, tim research and development, tim government relations, dan yayasan yang dinaungi korporasi tersebut.

Sangat menarik bahwa sebuah perusahaan besar berminat untuk membantu pemerintah dalam mencegah dan menangani masalah gizi yang lagi nge-hits, yaitu stunting . Dana corporate social responsibility (CSR) dari industri-industri dan perusahaan di Indonesia merupakan ladang potensial untuk membantu program pemberdayaan masyarakat, penanganan masalah gizi dan kesehatan, serta kegiatan yang bersifat income generating untuk mendukung kesejahteraan masyarakat kurang mampu.

Stunting sebagai satu di antara bentuk kurang gizi kronis kini semakin sering diberitakan karena kerap disinggung dalam pidato presiden, wakil presiden, maupun para menteri terkait. Apa yang bisa dilakukan oleh CSR untuk membantu pencegahan stunting?

Ada beberapa opsi kerja sama CSR, perguruan tinggi, LSM, dan pemerintah daerah yang dapat diinisiasi untuk pelaksanaan program penanganan stunting . Pertama , CSR menggandeng perguruan tinggi untuk melaksanakan kegiatan pengabdian pada masyarakat terkait stunting dengan dana sepenuhnya dari CSR perusahaan. Perguruan tinggi adalah gudangnya iptek.

Selain itu, sumber daya manusianya (baca: dosen) juga akan senantiasa bersemangat untuk melaksanakan satu di antara kewajiban tridarma, yaitu pengabdian pada masyarakat (darma lainnya adalah pendidikan dan penelitian). Dalam kegiatan CSR-perguruan tinggi, dosen dapat mengerahkan mahasiswanya untuk mengawal program yang dilaksanakan di masyarakat, baik melalui kegiatan KKN maupun praktik lapang.

Sebuah perusahaan multinasional baru-baru ini menggandeng tim dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menyosialisasikan slogan ISI PIRINGKU di hadapan 100 kader posyandu yang berasal dari 60 desa di Kabupaten Cianjur.

ISI PIRINGKU sebagai bagian dari Pedoman Gizi Seimbang telah di-launching oleh Kementerian Kesehatan pada 2014. Pesan yang tersurat dalam ISI PIRINGKU adalah keragaman dan kuantitas pangan yang harus dikonsumsi setiap individu agar hidup sehat. Para kader sangat antusias mengikuti pelatihan ISI PIRINGKU karena bisa menjadi bekal dalam penyuluhan gizi-kesehatan di posyandu masing-masing.

Kedua , CSR bekerja sama dengan LSM. Banyak LSM yang memiliki jaringan luas dengan sumber daya manusia yang berdedikasi untuk program-program kerakyatan. Meski hanya melibatkan dua pihak yakni CSR-LSM, namun pada kenyataannya mereka tidak bisa berlepas diri dari peran pemerintah daerah.

Paling tidak pemerintah daerah adalah pihak yang memberi izin pelaksanaan kegiatan di wilayahnya, mereka juga yang umumnya lebih paham akan problem kemasyarakatan di daerahnya. Dalam hal stunting , data stunting dari level desa, kecamatan, kabupaten, sampai provinsi semuanya ada di tangan pemerintah daerah.

Ketiga , CSR membuat MoU (memorandum of understanding ) dengan pemerintah daerah untuk menyediakan dana pendamping dalam rangka mendukung program pengentasan stunting . Setiap tahun dana CSR masuk ke pemerintah daerah dan program-program yang telah disepakati dua belah pihak (CSR-pemda) dilaksanakan secara bersama-sama.

Ini cocok untuk CSR yang bergerak di sektor pertambangan karena lokasi pelaksanaan kegiatan pembangunan masyarakat biasanya berdekatan (Ring 1, Ring 2, dan seterusnya) dengan wilayah operasional tambang. Model kerja sama CSR- pemerintah daerah seperti ini juga menjamin bahwa masyarakat sekitar tambang menerima manfaat akibat keberadaan tambang di daerahnya.

Kembali pada persoalan stunting yang targetnya akan diturunkan pemerintah dari 30,8% (2018) menjadi 19% (2023), maka diketahui program spesifik gizi yang dilakukan jajaran kesehatan telah dirasakan manfaatnya oleh balita stunting maupun ibu hamil berisiko melahirkan anak stunting.

Program jajaran kesehatan di antaranya adalah pemberian tablet tambah darah untuk ibu hamil, pemeriksaan kehamilan (ante-natal care), pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil kurang energi kronik (KEK) maupun balita kurang gizi, penimbangan anak dan imunisasi di posyandu dan lainnya. Coverage (cakupan) program spesifik gizi umumnya sudah tinggi yang menunjukkan bahwa program jajaran kesehatan sudah diterima dan dirasakan masyarakat.

Bagaimana dengan program sensitif gizi? Ini yang masih menjadi persoalan. Dalam suatu focus group discussio n di desa lokus stunting yang saya hadiri terungkap bahwa masih banyak rumah tangga dengan balita stunting yang tidak tercakup dalam program sensitif gizi. Program sensitif yang sekarang dilaksanakan pemerintah adalah Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), sanitasi air bersih dan jamban sehat, dan lainnya.

CSR hendaknya membantu pemerintah melalui program sensitif gizi. Dalam suatu publikasi dinyatakan bahwa program sensitif gizi berperan 70% dalam pengentasan problem stunting , sedangkan peran program spesifik gizi hanya 30%. Jadi, jelas kiranya bahwa mengatasi stunting tidak bisa hanya mengandalkan dari program-program spesifik yang dikawal Kementerian Kesehatan, namun kementerian lain yang terkait program sensitif mempunyai tanggung jawab lebih besar.

Baru-baru ini saya mengunjungi Kabupaten Barito Timur di Kalimantan Tengah dalam rangka sosialisasi stunting di hadapan kepala-kepala desa, kader posyandu, dan tenaga pelaksana gizi puskesmas. Action yang diharapkan oleh masyarakat adalah intensifikasi pemanfaatan pekarangan karena belanja sayuran setiap hari merupakan beban ekonomi yang rutin harus dianggarkan oleh setiap rumah tangga.

Apabila masyarakat sudah sadar tentang pentingnya budi daya sayuran di pekarangan, maka peluang ini bisa ditangkap oleh CSR bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat untuk bersama-sama menyediakan benih, bibit, mengenalkan teknik menanam dan memelihara tanaman sehingga kebutuhan belanja sayuran dapat ditekan.

Kunjungan lain yang saya lakukan dalam rangka program stunting adalah ke Kabupaten Lombok Utara. Masyarakatnya antusias untuk mengembangkan tanaman kelor sebagai sumber pangan bergizi. Kelor kini mempunyai nilai ekonomi tinggi setelah para ilmuwan menemukan senyawa-senyawa gizi yang penting untuk kesehatan, termasuk melancarkan produksi ASI.

CSR yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat harus bisa membaca masalah, menggali potensi, dan membina masyarakat agar dapat mengoptimalkan sumber daya di lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya, masyarakat miskin yang banyak mengalami problem gizi termasuk stunting perlu dibantu dengan "kail" dan "ikan".

Bantuan kail adalah agar masyarakat semakin mandiri, mempunyai keterampilan untuk memanfaatkan sumber daya alam untuk menopang kehidupan keluarganya, dan pada akhirnya tercipta masyarakat yang sehat dan sejahtera.

Bantuan ikan adalah upaya yang dilakukan oleh siapa pun termasuk CSR untuk membantu rumah tangga miskin dengan problem stunting agar anak-anak stunting dapat memperoleh bantuan pangan bergizi (telur, susu) dengan gratis atau bersubsidi sehingga anak-anak tersebut dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan tinggi badannya meski tidak seoptimal anak-anak sehat lainnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0669 seconds (0.1#10.140)