Fobia Tak Berdasar Perang Dunia III

Selasa, 21 Januari 2020 - 07:37 WIB
Fobia Tak Berdasar Perang...
Fobia Tak Berdasar Perang Dunia III
A A A
Algoth PutrantoStaf Pengajar Universitas Bina Sarana Informatika

PERISTIWA 11 September 2001 diakui atau tidak mengubah lanskap kebijakan pertahanan Amerika Serikat. Hanya sepekan setelah robohnya gedung kembar WTC di New York, Kongres Amerika menandatangani Authorization for Use of Military Force Against Terrorists (AUMF). Bermodal AUMF, Presiden Amerika dapat menggunakan semua kekuatan yang diperlukan dan pantas untuk melawan negara, organisasi, atau orang yang membantu serangan teroris yang terjadi pada 11 September 2001 mapun menyembunyikan organisasi atau orang tersebut.
Pada Desember 2016, di akhir administrasi Presiden Barack Obama, diterbitkan tafsir singkat AUMF sebagai pemberian otorisasi Kongres untuk penggunaan kekuatan terhadap Al-Qaeda dan kelompok-kelompok militan lainnya. Hasilnya? Salah satunya, ya Jenderal Militer Iran Qasem Soleimani. Komandan yang mengawasi cabang operasi luar negeri Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) tersebut tewas dalam serangan udara yang diluncurkan Amerika Serikat pada 3 Januari 2020. Banyak yang terperangah dengan keputusan Amerika Serikat itu. Hanya saja, jika melihat rangkaian pembersihan Israel terhadap jejaring tokoh militan Palestina, baik yang Sunni maupun Syiah, kematian Qasem Soleimani tidaklah mengejutkan bahkan sangat terkoneksi dan menjadi alasan tindakan Amerika sebagai sekutu Israel.
Dimulai pada 12 November 2019, rumah pemimpin senior Palestinian Islamic Jihad (PIJ) atau biasa disebut Jihad Islam, Akram al-Ajouri di Mezzah, Suriah, dirudal yang mengakibatkan cucu perempuannya Batoul dan putranya Muath tewas. Pada hari yang sama, Bahaa Abu al-Ata yang juga senior pemimpin Jihad Islam, terbunuh bersama istrinya dalam serangan udara di Gaza. Disusul pada 14 November 2019, Rasmi Abu Malhous, komandan unit roket Jihad Islam disasar serangan udara di Deiral-Balah, Gaza. Serangan rudal tersebut ikut menewaskan delapan keluarga Abu Malhous.
Modus membunuh menggunakan rudal bukan sekali ini saja diterapkan Israel. Pada 22 Maret 2004, Sheikh Ahmed Yassin, pemimpin spiritual kelompok militan Syiah, Hamas Palestina, tewas dirudal di atas kursi rodanya saat kembali dari masjid di Kota Gaza. Tak hanya menewaskan Sheikh Ahmed Yassin, tujuh orang lain ikut tewas akibat serangan itu.

Aksi buru dan bunuh bertempat di luar negeri bagi Israel bukanlah barang baru. Sebut saja operasi "Wrath of God" atau Murka Tuhan pascaperistiwa Olimpiade Munich 1972 yang menewaskan 11 atlet Israel. Operasi yang menyasar pemimpin organisasi militan Black September dan operator Palestine Liberation Organization (PLO) di bawah perintah langsung Perdana Menteri Golda Meir pada 1972, konon berjalan hingga 20 tahun, diteruskan pemimpin Israel yang lain.Lalu, bagaimana sikap Israel terhadap kelompok militan beraliran Syiah Palestina, yakni Hamas? Serangan dilakukan pada 17 November dengan menggelar serangan udara ke sejumlah titik di Gaza. Korbannya? Jelas tidak sedikit. Kemudian mengapa Jenderal Iran Qasem Soleimani disasar Amerika? Itu tak lepas dari perannya memainkan pengaruh lewat bantuan ke seluruh organisasi militan di Palestina secara terbuka sejak 2017 dengan menawarkan "dukungan penuh" Iran pascakeputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Saat itu Soleimani mengajukan tawaran kepada komandan Jihad Islam Palestina dan brigade Izz Al-Deen Qassam, sayap bersenjata kelompok militan Islam Hamas yang mengendalikan Jalur Gaza, dalam percakapan telepon pada 11 Desember 2017.
Rusia bergeming Lalu bagaimana dengan kemungkinan Perang Dunia III pascakematian Soleimani? Penulis menilai terlalu berlebihan. Faktor pertama tentu saja adalah melihat sikap Rusia sebagai sekutu Iran. Sejauh ini Rusia sekadar mengecam tindakan Amerika. Sikap standar Rusia tampak sekadar pemanis bibir mengingat sejarah aksi buru dan bunuh negara ini terhadap target mereka di luar negeri. Terakhir adalah penembakan tokoh Chechen, Zelimkhan Khangoshvili di Berlin, Jerman, pada 23 Agustus 2019.

Benar bahwa hubungan Rusia dan Iran akrab, bahkan keduanya cukup menderita akibat tekanan politis yang dilakukan Amerika Serikat sehingga mengakibatkan sejumlah sanksi bagi kedua negara. Namun, pada kenyataannya saat ini Rusia lebih membutuhkan kestabilan di Iran. Salah satunya karena kepentingan proyek energi yang sedang berlangsung hingga 2028. Unit tenaga nuklir pertama buatan Rusia dipasang pada 2011 di Bushehr. Pada 2014, Rusia menandatangani perjanjian dengan Iran untuk membangun delapan reaktor nuklir lagi di negara itu. Menurut perjanjian yang ditandatangani pada Juli 2016, Rusia memberikan pinjaman untuk mendanai 85% dari biaya konstruksi pembangkit listrik termal 1.400 megawatt di daerah Sirik, Provinsi Hormozgan.Sementara itu, pembangkit listrik tenaga nuklir di Bushehr pada November 2019 baru saja diumumkan memasuki tahap kedua pembangunan. Jika seluruh unit PLTN beres, Iran akan memiliki tambahan energi listrik hingga 3.000 megawatt. Ini belum termasuk industri hidrokarbon Iran dan infrastruktur energi yang dijalin kedua negara setelah bertahun mandek akibat adanya sanksi. Sayangnya, ancaman sanksi Trump membuat beberapa perusahaan minyak dan gas Rusia menghentikan proyek mereka di Iran serta menarik diri dari negara itu.
Satu lagi yang paling penting, semua orang tahu, Rusia terpaksa menunda pengiriman sistem rudal canggih permukaan ke udara S-300 yang pengirimannya sejak 2010 dan dijadwalkan ulang dikirim pada tahun ini. Pada sisi lain, hubungan Rusia dengan Israel sebagai pangkal pembunuhan Jenderal Soleimani juga dalam suasana hangat sejak Israel memaklumi intervensi Rusia ke Republik Chechnya pada 2009, karena Moskow mengatakan pihaknya akan memerangi terorisme. Hubungan akrab itu dimulai ketika Rusia dalam perang di Ossetia Selatan kerap dimata-matai drone canggih Hermes 450 buatan Elbit Israel yang dimiliki Georgia. Meski menang perang, Rusia merasa butuh membeli drone Israel. Hasilnya, pada April 2009, Rusia mengakuisisi sejumlah drone , seperti Bird-Eye 400, MK150, dan Searcher Mk II. Disusul pada September 2010, Rusia dan Israel menandatangani perjanjian kerja sama militer di Moskow.
Hubungan kedua negara makin akrab, di tengah kekhawatiran kedatangan unit S-300 untuk Iran, ditandai komunikasi yang intens antara Perdana Menteri Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sepanjang 2018, sudah tiga kali keduanya bertemu. Lalu, bagaimana dengan faktor lain? Sebut saja Eropa Barat yang menjadi sekutu Amerika setiap kali perang? Sayangnya, urusan Iran tidak membuat negara Eropa sepakat dengan Amerika Serikat yang gusar karena Rusia pada 16 Januari 2016 berhasil mendorong dicabutnya sanksi terkait nuklir ekonomi dan keuangan terhadap Iran.
Ketika pemerintah Trump secara sepihak kembali menerapkan sanksi terhadap Iran pada November 2018, negara Eropa Barat, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris tidak sepakat dengan tindakan Amerika. Di mana Rusia? Bersama China, keduanya tidak sepakat dengan Amerika. Alhasil, isu Iran tidak menyatukan Eropa dan Amerika seperti halnya kasus Irak-Kuwait tahun 1991 maupun ketika Amerika memutuskan menyerang Irak dan Afghanistan dengan alasan memburu teroris maupun mencari senjata pemusnah massal.
Melihat kondisi tersebut, jika melihat satu jenderal Iran tewas, apa iya pihak-pihak yang berkepentingan di Timur Tengah akan tertarik terlibat perang akbar? Rasanya kok jika dihitung-hitung itu tidak menguntungkan sama sekali.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5523 seconds (0.1#10.140)