Menguji Nyali KPK
A
A
A
NYALI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diuji. KPK sedang ditantang untuk mengusut tuntas kasus dugaan suap dengan tersangka Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang ditangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (8/1).
Dalam kasus ini KPK diminta menyelidiki dugaan keterlibatan oknum pengurus PDI Perjuangan (PDIP) yang notabene partai penguasa sekaligus penyokong utama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Banyak yang meragukan KPK bisa ”mengobok-obok” Partai Banteng sebagaimana dilakukan pada partai lain yang kadernya terjerat korupsi. Bahkan, ada yang memprediksi kasus ini hanya akan berhenti pada Wahyu dan tiga orang lainnya yang juga sudah jadi tersangka. Adapun pengurus PDIP kemungkinan bakal sulit ”tersentuh”.
KPK seharusnya tidak perlu gentar hanya karena alasan akan berbenturan dengan tembok kokoh bernama kekuasaan. Siapa pun pihak yang diduga terlibat kasus ini, tak terkecuali Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, seharusnya bisa diproses. Nama Hasto terseret dan ramai dibicarakan pasca-OTT terhadap Wahyu.
Keraguan publik KPK berani mengusut dugaan keterlibatan pengurus PDIP berangkat dari sejumlah fakta yang janggal. Pertama, gagalnya tim lapangan KPK menyegel kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Ini memang cukup aneh mengingat selama ini penyidik KPK nyaris tidak pernah menemui hambatan apa pun ketika hendak menyegel, ataupun menggeledah, sebuah tempat guna kepentingan penyelidikan atau penyidikan.
Kedua, penyidik KPK pada hari yang sama juga gagal memasuki Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta Selatan. Kabarnya, tim KPK datang untuk menangkap Hasto Kristiyanto yang diduga sedang berada di tempat itu. Bahkan, yang ironis, justru tim KPK yang digeledah oleh aparat kepolisian di tempat tersebut.
Hasto telah membantah dirinya berada di PTIK saat tim KPK datang. Namun, elite PDIP ini tetap saja terseret, apalagi ada dugaan dua orang yang juga ditangkap KPK, yakni DON dan SAE, merupakan staf Hasto.
Wahyu Setiawan diciduk KPK karena diduga menerima suap Rp400 juta terkait upaya pemulusan proses pergantian antarwaktu (PAW) caleg PDIP Harun Masiku. KPK sudah menyatakan bakal memeriksa pihak-pihak yang diduga memiliki kaitan dalam dugaan suap itu, termasuk Hasto.
Boleh saja KPK berjanji memeriksa siapa saja yang diduga terlibat. Namun, jika melihat lemahnya taring KPK sejak awal misalnya saat Hasto ”tak tersentuh” saat berada di PTIK dan kegagalan menyegel kantor pusat PDIP, maka wajar jika publik sangsi.
Keraguan publik diperkuat pula dengan lambannya penerbitan izin penggeledahan kantor DPP PDIP oleh Dewan Pengawas KPK. Mengapa izin tersebut harus ditunggu berhari-hari? Siapa yang menjamin tidak dilakukan penghilangan barang bukti karena lamanya proses izin? Lambannya penerbitan izin menggeledah oleh Dewan Pengawas makin menguatkan dugaan selama ini bahwa KPK memang sengaja dilemahkan di balik penerbitan UU KPK yang baru.
Belum lagi narasi-narasi yang dibangun komisioner KPK yang seolah-olah tidak mempermasalahkan penolakan terhadap tim lapangan KPK, baik saat di kantor DPP PDIP maupun di PTIK. Jika memang KPK merasa dihalang-halangi, harusnya terbuka saja berbicara ke publik. Dengan sikap komisioner KPK yang terkesan permisif dengan hambatan di lapangan, itu makin menimbulkan tanda tanya publik. Ini ada apa?
Namun, KPK bisa menjawab semua keraguan ini apabila dalam lanjutan proses pengungkapan kasus suap ini tetap independen dan tak pandang bulu. KPK jangan membiarkan publik berspekulasi macam-macam karena sikapnya yang terkesan ”balik badan” ketika berhadapan dengan partai penguasa. Jika memang ada kader dan petinggi PDIP, atau siapa pun yang terlibat, KPK jangan pernah gentar. KPK jangan ragu karena dukungan rakyat di belakang mereka.
Di awal masa tugas, KPK jilid baru ini memang sempat diragukan banyak pihak. Namun, kepercayaan publik mulai tumbuh seiring gebrakan KPK yang langsung melakukan OTT terhadap bupati Sidoarjo dan komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Ini tentu poin penting. Kepercayaan publik yang mulai kembali ini seharusnya bisa dijaga dengan menunjukkan integritas dan independensi. Kita mengenal jargon ”Berani Jujur Hebat!” yang diusung KPK. Kali ini KPK ditantang mengusut dugaan keterlibatan oknum pengurus elite PDIP. Jika itu bisa dilakukan, KPK bolehlah disebut berani dan hebat.
Dalam kasus ini KPK diminta menyelidiki dugaan keterlibatan oknum pengurus PDI Perjuangan (PDIP) yang notabene partai penguasa sekaligus penyokong utama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Banyak yang meragukan KPK bisa ”mengobok-obok” Partai Banteng sebagaimana dilakukan pada partai lain yang kadernya terjerat korupsi. Bahkan, ada yang memprediksi kasus ini hanya akan berhenti pada Wahyu dan tiga orang lainnya yang juga sudah jadi tersangka. Adapun pengurus PDIP kemungkinan bakal sulit ”tersentuh”.
KPK seharusnya tidak perlu gentar hanya karena alasan akan berbenturan dengan tembok kokoh bernama kekuasaan. Siapa pun pihak yang diduga terlibat kasus ini, tak terkecuali Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, seharusnya bisa diproses. Nama Hasto terseret dan ramai dibicarakan pasca-OTT terhadap Wahyu.
Keraguan publik KPK berani mengusut dugaan keterlibatan pengurus PDIP berangkat dari sejumlah fakta yang janggal. Pertama, gagalnya tim lapangan KPK menyegel kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Ini memang cukup aneh mengingat selama ini penyidik KPK nyaris tidak pernah menemui hambatan apa pun ketika hendak menyegel, ataupun menggeledah, sebuah tempat guna kepentingan penyelidikan atau penyidikan.
Kedua, penyidik KPK pada hari yang sama juga gagal memasuki Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta Selatan. Kabarnya, tim KPK datang untuk menangkap Hasto Kristiyanto yang diduga sedang berada di tempat itu. Bahkan, yang ironis, justru tim KPK yang digeledah oleh aparat kepolisian di tempat tersebut.
Hasto telah membantah dirinya berada di PTIK saat tim KPK datang. Namun, elite PDIP ini tetap saja terseret, apalagi ada dugaan dua orang yang juga ditangkap KPK, yakni DON dan SAE, merupakan staf Hasto.
Wahyu Setiawan diciduk KPK karena diduga menerima suap Rp400 juta terkait upaya pemulusan proses pergantian antarwaktu (PAW) caleg PDIP Harun Masiku. KPK sudah menyatakan bakal memeriksa pihak-pihak yang diduga memiliki kaitan dalam dugaan suap itu, termasuk Hasto.
Boleh saja KPK berjanji memeriksa siapa saja yang diduga terlibat. Namun, jika melihat lemahnya taring KPK sejak awal misalnya saat Hasto ”tak tersentuh” saat berada di PTIK dan kegagalan menyegel kantor pusat PDIP, maka wajar jika publik sangsi.
Keraguan publik diperkuat pula dengan lambannya penerbitan izin penggeledahan kantor DPP PDIP oleh Dewan Pengawas KPK. Mengapa izin tersebut harus ditunggu berhari-hari? Siapa yang menjamin tidak dilakukan penghilangan barang bukti karena lamanya proses izin? Lambannya penerbitan izin menggeledah oleh Dewan Pengawas makin menguatkan dugaan selama ini bahwa KPK memang sengaja dilemahkan di balik penerbitan UU KPK yang baru.
Belum lagi narasi-narasi yang dibangun komisioner KPK yang seolah-olah tidak mempermasalahkan penolakan terhadap tim lapangan KPK, baik saat di kantor DPP PDIP maupun di PTIK. Jika memang KPK merasa dihalang-halangi, harusnya terbuka saja berbicara ke publik. Dengan sikap komisioner KPK yang terkesan permisif dengan hambatan di lapangan, itu makin menimbulkan tanda tanya publik. Ini ada apa?
Namun, KPK bisa menjawab semua keraguan ini apabila dalam lanjutan proses pengungkapan kasus suap ini tetap independen dan tak pandang bulu. KPK jangan membiarkan publik berspekulasi macam-macam karena sikapnya yang terkesan ”balik badan” ketika berhadapan dengan partai penguasa. Jika memang ada kader dan petinggi PDIP, atau siapa pun yang terlibat, KPK jangan pernah gentar. KPK jangan ragu karena dukungan rakyat di belakang mereka.
Di awal masa tugas, KPK jilid baru ini memang sempat diragukan banyak pihak. Namun, kepercayaan publik mulai tumbuh seiring gebrakan KPK yang langsung melakukan OTT terhadap bupati Sidoarjo dan komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Ini tentu poin penting. Kepercayaan publik yang mulai kembali ini seharusnya bisa dijaga dengan menunjukkan integritas dan independensi. Kita mengenal jargon ”Berani Jujur Hebat!” yang diusung KPK. Kali ini KPK ditantang mengusut dugaan keterlibatan oknum pengurus elite PDIP. Jika itu bisa dilakukan, KPK bolehlah disebut berani dan hebat.
(maf)