Berlabuh di Tengah Ekonomi Roller Coaster

Kamis, 09 Januari 2020 - 08:12 WIB
Berlabuh di Tengah Ekonomi Roller Coaster
Berlabuh di Tengah Ekonomi Roller Coaster
A A A
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF

Ekonomi tahun 2020 akan berjalan layaknya roller coaster, naik-turun dengan siklus bisnis yang tak mudah ditebak. Tren inflasi di beberapa negara maju dan berkembang rendah, namun tak mampu menstimulus konsumsi rumah tangga. Para ekonom sibuk mendefinisikan fenomena ekonomi baru-baru ini, entah disebut stagnasi sekuler atau ekonomi roller coaster.

Kalau pun terjadi ekonomi seperti itu, Indonesia jelas bukan sopir atau operator roller coaster ekonomi global. Sebagai penumpang, tak lupa sabuk pengaman perlu diperketat agar tak mabuk atau celaka di tengah jalan.

Carmen Reinhart, Ekonom Harvard, mendefinisikan roller coaster dalam konteks siklus harga komoditas yang bergerak dalam rentang yang pendek. Misalnya, tak ada yang bisa menebak dengan pasti ke mana harga minyak mentah pascaeskalasi Amerika Serikat (AS) dan Iran.

Pembunuhan komandan milisi Iran jelas mengundang reaksi dan spekulasi akan pecahnya Perang Dunia ketiga. Harga minyak mentah jenis Brent sudah naik di atas USD70 per barel atau meroket 11% satu pekan terakhir. Krisis geopolitik di Timur Tengah bisa blunder bagi kinerja ekonomi negara berkembang.

Selain komoditas minyak mentah, yang tak kalah penting adalah masa depan sawit. Ada jutaan petani dan pekerja industri yang hidupnya bergantung dari sawit. Harga sawit rata-rata, menurut Bank Dunia, naik 43,9% per Desember 2019. Padahal, beberapa tahun sebelumnya dilanda kelesuan.

Proyeksi harga sawit kian sulit diperkirakan. Ada efek perang dagang yang membuat permintaan sawit untuk keperluan bahan baku industri menurun. Belum lagi cerita diskriminasi sawit yang dilakukan Eropa dan AS terus berlanjut dengan varian yang berbeda.

Kabar baiknya di tengah ekonomi roller coaster ini, ekonomi Indonesia masih bertahan di angka 5%. Namun, tak cukup memuaskan karena Indonesia tak masuk daftar 10 negara dengan pertumbuhan tertinggi di kawasan menurut Asian Development Bank pada 2019.

Bangladesh tercatat memiliki pertumbuhan 8,1%, disusul Nepal 7,1%, Tajikistan 7%, Kamboja 7%, dan Vietnam 6,8%. Indonesia masih bisa bertahan karena ada kontribusi 56% konsumsi domestik, motor lainnya belum bisa diandalkan.

Badai Baru Dimulai

Amukan badai ekonomi yang diributkan sejak beberapa tahun terakhir nyatanya baru permulaan. Indikator memburuknya perekonomian baru tercium kuat di akhir periode 2019. Pemberitaan positif dari pemerintah yang selalu optimistis, kini mulai pudar diganti wacana persiapan hadapi resesi.

Pertumbuhan kredit yang hanya 6,53% per November 2019 mengindikasikan tiga hal. Pertama , bank sedang tak baik-baik saja. Likuiditas yang superketat buat bank tak bisa agresif ekspansi kreditnya. Kedua , pelaku usaha secara umum, khususnya industri, sedang kurang berselera menambah stok bahan baku di gudang.

Ketiga , pendapatan masyarakat bergerak stagnan kalau tak mau dibilang merosot, khususnya karyawan kantoran yang mengalami pengurangan bonus, insentif lemburan dll. Khawatir kredit macet meningkat di 2020, lebih baik bank dan pelaku usaha pasif, wait and see dulu.

Fenomena kasus asuransi Jiwasraya, AJB Bumiputera bukan sekadar salah kalkulasi penempatan dana belaka atau adanya skenario korupsi yang masif melebihi kasus Bank Century dulu. Dua raksasa BUMN asuransi terantuk masalah, sebaiknya dijadikan indikasi bahwa kita menghadapi turbulensi ekonomi yang berbahaya.

Bak fenomena gunung es, di bawah dua perusahaan asuransi tersebut menyimpan teka-teki, apakah ini prakondisi krisis ekonomi yang sama seperti 1998 atau 2008?

Tantangan yang tak kalah pelik adalah kekhawatiran psikologis konsumen kelas menengah dan atas. Orang-orang berduit di republik jelas kelas yang highly informed ,terpelajar, melek informasi. Ketika AS sedang ribut soal pemakzulan Presiden Donald Trump, potensi perang AS-Iran, dan negosiasi perang dagang China yang tak jelas juntrungannya, orang kaya bersiap menahan belanja dan alihkan uang ke aset yang aman.

Wajar jika harga emas Antam diperdagangkan di atas Rp784.000 per gram, naik 18,6% dibandingkan setahun lalu. Ada anggapan ketika terjadi krisis maka likuiditas adalah raja, emas sebagai aset yang mudah dicairkan memenuhi syarat untuk antisipasi anjloknya perekonomian. Disusul kenaikan tajam pada jumlah deposito di atas Rp2 miliar pada pengujung tahun lalu.

Kondisi berbeda dialami kelas menengah dan bawah. Jika kelas menengah bawah sempat disuntik kenaikan bantuan sosial (bansos) dan belanja politik selama Pemilu 2019, kini daya belinya mulai rapuh. Iuran BPJS Kesehatan yang naik hingga 100%, penyesuaian tarif tol, cukai rokok naik, dan pengurangan subsidi dalam APBN bakal jadi mimpi buruk kelas yang rentan jadi miskin.

Belum ditambah kenaikan harga minyak mentah pastinya akan menyeret inflasi lebih tinggi, ditransmisikan melalui harga BBM dan tarif listrik nonsubsidi yang naik. Daya beli harus jadi fokus utama pada 2020, pemerintah harus siapkan antisipasi sedini mungkin.

Peluang Perubahan Pola Konsumsi

Bagi pelaku usaha, berlabuh di tengah ekonomi roller coaster tentu butuh trik khusus. Perubahan perilaku masyarakat dalam membeli produk jasa juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Sebagai contoh tren jalan-jalan atau leisure economy diperkirakan akan booming pada 2020, kendati bayang-bayang resesi menghantui.

Yang menarik adalah minat jalan-jalan akan disalurkan dengan pembelian hotel budget ,moda transportasi yang terjangkau, dan makanan-makanan khas yang murah meriah. Beruntungnya kehadiran aplikasi semacam Traveloka, Airy, dan Redbus dengan aksi promo dan cashback menambah semarak sektor pariwisata domestik.

Jika melihat data Badan Pusat Statistik, okupansi hotel berbintang mengalami tekanan hebat dan turun 1,61 poin menjadi 58,5%. Jumlah penumpang pesawat yang anjlok karena tiket pesawat yang mahal, memukul bisnis perhotelan.

Namun, di sisi lain ada fenomena berjamurnya jaringan OYO Hotel yang menawarkan harga yang kadang irasional dengan fasilitas bintang 3-4. Otomatis pemain besar siap-siap bertumbangan dan pemain-pemain kecil tengah berpesta. Bagi konsumen, tak peduli berdarahnya bisnis perhotelan karena pesaing baru, yang penting adalah nikmat jalan-jalan yang kian murah.

Bisnis restoran pun tak kalah menarik di tahun ini. Hotel secara umum boleh lesu, tapi sektor restoran justru tumbuh 6,6% per kuartal III 2019. Penopang utamanya tak lain selera milenial yang jumlahnya 90 juta orang dan budaya pop nongkrong di kafe yang viral di media sosial.

Hanya dalam hitungan hari, kedai kopi disuntik miliaran oleh investor dan merajai sudut-sudut Ibu Kota. Mal yang sepi disulap jadi pusat kuliner agar bertahan. Kemudian, lihat antrenya restoran yang dulu menunggu pelanggan, kini ditunggu driver ojek daring.

Perang dagang semestinya bukan hanya membawa bencana bagi ekonomi Indonesia. Beberapa sektor sedang kebanjiran pengalihan order dari China yang tarifnya mahal pascadiganjar kenaikan bea masuk oleh Trump.

Sebut saja produk pakaian jadi, per kuartal III 2019, industri sedang dan besar yang bergerak di pakaian jadi naik 15,2% secara tahunan. Butuh kejelian dari pelaku ekspor bahwa AS masih mengonsumsi USD2,4 triliun pakaian jadi.

Tak hanya milenial di Indonesia, para pemuda usia produktif di AS butuh baju dengan harga yang terjangkau. Brand besar seperti Nike dan adidas masih memercayakan sebagian produknya ke Indonesia. Idealnya, Indonesia masih kompetitif bersaing dalam urusan jualan pakaian jadi ke AS.

Bantu yang Perlu Dibantu

Tahun 2020, ketika bisnis konvensional kian terbelit ancaman resesi ekonomi, Indonesia patut bersyukur ada kelas konsumen baru di tengah bonus demografi, yakni milenial. Pola konsumsi yang bergeser tentunya membawa peluang bagi pelaku usaha, khususnya menengah dan kecil.

Di tengah resesi ekonomi, bukan berarti masyarakat tak belanja. Hanya terjadi perbedaan, di toko mana mereka belanja dan produk apa yang dibeli sesuai kemampuan kantong masyarakat.

Pemerintah tentunya tak perlu repot-repot mengurus yang milenial ini. Pertumbuhan sektor digital hanya butuh akses internet yang merata, pajak yang tak merepotkan, dan regulasi yang tak ribet. Niscaya anak-anak muda akan tumbuh menciptakan unicorn-unicorn baru. Biarlah anak muda diberi kepercayaan untuk menjadi motor pertumbuhan baru.

Sekarang saatnya pemerintah fokus membenahi ekonomi yang perlu ditolong, sektor komoditas yang hidup-matinya bergantung harga internasional dan industri manufaktur yang melempem. Mereka butuh insentif perpajakan, insentif kemudahan perizinan, dan stimulus lewat percepatan infrastruktur yang tepat sasaran.

Soal dampak perang dagang, yang perlu dilakukan pemerintah adalah membuka akses pasar yang masih remang-remang. Bukti daya saing beberapa produk masih unggul ke pasar yang ditinggalkan China menjadi harapan bagi eksportir republik.

Pembukaan akses pasar haruslah sejalan dengan peran duta besar dan atase perdagangan yang agresif mencari calon pembeli. Di sisi lain, keterbukaan informasi pasar yang dibutuhkan pelaku usaha juga menjadi kunci agar memahami permintaan di negara tujuan ekspor. Belum terlambat bagi Indonesia untuk berbenah, asalkan fokus dan konsisten dalam memperkokoh struktur perekonomian di tengah ekonomi yang penuh ketidakpastian.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6802 seconds (0.1#10.140)