Karpet Merah QR Code Pembayaran
A
A
A
Remon Samora, Analis Bank Indonesia
PER 1 Januari 2020 sistem pembayaran ritel Indonesia tengah memasuki babak baru. Di saat euforia ekonomi digital yang kian menggema, Bank Indonesia (BI) merilis QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) atau standar nasional QR Code pembayaran. QRIS hadir untuk menciptakan ekosistem pembayaran ritel berbasis QR Code yang lebih efisien. Satu QR Code untuk semua aplikasi pembayaran milik Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).
Sebelum QRIS diluncurkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap PJSP membangun standar dan infrastruktur QR Code pembayarannya masing-masing. Satu QR Code hanya bisa digunakan untuk satu aplikasi. Interoperabilitas antar-PJSP masih jauh panggang dari api. Implikasinya, timbul eksklusivitas dan inefisiensi dalam sistem pembayaran secara keseluruhan. Situasi ini jelas bertolak belakang dengan cita-cita Gerbang Pembayaran Nasional.
Dengan mengusung semangat UNGGUL (UNiversal, GampanG, Untung, dan Langsung), sejatinya kehadiran QRIS memberi angin segar bagi banyak pihak. Pertama , universal, penggunaan QRIS bersifat inklusif untuk seluruh lapisan masyarakat dan dapat digunakan untuk transaksi pembayaran di domestik dan luar negeri. Kedua, gampang, masyarakat bisa bertransaksi dengan mudah dan aman dalam satu genggaman ponsel. Ketiga, untung, transaksi dengan QRIS menguntungkan pembeli dan penjual karena transaksi berlangsung efisien melalui satu kode QR yang dapat digunakan untuk semua aplikasi pembayaran pada ponsel. Keempat , langsung, transaksi dengan QRIS langsung terjadi karena prosesnya cepat dan seketika sehingga mendukung kelancaran sistem pembayaran.
Sementara dari kacamata industri, eksistensi QRIS seakan menjadi oase di tengah ketatnya kompetisi. Perlu disadari bahwa industri sistem pembayaran berbasis QR Code dalam negeri saat ini mengarah ke bentuk pasar oligopoli. Ciri-cirinya ialah jumlah pengguna sangat banyak, sementara jumlah penyedia layanan relatif terbatas dengan beberapa di antaranya menjadi pemimpin pasar, yakni Ovo, GoPay, LinkAja, dan Dana.
Dalam teori ekonomi, kelemahan dari bentuk pasar ini ditandai dengan adanya tendensi hambatan masuk (barriers to entry) bagi pemain baru. Manifestasinya berupa persaingan tidak sehat, yakni perang harga (predatory pricing), kartel, dan lain-lain. Apabila tidak dilakukan intervensi, bisa dipastikan kondisi ini akan bermuara pada pertumbuhan industri yang lambat dan inefisien.
Pengalaman industri sistem pembayaran berbasis QR Code di China seolah menegaskan argumentasi tersebut. Hegemoni Alipay dan WeChat Pay telah memantik fragmentasi tajam dengan struktur pasar duopoli. Interoperabilitas menjadi terminologi yang tidak lazim di antara keduanya. Kesempatan pemain baru untuk masuk dalam industri juga nyaris mustahil. Belum adanya standar baku yang menjadi acuan disinyalir sebagai salah satu pemicu utamanya.
Urgensi pemberlakuan standarisasi QR Code pembayaran semakin mengemuka tatkala terjadi praktik phishing (pengelabuan melalui media palsu) di Negeri Tirai Bambu. Mengutip pemberitaan media China, total kerugian akibat praktik ini diperkirakan mencapai USD13 juta.
Bertolak dari konstruksi alur berpikir tersebut, QRIS pada hakikatnya bisa dimaknai sebagai jawaban otoritas dalam mengurai problematika di atas. Adanya aturan main yang tegas akan melahirkan level of playing field yang sama. Ruang persaingan usaha yang sehat juga semakin terbuka lebar. Pada tataran pragmatis, QRIS akan mewujudkan interoperabilitas antar-PJSP dan meningkatkan sistem keamanan QR Code pembayaran.
Secara konseptual, ada dua model pembayaran menggunakan QR Code, yaitu Merchant Presented Mode (MPM) dan Customer Presented Mode (CPM). Pada model MPM, pedagang menampilkan QR Code untuk kemudian dipindai oleh konsumen. Untuk kondisi saat ini, model MPM dinilai lebih sesuai dengan lanskap pebisnis lokal yang didominasi oleh usaha skala mikro dan kecil. Data Sensus Ekonomi 2016 menunjukkan 99% usaha di Indonesia masuk dalam golongan ini.
Sebaliknya, pada model CPM konsumen menampilkan QR Code untuk kemudian dipindai oleh pedagang. Pada umumnya model ini lebih kompatibel untuk pelaku usaha berskala menengah besar yang sudah memiliki tempat usaha permanen. Pertimbangannya jumlah kebutuhan investasi terbilang cukup mahal, misalnya pengadaan peralatan scanner dan aplikasi PoS (Point of Sales).
Interoperabilitas Global
Tidak hanya interoperabilitas domestik, aspek saling keterhubungan dengan PJSP luar negeri juga menjadi perhatian regulator. Itu sebabnya, QRIS mengadopsi standar EMV Co (Europay, Master, Visa), yakni lembaga yang menyusun standar internasional QR Code untuk sistem pembayaran. Segendang sepenarian, negara Asia lainnya, seperti Singapura, Thailand, India, Malaysia, dan Korea Selatan, juga menganut standar QR Code yang sama. Konsekuensi logis dari adanya persamaan ini ialah mimpi terwujudnya interoperabilitas global.
Buktinya dalam pertemuan ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors pada April 2019, Bank Indonesia dan Bank of Thailand telah menandatangani nota kesepakatan kerja sama sistem pembayaran dan inovasi keuangan. Kedua bank sentral sepakat membuka akses pembayaran antarnegara menggunakan QR Code. Jika rencana tersebut terealisasi, tak ayal biaya sistem pembayaran lintas negara juga akan semakin efisien.
Dipandang dari perspektif harmonisasi kebijakan, langkah BI sejalan dengan upaya pemerintah terkait optimalisasi perolehan devisa dari neraca jasa. Kemudahan dalam melakukan pembayaran melalui QR Code akan menjadi daya magnet tersendiri bagi pariwisata domestik. Premis ini turut didukung oleh bukti empiris ekspansi Alipay dan WeChat Pay yang berkorelasi erat dengan lonjakan kunjungan wisatawan China ke Tanah Air.
Berkaca pada keunggulan tersebut, harapan besar patut disematkan pasca-implementasi QRIS. QRIS diyakini mampu mendongkrak tingkat inklusi keuangan dan mendorong Gerakan Nasional Non Tunai. Menariknya, momentum peluncuran QRIS yang bertepatan dengan perayaan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 2019 menyiratkan sebuah pesan penting. BI optimistis QRIS niscaya akan mengakselerasi pengembangan ekonomi sektor riil menuju Indonesia maju.
PER 1 Januari 2020 sistem pembayaran ritel Indonesia tengah memasuki babak baru. Di saat euforia ekonomi digital yang kian menggema, Bank Indonesia (BI) merilis QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) atau standar nasional QR Code pembayaran. QRIS hadir untuk menciptakan ekosistem pembayaran ritel berbasis QR Code yang lebih efisien. Satu QR Code untuk semua aplikasi pembayaran milik Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).
Sebelum QRIS diluncurkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap PJSP membangun standar dan infrastruktur QR Code pembayarannya masing-masing. Satu QR Code hanya bisa digunakan untuk satu aplikasi. Interoperabilitas antar-PJSP masih jauh panggang dari api. Implikasinya, timbul eksklusivitas dan inefisiensi dalam sistem pembayaran secara keseluruhan. Situasi ini jelas bertolak belakang dengan cita-cita Gerbang Pembayaran Nasional.
Dengan mengusung semangat UNGGUL (UNiversal, GampanG, Untung, dan Langsung), sejatinya kehadiran QRIS memberi angin segar bagi banyak pihak. Pertama , universal, penggunaan QRIS bersifat inklusif untuk seluruh lapisan masyarakat dan dapat digunakan untuk transaksi pembayaran di domestik dan luar negeri. Kedua, gampang, masyarakat bisa bertransaksi dengan mudah dan aman dalam satu genggaman ponsel. Ketiga, untung, transaksi dengan QRIS menguntungkan pembeli dan penjual karena transaksi berlangsung efisien melalui satu kode QR yang dapat digunakan untuk semua aplikasi pembayaran pada ponsel. Keempat , langsung, transaksi dengan QRIS langsung terjadi karena prosesnya cepat dan seketika sehingga mendukung kelancaran sistem pembayaran.
Sementara dari kacamata industri, eksistensi QRIS seakan menjadi oase di tengah ketatnya kompetisi. Perlu disadari bahwa industri sistem pembayaran berbasis QR Code dalam negeri saat ini mengarah ke bentuk pasar oligopoli. Ciri-cirinya ialah jumlah pengguna sangat banyak, sementara jumlah penyedia layanan relatif terbatas dengan beberapa di antaranya menjadi pemimpin pasar, yakni Ovo, GoPay, LinkAja, dan Dana.
Dalam teori ekonomi, kelemahan dari bentuk pasar ini ditandai dengan adanya tendensi hambatan masuk (barriers to entry) bagi pemain baru. Manifestasinya berupa persaingan tidak sehat, yakni perang harga (predatory pricing), kartel, dan lain-lain. Apabila tidak dilakukan intervensi, bisa dipastikan kondisi ini akan bermuara pada pertumbuhan industri yang lambat dan inefisien.
Pengalaman industri sistem pembayaran berbasis QR Code di China seolah menegaskan argumentasi tersebut. Hegemoni Alipay dan WeChat Pay telah memantik fragmentasi tajam dengan struktur pasar duopoli. Interoperabilitas menjadi terminologi yang tidak lazim di antara keduanya. Kesempatan pemain baru untuk masuk dalam industri juga nyaris mustahil. Belum adanya standar baku yang menjadi acuan disinyalir sebagai salah satu pemicu utamanya.
Urgensi pemberlakuan standarisasi QR Code pembayaran semakin mengemuka tatkala terjadi praktik phishing (pengelabuan melalui media palsu) di Negeri Tirai Bambu. Mengutip pemberitaan media China, total kerugian akibat praktik ini diperkirakan mencapai USD13 juta.
Bertolak dari konstruksi alur berpikir tersebut, QRIS pada hakikatnya bisa dimaknai sebagai jawaban otoritas dalam mengurai problematika di atas. Adanya aturan main yang tegas akan melahirkan level of playing field yang sama. Ruang persaingan usaha yang sehat juga semakin terbuka lebar. Pada tataran pragmatis, QRIS akan mewujudkan interoperabilitas antar-PJSP dan meningkatkan sistem keamanan QR Code pembayaran.
Secara konseptual, ada dua model pembayaran menggunakan QR Code, yaitu Merchant Presented Mode (MPM) dan Customer Presented Mode (CPM). Pada model MPM, pedagang menampilkan QR Code untuk kemudian dipindai oleh konsumen. Untuk kondisi saat ini, model MPM dinilai lebih sesuai dengan lanskap pebisnis lokal yang didominasi oleh usaha skala mikro dan kecil. Data Sensus Ekonomi 2016 menunjukkan 99% usaha di Indonesia masuk dalam golongan ini.
Sebaliknya, pada model CPM konsumen menampilkan QR Code untuk kemudian dipindai oleh pedagang. Pada umumnya model ini lebih kompatibel untuk pelaku usaha berskala menengah besar yang sudah memiliki tempat usaha permanen. Pertimbangannya jumlah kebutuhan investasi terbilang cukup mahal, misalnya pengadaan peralatan scanner dan aplikasi PoS (Point of Sales).
Interoperabilitas Global
Tidak hanya interoperabilitas domestik, aspek saling keterhubungan dengan PJSP luar negeri juga menjadi perhatian regulator. Itu sebabnya, QRIS mengadopsi standar EMV Co (Europay, Master, Visa), yakni lembaga yang menyusun standar internasional QR Code untuk sistem pembayaran. Segendang sepenarian, negara Asia lainnya, seperti Singapura, Thailand, India, Malaysia, dan Korea Selatan, juga menganut standar QR Code yang sama. Konsekuensi logis dari adanya persamaan ini ialah mimpi terwujudnya interoperabilitas global.
Buktinya dalam pertemuan ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors pada April 2019, Bank Indonesia dan Bank of Thailand telah menandatangani nota kesepakatan kerja sama sistem pembayaran dan inovasi keuangan. Kedua bank sentral sepakat membuka akses pembayaran antarnegara menggunakan QR Code. Jika rencana tersebut terealisasi, tak ayal biaya sistem pembayaran lintas negara juga akan semakin efisien.
Dipandang dari perspektif harmonisasi kebijakan, langkah BI sejalan dengan upaya pemerintah terkait optimalisasi perolehan devisa dari neraca jasa. Kemudahan dalam melakukan pembayaran melalui QR Code akan menjadi daya magnet tersendiri bagi pariwisata domestik. Premis ini turut didukung oleh bukti empiris ekspansi Alipay dan WeChat Pay yang berkorelasi erat dengan lonjakan kunjungan wisatawan China ke Tanah Air.
Berkaca pada keunggulan tersebut, harapan besar patut disematkan pasca-implementasi QRIS. QRIS diyakini mampu mendongkrak tingkat inklusi keuangan dan mendorong Gerakan Nasional Non Tunai. Menariknya, momentum peluncuran QRIS yang bertepatan dengan perayaan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 2019 menyiratkan sebuah pesan penting. BI optimistis QRIS niscaya akan mengakselerasi pengembangan ekonomi sektor riil menuju Indonesia maju.
(cip)