Masa Depan Demokrasi Indonesia
A
A
A
Abdul Mu'ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
BANYAK pihak yang mulai pesimistis dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah Didik J Rachbini, ekonom senior, mantan anggota DPR PAN, dan Dewan Pengurus LP3ES. Dalam seminar bertajuk Outlook Demokrasi (21/ 12) di Jakarta, Didik menyebut demokrasi Indonesia mengarah pada otoritarianisme. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil, pemusatan kepada pemerintahan, ancaman kepada pihak-pihak yang berbeda pendapat, dan kooptasi media mainstream telah menimbulkan terjadinya degenerasi. Praktik demokrasi tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya dan dominasi oligarki.
Kekuatan Oligarki
Didik tidak sendiri. Walaupun tidak secara khusus menyebut Indonesia, Jeffrey A Winters melihat oligarki sebagai realitas global. Dalam wawancara dengan Keen On (13/9), Indonesianis asal Amerika Serikat tersebut mengingatkan adanya konvergensi antara demokrasi dan oligarki. Tidak ada clash antara keduanya. Oligarki tetap subur di alam demokrasi. Hal demikian, menurut Winters, disebabkan beberapa faktor. Pertama, faktor kesenjangan sosial yang sangat tajam. Faktor ini berpengaruh terhadap terciptanya stratified democracy. Elite sangat menentukan arah demokrasi. Kedua, biaya politik yang mahal sebagai akibat dari proses kampanye yang lama. Politik dikuasai oleh orang-orang kaya atau oleh pemodal. Kekuatan uang (money power ) dan kedigdayaan kekayaan (wealth power ) akan menentukan siapa yang berkuasa.
Betul bahwa dalam demokrasi terdapat kebebasan berpendapat (free to speak), kesempatan berjuang (free to struggle), dan pemilihan umum yang kompetitif (competitive election). Namun, semua itu tidak terlepas dari cengkeraman oligarki. Ketiga, adanya kecenderungan populisme di mana figur-figur populer mulai tampil dalam kepemimpinan politik. Dunia menyaksikan praktik demokrasi yang oligarki (oligarchic democracy).
Setelah 20 tahun, demokrasi di Indonesia tidak semakin berkualitas. Kekuatan eksekutif jauh lebih dominan dibandingkan dengan legislatif dan yudikatif. Di tingkat pusat, meskipun posisinya setingkat, presiden begitu perkasa. Beberapa kali presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Undang-undang hasil kerja keras DPR yang anggotanya lebih dari 500 orang, kandas oleh seorang presiden. Di kabupaten dan kota, DPRD selalu ”seia dan sekata” dengan bupati atau wali kota.
Lembaga legislatif yang seharusnya berperan sebagai kekuatan kontrol, check and balance, bahkan oposisi seakan tidak bertaji. Partai tidak hanya di bawah kontrol eksekutif, tetapi menjadi bagian dari oligarki itu sendiri. Dalam tubuh partai, mulai tumbuh benih-benih feodalisme. Anggota legislatif tidak ubahnya bidak politik dan speaker elite. Kritik Iwan Fals terhadap DPR Orde Baru tampak relevan di era Reformasi. Dengan cara yang berbeda, DPR tidak ubahnya paduan suara yang selalu setuju pada kehendak penguasa.
Peran Masyarakat Sipil
Sebagai sebuah sistem, demokrasi merupakan pilihan yang paling memungkinkan dan sesuai untuk bangsa Indonesia. Dengan segala kelemahannya, sistem demokrasi tetap harus dipertahankan. Berbagai kekurangan disempurnakan. Gejala oligarki dan otoritarianisme masih mungkin diakhiri.
Pertama, diperlukan perubahan sistem pemilu dan sistem kepartaian yang menyeluruh. Sistem proporsional terbuka yang berlaku sejak 2009 diubah ke arah sistem tertutup (1999) atau terbuka terbatas (2004). Dengan sistem tertutup, kekuatan kapital dapat dikurangi. Posisi dan kedudukan partai lebih kuat. Partai dapat menjadi alat perjuangan, bukan sebatas kendaraan. Kaderisasi dan karier politik dapat lebih terbuka.
Kedua, penguatan peran masyarakat sipil. Sungguhpun posisinya tidak cukup kuat karena banyak yang terkooptasi ke pusat kekuasaan, masyarakat sipil masih bisa memainkan peran. Dengan kekuatan intelektual, moral, dan jaringan sosial, masyarakat sipil masih berperan sebagai opinion makers dan pressure groups. Di tengah ancaman intimidasi, mereka masih berani bersuara walaupun lirih dan nyaris tak terdengar kecuali oleh mereka yang berhati bening dan teguh bermoral.
Ketiga, penguatan moral politik. Demokrasi adalah cermin moralitas bangsa. Baik dan buruknya demokrasi terletak pada akhlak masyarakat. Sebagus apa pun suatu sistem tidak menjamin keberhasilan jika moral mengalami kehancuran. Dalam konteks bangsa Indonesia yang religius, harapan demokrasi berada di tangan para tokoh agama. Memang agak berisiko dan tidak seharusnya terjadi. Keterlibatan para agamawan dalam politik bisa menyeret mereka ke dalam pragmatisme dan potensi politisasi agama. Namun, komitmen moral, tanggung jawab sosial, dan kepedulian mereka terhadap masa depan bangsa dan negara sangat diperlukan.
Realitas politik Indonesia saat ini sungguh ironis. Dalam banyak hal, justru para tokoh agama yang bersuara lantang di tengah keheningan para politisi yang tidak kuasa bicara. Tidak sedikit yang mencibir dan nyinyir. Namun, dunia tidak alpa pada catatan pinggir sejarah bahwa perubahan; revolusi atau reformasi digerakkan oleh para ”guru ngaji”. Revolusi Islam Iran (1979) dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Reformasi Indonesia (1998) dimotori oleh Muhammad Amien Rais; 21 tahun lalu Amien Rais adalah ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di tengah demokrasi yang semakin oligarki harus tetap ada yang bersuara kritis. Tanpa kelompok kritis, demokrasi akan mati dalam pelukan tirani.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
BANYAK pihak yang mulai pesimistis dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah Didik J Rachbini, ekonom senior, mantan anggota DPR PAN, dan Dewan Pengurus LP3ES. Dalam seminar bertajuk Outlook Demokrasi (21/ 12) di Jakarta, Didik menyebut demokrasi Indonesia mengarah pada otoritarianisme. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil, pemusatan kepada pemerintahan, ancaman kepada pihak-pihak yang berbeda pendapat, dan kooptasi media mainstream telah menimbulkan terjadinya degenerasi. Praktik demokrasi tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya dan dominasi oligarki.
Kekuatan Oligarki
Didik tidak sendiri. Walaupun tidak secara khusus menyebut Indonesia, Jeffrey A Winters melihat oligarki sebagai realitas global. Dalam wawancara dengan Keen On (13/9), Indonesianis asal Amerika Serikat tersebut mengingatkan adanya konvergensi antara demokrasi dan oligarki. Tidak ada clash antara keduanya. Oligarki tetap subur di alam demokrasi. Hal demikian, menurut Winters, disebabkan beberapa faktor. Pertama, faktor kesenjangan sosial yang sangat tajam. Faktor ini berpengaruh terhadap terciptanya stratified democracy. Elite sangat menentukan arah demokrasi. Kedua, biaya politik yang mahal sebagai akibat dari proses kampanye yang lama. Politik dikuasai oleh orang-orang kaya atau oleh pemodal. Kekuatan uang (money power ) dan kedigdayaan kekayaan (wealth power ) akan menentukan siapa yang berkuasa.
Betul bahwa dalam demokrasi terdapat kebebasan berpendapat (free to speak), kesempatan berjuang (free to struggle), dan pemilihan umum yang kompetitif (competitive election). Namun, semua itu tidak terlepas dari cengkeraman oligarki. Ketiga, adanya kecenderungan populisme di mana figur-figur populer mulai tampil dalam kepemimpinan politik. Dunia menyaksikan praktik demokrasi yang oligarki (oligarchic democracy).
Setelah 20 tahun, demokrasi di Indonesia tidak semakin berkualitas. Kekuatan eksekutif jauh lebih dominan dibandingkan dengan legislatif dan yudikatif. Di tingkat pusat, meskipun posisinya setingkat, presiden begitu perkasa. Beberapa kali presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Undang-undang hasil kerja keras DPR yang anggotanya lebih dari 500 orang, kandas oleh seorang presiden. Di kabupaten dan kota, DPRD selalu ”seia dan sekata” dengan bupati atau wali kota.
Lembaga legislatif yang seharusnya berperan sebagai kekuatan kontrol, check and balance, bahkan oposisi seakan tidak bertaji. Partai tidak hanya di bawah kontrol eksekutif, tetapi menjadi bagian dari oligarki itu sendiri. Dalam tubuh partai, mulai tumbuh benih-benih feodalisme. Anggota legislatif tidak ubahnya bidak politik dan speaker elite. Kritik Iwan Fals terhadap DPR Orde Baru tampak relevan di era Reformasi. Dengan cara yang berbeda, DPR tidak ubahnya paduan suara yang selalu setuju pada kehendak penguasa.
Peran Masyarakat Sipil
Sebagai sebuah sistem, demokrasi merupakan pilihan yang paling memungkinkan dan sesuai untuk bangsa Indonesia. Dengan segala kelemahannya, sistem demokrasi tetap harus dipertahankan. Berbagai kekurangan disempurnakan. Gejala oligarki dan otoritarianisme masih mungkin diakhiri.
Pertama, diperlukan perubahan sistem pemilu dan sistem kepartaian yang menyeluruh. Sistem proporsional terbuka yang berlaku sejak 2009 diubah ke arah sistem tertutup (1999) atau terbuka terbatas (2004). Dengan sistem tertutup, kekuatan kapital dapat dikurangi. Posisi dan kedudukan partai lebih kuat. Partai dapat menjadi alat perjuangan, bukan sebatas kendaraan. Kaderisasi dan karier politik dapat lebih terbuka.
Kedua, penguatan peran masyarakat sipil. Sungguhpun posisinya tidak cukup kuat karena banyak yang terkooptasi ke pusat kekuasaan, masyarakat sipil masih bisa memainkan peran. Dengan kekuatan intelektual, moral, dan jaringan sosial, masyarakat sipil masih berperan sebagai opinion makers dan pressure groups. Di tengah ancaman intimidasi, mereka masih berani bersuara walaupun lirih dan nyaris tak terdengar kecuali oleh mereka yang berhati bening dan teguh bermoral.
Ketiga, penguatan moral politik. Demokrasi adalah cermin moralitas bangsa. Baik dan buruknya demokrasi terletak pada akhlak masyarakat. Sebagus apa pun suatu sistem tidak menjamin keberhasilan jika moral mengalami kehancuran. Dalam konteks bangsa Indonesia yang religius, harapan demokrasi berada di tangan para tokoh agama. Memang agak berisiko dan tidak seharusnya terjadi. Keterlibatan para agamawan dalam politik bisa menyeret mereka ke dalam pragmatisme dan potensi politisasi agama. Namun, komitmen moral, tanggung jawab sosial, dan kepedulian mereka terhadap masa depan bangsa dan negara sangat diperlukan.
Realitas politik Indonesia saat ini sungguh ironis. Dalam banyak hal, justru para tokoh agama yang bersuara lantang di tengah keheningan para politisi yang tidak kuasa bicara. Tidak sedikit yang mencibir dan nyinyir. Namun, dunia tidak alpa pada catatan pinggir sejarah bahwa perubahan; revolusi atau reformasi digerakkan oleh para ”guru ngaji”. Revolusi Islam Iran (1979) dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Reformasi Indonesia (1998) dimotori oleh Muhammad Amien Rais; 21 tahun lalu Amien Rais adalah ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di tengah demokrasi yang semakin oligarki harus tetap ada yang bersuara kritis. Tanpa kelompok kritis, demokrasi akan mati dalam pelukan tirani.
(pur)