Masa Depan Demokrasi Indonesia

Senin, 30 Desember 2019 - 07:05 WIB
Masa Depan Demokrasi Indonesia
Masa Depan Demokrasi Indonesia
A A A
Abdul Mu'ti

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

BANYAK pihak yang mulai pesimistis de­ngan masa de­pan demokrasi di Indonesia. Salah satunya ada­lah Didik J Rachbini, ekonom senior, mantan anggota DPR PAN, dan Dewan Pengurus LP3ES. Dalam seminar ber­ta­juk Outlook Demokrasi (21/ 12) di Jakarta, Didik menyebut demokrasi Indonesia menga­rah pada otoritarianisme. Le­mahnya kekuatan masyarakat sipil, pemusatan kepada pe­me­rintahan, ancaman kepada pi­hak-pihak yang berbeda pen­da­pat, dan kooptasi media mains­tream telah me­nim­bul­kan terjadinya degenerasi. Prak­tik demokrasi tidak men­cer­minkan nilai-nilai de­mo­kra­si yang sesungguhnya dan do­minasi oligarki.

Kekuatan Oligarki

Didik tidak sendiri. Wa­lau­pun tidak secara khusus me­nye­but Indonesia, Jeffrey A Win­ters melihat oligarki seba­gai realitas global. Dalam wa­wan­cara dengan Keen On (13/9), Indonesianis asal Ame­ri­ka Serikat tersebut meng­ingat­kan adanya konvergensi antara demokrasi dan oligarki. Tidak ada clash antara ke­dua­nya. Oligarki tetap subur di alam demokrasi. Hal demikian, menurut Winters, disebabkan be­berapa faktor. Pertama, fak­tor kesenjangan sosial yang sa­n­gat tajam. Faktor ini ber­pe­ngaruh terhadap terciptanya stratified democracy. Elite sa­ngat menentukan arah de­mo­krasi. Kedua, biaya politik yang mahal sebagai akibat dari pro­ses kampanye yang lama. Po­li­tik dikuasai oleh orang-orang ka­ya atau oleh pemodal. Ke­kuat­an uang (money power ) dan kedigdayaan kekayaan (wealth power ) akan menentukan siapa yang berkuasa.

Betul bahwa dalam de­mo­krasi terdapat kebebasan ber­pe­n­dapat (free to speak), kesem­patan berjuang (free to strug­gle), dan pemilihan umum yang kompetitif (competitive electi­on). Namun, semua itu tidak ter­lepas dari cengkeraman oli­garki. Ketiga, adanya kecen­de­rungan populisme di mana fi­gur-figur populer mulai tampil dalam kepemimpinan politik. Dunia menyaksikan praktik demokrasi yang oligarki (oli­gar­chic democracy).

Setelah 20 tahun, demo­kra­si di Indonesia tidak semakin berkualitas. Kekuatan ekse­ku­tif jauh lebih dominan di­ban­ding­kan dengan legislatif dan yudikatif. Di tingkat pusat, mes­kipun posisinya setingkat, pre­siden begitu perkasa. Be­berapa kali presiden me­ner­bit­kan peraturan pemerintah peng­ganti undang-undang (perp­pu). Undang-undang ha­sil kerja keras DPR yang ang­go­tanya lebih dari 500 orang, kan­das oleh seorang presiden. Di kabupaten dan kota, DPRD selalu ”seia dan sekata” dengan bupati atau wali kota.

Lembaga legislatif yang se­harusnya berperan sebagai ke­kuatan kontrol, check and ba­lance, bahkan oposisi seakan ti­dak bertaji. Partai tidak hanya di bawah kontrol eksekutif, te­tapi menjadi bagian dari oli­gar­ki itu sendiri. Dalam tubuh par­tai, mulai tumbuh benih-benih feodalisme. Anggota legislatif tidak ubahnya bidak politik dan speaker elite. Kritik Iwan Fals terhadap DPR Orde Baru tam­pak relevan di era Re­for­ma­si. Dengan cara yang berbeda, DPR tidak ubahnya paduan sua­ra yang selalu setuju pada ke­hendak penguasa.

Peran Masyarakat Sipil

Sebagai sebuah sistem, de­mo­krasi merupakan pilihan yang paling memungkinkan dan sesuai untuk bangsa Indo­nesia. Dengan segala kele­ma­han­nya, sistem demokrasi te­tap harus dipertahankan. Ber­ba­gai keku­rangan disem­pur­na­­kan. Gejala oligarki dan oto­ri­tarianisme masih mungkin diakhiri.

Pertama, diperlukan peru­bah­an sistem pemilu dan sis­tem kepartaian yang me­nye­lu­ruh. Sistem proporsional ter­bu­ka yang berlaku sejak 2009 di­ubah ke arah sistem tertutup (1999) atau terbuka terbatas (2004). Dengan sistem ter­tu­tup, kekuatan kapital dapat di­ku­rangi. Posisi dan kedudukan partai lebih kuat. Partai dapat menjadi alat perjuangan, bu­kan sebatas kendaraan. Ka­de­risasi dan karier politik dapat le­bih terbuka.

Kedua, penguatan peran ma­syarakat sipil. Sungguhpun po­si­sinya tidak cukup kuat ka­rena banyak yang terkooptasi ke pusat kekuasaan, masyar­a­kat sipil masih bisa memainkan pe­ran. Dengan kekuatan inte­lek­tual, moral, dan jaringan so­sial, masyarakat sipil masih ber­pe­ran sebagai opinion ma­kers dan pressure groups. Di te­ngah an­cam­an intimidasi, me­re­ka ma­sih berani bersuara wa­laupun lirih dan nyaris tak ter­dengar kecuali oleh mereka yang berhati bening dan teguh bermoral.

Ketiga, penguatan moral po­litik. Demokrasi adalah cer­min moralitas bangsa. Baik dan buruknya demokrasi terletak pada akhlak masyarakat. Se­ba­gus apa pun suatu sistem tidak menjamin keberhasilan jika mo­ral mengalami kehancuran. Dalam konteks bangsa Indo­ne­sia yang religius, harapan de­mo­krasi berada di tangan para to­koh agama. Memang agak ber­isiko dan tidak seharusnya terjadi. Keterlibatan para aga­ma­wan dalam politik bisa me­nye­ret mereka ke dalam prag­ma­tisme dan potensi politisasi aga­ma. Namun, komitmen mo­ral, tanggung jawab sosial, dan kepedulian mereka ter­ha­dap masa depan bangsa dan ne­gara sangat diperlukan.

Realitas politik Indonesia saat ini sungguh ironis. Dalam banyak hal, justru para tokoh agama yang bersuara lantang di tengah keheningan para po­lit­i­si yang tidak kuasa bicara. Ti­dak sedikit yang mencibir dan nyinyir. Namun, dunia tidak alpa pada catatan pinggir se­ja­rah bahwa perubahan; revolusi atau reformasi digerakkan oleh para ”guru ngaji”. Revolusi Islam Iran (1979) dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Re­for­masi Indonesia (1998) di­mo­tori oleh Muhammad Amien Rais; 21 tahun lalu Amien Rais adalah ketua Pim­pinan Pusat Muhammadiyah. Di tengah demokrasi yang se­ma­kin oligarki harus tetap ada yang bersuara kritis. Tanpa ke­lompok kritis, demokrasi akan mati dalam pelukan tirani.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5994 seconds (0.1#10.140)