Epidemi Dengue dan Gejolak Samudera

Sabtu, 28 Desember 2019 - 16:45 WIB
Epidemi Dengue dan Gejolak Samudera
Epidemi Dengue dan Gejolak Samudera
A A A
Gentio Harsono
Staf Pengajar Universitas Pertahanan RI

MUSIM hujan telah tiba, selain ancaman banjir dan tanah longsor, periode ini juga rawan wabah penyakit gigitan nyamuk seperti demam berdarah, terutama dipenghujung puncak musim hujan. Demam berdarah menjadi ancaman serius karena jumlah korban meninggal tinggi setiap tahunnya, terutama kalangan anak dan remaja. Kementerian Kesehatan akhir Januari 2019 mengumumkan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) tertinggi di sepuluh propinsi Indonesia, menempatkan Jawa Timur peringkat tertinggi kasus DBD, disusul Jawa Barat peringkat duanya, sedang DKI Jakarta menempati urutan ketujuh. Bahkan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mencatat fenomena peningkatan kasus DBD lima kali lipat dari akhir 2018 sampai Januari 2019 dengan tahun-tahun sebelumnya.

Jika dilihat dari variasi curah hujan selama monsun barat setiap tahunnya, terdapat korelasi kuat dengan tingginya kasus demam berdarah di beberapa daerah Indonesia. Iriani (2012) menemukan korelasi positif jumlah kasus DBD dengan curah hujan bulanan selama 2004-2010 di Kota Palembang. Angka penderita umumnya meningkat diatas 100 kasus selama musim hujan dimulai November hingga Maret.

Iklim tropis dengan curah hujan tinggi menjadikan Indonesia daerah endemis penyakit demam berdarah dengue (DBD), dibanyak negara tropis DBD adalah penyebab kematian utama. Curah hujan tinggi meningkatkan transmisi penyakit yang ditularkan vektor dengan cara memacu proliferasi di tempat perkembangbiakannya. Quijano (2008) menemukan peningkatan kasus pasien DBD di Rumah Sakit Pusat TNI AD Gatot Subroto selama periode Januari 2012 hingga Desember 2014, ini terjadi empat minggu setelah terjadi curah hujan meningkat drastis.

Lalu siapa yang mengendalikan curah hujan di Indonesia, hingga menimbulkan tingginya jumlah kasus DBD?.

Monsun

Monsun merupakan fenomena perubahan sistem tekanan udara akibat pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara-selatan, menyebabkan kontrasnya tekanan dan suhu udara antara benua Asia dan Australia serta gejolak yang sama di samudra, menyebabkan terjadinya pusat-pusat konveksi udara. Untuk wilayah Indonesia pergerakan titik pusat konveksi membawa akibat daerah pumpunan awan akibat bertemunya angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara diatas wilayah Indonesia. Selama Januari merupakan puncak curah hujan seperti Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sebaliknya bulan Juli adalah masa dimana curah hujan minimum. Meski dipengaruhi monsun, tidak semua wilayah Indonesia memiliki pola iklim tahunan yang serupa. Untuk daerah selatan katulistiwa, memiliki satu puncak hujan dan satu puncak kemarau. Sedangkan untuk daerah sebelah utaranya dapat memiliki dua puncak hujan dan dua puncak kemarau. Pada daerah tengah dan utara Indonesia, terkadang disebut daerah iklim ekuatorial dimana tidak jelas nampak perbedaan puncak musim kemarau dan hujan pada pola tahunannya. Kedua puncak musim di atas terjadi pada saat titik kulminasi matahari melewati daerah tersebut.

ENSO

ENSO merupakan fenomena kesetimbangan bahang yang terjadi akibat faktor meteorologi dan kandungan bahang yang menumpuk di ekuator barat Pasifik atau kira-kira di utara Pulau Papua. Osilasi ENSO terdiri dari tiga fenomena yaitu kondisi Normal, El Niño, di Indonesia identik penyebab musim kemarau panjang dan La Niña yang identik penyebab curah hujan tinggi.Berawal dari sistim angin di sepanjang ekuator, angin pasat yang bertiup secara mantap sepanjang tahun membawa massa air permukaan hangat sepanjang ekuator Samudera Pasifik, kemudian menumpuk di tropis Pasifik barat yang dikenal Welahar Hangat. Membentuk perairan dengan suhu permukaan laut sangat hangat rata-rata lebih 29oC, menjadikan evaporasi tinggi dan curah hujan yang tinggi. Fase ini dikenal dengan nama fase La Nina atau ENSO positif. Karena laut mempunyai sistem kesetimbangan, maka Welahar Hangat ini bergeser ke Pasifik Tengah, menyebabkan suhu permkaan laut di ekuator barat Samudera Pasifik menjadi lebih dingin, evaporasipun menjadi minimum dengan curah hujan menjadi rendah. Event ini disebut Fase El Nino atau ENSO negatif. Meski terjadi di Samudera Pasifik, pengaruh ENSO sangat terasa hingga ke wilayah barat Indonesia seperti El Nino kuat yang menyebabkan kemarau panjang tahun 1982/1983, 1997/1998 dan 2015/2016 lalu. Pengaruh ENSO merupakan sinyal terkuat kedua setelah monsoon, hal ini dapat dipahami mengingat El Nino dampaknya sudah global.

Indian Ocean Dipole (IOD)

Ossilasi lautan-atmosfir tropis Samudera Hindia ini terungkap pada akhir tahun 90-an, merupakan penggerak iklim global lain seperti halnya ENSO di Samudera Pasifik. Intensitas IOD digambarkan sebagai gradien anomali suhu permukaan laut antara kolam barat ekuator (bujur 50?E-70?E dan lintang 10?S-10?N) dengan kolam timur ekuator (bujur 90?E-110?E dan 10?S-0?N) Samudera Hindia, yang dikenal Dipole Mode Index (DMI).

Indeks ini ditandai dengan menghangatnya permukaan laut di salah satu kolam kutub dan mendingin di kolam lainnya. Saat suhu permukaan laut kolam timur menghangat diatas normal disebut dengan IOD negatif, terjadi peningkatan penguapan air di Samudera Hindia timur laut sekitar selatan Pulau Jawa menyebabkan curah hujan diatas normal wilayah barat Indonesia dan barat Australia saat monsun barat. Sementara pantai timur Afrika mengalami kekeringan akibat mendinginnya suhu permukaan laut dimana intensitas penguapan minimum.

Fenomena ini kemudian mengalami kondisi berbalik, dimana suhu permukaan laut basin timur Samudera Hindia mendingin, evaporasi melemah menyebabkan kondensasi awan diatas wilayah barat Indonesia dan Australia terganggu. Fenomena ini menyebabkan curah hujan yang biasanya tinggi saat monsun barat menjadi berkurang.

Gejolak Basin Samudera, Curah Hujan dan Epidemi DBD

Indonesia diapit dua basin samudera besar yaitu Pasifik dan Hindia, karenanya iklim Indonesia, selain monsun juga dikendalikan akibat osilasi kedua kolam samudera tersebut, ENSO di Pasifik dan IOD di Samudera Hindia. Curah hujan tinggi dan kekeringan panjang diatas normal dikontrol oleh kesetimbangan kandungan bahang, sering ditandai dari Suhu Permukaan Laut kedua samudera tersebut. Di wilayah Sumatera, Jawa dan Kalimantan, curah hujan diatas normal dapat terjadi bila monsun barat yang berlangsung bersamaan dengan fase ENSO positif (La Nina) dan atau bersamaan dengan fase IOD negatif. Demikian, kekeringan panjang dapat terjadi bila terjadi fase ENSO negatif (El Nino) dan IOD fase positif. ENSO dan IOD dapat berpengaruh dengan curah hujan di wilayah ini secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan sehingga seringkali berdampak saling menguatkan ataupun melemahkan dengan lainnya. Pada kenyataannya pengaruh ENSO lebih kuat dibanding pengaruh IOD.

Pantauan lautan di kedua samudera yang dilakukan Badan Meteorologi dan Geofisika selama Dasarian satu Desember 2019 menunjukkan ENSO berada pada fase normal, sedang IOD berada pada fase positif. Jika biasanya pada bulan Desember di wilayah Sumatera, Jawa dan Kalimantan sudah memasuki musim hujan dengan intensitas tinggi, pada kenyataannya hujan pada bulan ini tidak selebat tahun tahun sebelumnya. Suhu Permukaan Laut yang lebih dingin dari normal di Samudera Hindia di selatan Jawa dan barat Sumatera kemungkinan penyebab curah hujan sekarang di Pulau Jawa berkurang. Prediksi BMKG untuk tiga bulan kedepan ENSO tetap bertahan pada fase normal dan IOD menuju fase normal.

Hal yang harus diperhatikan adalah selama monsun barat berlangsung, curah hujan yang tinggi memberikan habitat optimum dalam proses perkawinan nyamuk yang merupakan bagian penting dalam stadium awal spesies nyamuk tropis. Kelembaban tinggi dengan suhu yang hangat berperan penting dalam daya tahan hidup dan proses penyebarannya yang krusial dalam transmisi dengue (Halide et. al., 2011). Demikian halnya suasana gelap/mendung dan dingin sangat disukai nyamuk, selain meningkatnya kemampuan tetas larva nyamuk pasca hujan atau banjir. Semua proses ini secara kumulatif memberikan alasan mengapa penderita DBD meningkat selama episode musim ini.

Kasus Pantai Timur Kenya Afrika

Riset ilmiah kasus epidemi nyamuk tropis di Indonesia dengan IOD masih sangat langka. Kasus yang paling menarik adalah penelitian Hashizume et.al. (2012) dalam Scientific Reports Journal. Ia menemukan pola hubungan yang kuat antara kejadian ledakan jumlah kematian tinggi akibat malaria Plasmodium falciparum yang tidak wajar di dataran tinggi Kericho, Kisii dan Kapsabet Pantai Timur Kenya Afrika dengan Dipole Mode Index (DMI) saat fase positif antara tahun 1958 hingga 2008. Ia membandingkan dengan ENSO yang ternyata pengaruhnya lebih lemah. Menurutnya, ada beberapa faktor turut memainkan peran penting atas menurunnya kualitas lingkungan selain curah hujan, seperti perubahan tataguna lahan, menurunnya imunitas penduduk akibat kuatnya resistensi konsumsi obat malaria secara masif serta peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim yang menyebabkan tumbuh suburnya populasi malaria secara luar biasa di wilayah ini.
Kejadian luar biasa ini justru tidak terjadi di wilayah dataran rendahnya seperti Maseno dan Teluk Kendu yang terhindar dari epidemi ini. Ini meyakini bahwa faktor topografi dataran tinggi lebih sensitif oleh pengaruh dinamika samudera dibanding dataran rendahnya. Barangkali inilah yang menjawab mengapa wilayah seperti Bogor, Sukabumi dan Bandung lebih sensitif terhadap epidemi DBD dan Chikungunya. Keberadaan danau besar Victoria Lake di dataran rendahnya menjadi faktor lokal yang dapat menstabilkan dan menjaga pengaruh goncangan iklim di basin barat Samudera Hindia.

Hal yang terpenting dari semua adalah kesadaran masyarakat selalu menjaga kebersihan lingkungannya. Faktor kebersihan lingkungan sangatlah besar. Meningkatnya kasus DBD adalah bukti bahwa kita telah lalai memelihara lingkungan kita. Kita perlu satu gerakan masyarakat secara bersama-sama melawan epidemi penyakit nyamuk, karena tidak mungkin petugas kesehatan menangani sendiri.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7052 seconds (0.1#10.140)