Pejabat dan Bela Negara
A
A
A
Ilham Prasetya Gultom
Advokat, Pemerhati Pertahanan
LANGIT Yogyakarta serasa mau runtuh saat belasan pesawat tempur Belanda meraung-raung dan menghujani Lapangan Udara Maguwo dengan bom. Pada 71 tahun silam itu, keadaan negara begitu genting. Belanda datang dan melakukan agresi militer kedua. Alhasil, presiden dan wakil presiden ditangkap dan dibuang ke Bangka. Yogyakarta sebagai ibu kota negara saat itu jatuh dan takluk ke tangan Belanda.
Diliputi perasaan cemas, Soekarno dan Hatta masih bisa berpikir cepat. Untuk menghindari kekosongan kepemimpinan, Soekarno memerintahkan Sjafruddin Prawiranegara untuk segera mendeklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan mengumumkan Bukit Tinggi sebagai ibu kota negara untuk sementara waktu. Peristiwa itu terjadi pada 19 Desember 1948 dan sampai sekarang dikenal sebagai Hari Bela Negara, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara.
Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya situasi pada saat itu. Indonesia baru merdeka tiga tahun, namun sudah harus menghadapi pemberontakan PKI Madiun (September 1948). Dalam suasana seperti itu, Belanda masuk dengan kekuatan militer untuk menghancurkan pemerintahan Indonesia dan berambisi menguasai kembali negara yang baru merdeka tersebut.
Pemerintahan Darurat di bawah kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara melakukan perlawanan yang hebat. Dunia internasional disadarkan bahwa agresi militer yang dilakukan Belanda merupakan satu tindakan yang salah dan mengancam perdamaian dunia.
Selain perjuangan diplomatik, TNI di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman terus melakukan perlawanan secara gerilya. Belanda akhirnya tidak tahan dengan kecaman dari masyarakat internasional dan memaksa mereka menggelar perundingan dengan Indonesia. Hasilnya, perjanjian Roem-Royen memutuskan Belanda mengakhiri aksi militernya, membebaskan seluruh tawanan, termasuk Soekarno dan Hatta, serta mengembalikan Yogyakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia.
Bela Negara untuk Siapa?
Bela negara adalah sikap dan perilaku dari warga negara yang timbul dari rasa cintanya kepada NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bela negara dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya untuk mempertahankan tersebut didasarkan pada rasa cinta Tanah Air, kesadaran dalam berbangsa dan bernegara, berkeyakinan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara, juga rela berkorban untuk negara dan bangsa dengan bekal kemampuan awal untuk membela negara.
Pada hakikatnya, semua warga negara berhak dan wajib dalam melakukan upaya-upaya pembelaan negara. Indonesia adalah negara yang besar, kekayaan alamnya selalu menjadi incaran negara lain. Lantas, setelah merdeka selama 74 tahun ini, sudahkah kekayaan itu terdistribusi dengan baik dan dinikmati seluruh anak negeri? Pertanyaan sederhana tapi teramat sulit dijawab.
Ruang-ruang akademik terus menerus menjadikan bela negara sebagai objek pengetahuan yang tiada habisnya untuk dikaji. Malah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sampai merasa perlu mendirikan Universitas Pertahanan sebagai kampus bela negara. Lalu, apa sebenarnya persoalan yang mendasari mengapa sedemikian pentingnya negara mengurusi hal ini? Menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, itulah jawabannya. Pelik, tetapi harus diselesaikan dengan baik.
Perkembangan situasi dunia sekarang ini berimbas pada situasi dalam negeri. Adanya pergeseran konflik dari wilayah Timur Tengah menuju negara-negara ekuator, perang dagang Amerika dengan China, embargo ekonomi dari negara kuat kepada negara yang dianggap tidak sejalan adalah contoh persoalan dunia yang memiliki efek terhadap Indonesia. Tentu saja dibutuhkan pemahaman geopolitik yang baik untuk menganalisis keadaan tersebut. Ihwal seperti itulah yang dimaksud pelik sekaligus rumit.
Masalah di dalam negeri juga semakin beragam dan rawan menjadi ancaman bagi keutuhan dan kedaulatan negara. Korupsi, narkoba, gerakan separatis, terorisme, ideologi dan kesenjangan ekonomi merupakan ancaman nyata dan sedang terjadi sekarang ini.
Dalam salah satu laporan pencapaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan sudah ada 119 kepala daerah yang terjaring korupsi. Selain itu, ditangkap 72 orang anggota DPR. Bahkan, menteri hingga aparat penegak hukum ikut terjerat kasus korupsi. Belum lagi bila ditambah dengan pejabat-pejabat korup hasil tangkapan kepolisian maupun kejaksaan di seluruh daerah.
Tidak terbayangkan bila saja mentalitas dan moralitas para pejabat negara pada masa awal kemerdekaan itu sama seperti mental para pejabat korup saat ini, tentu akan sangat mudah bagi Belanda menaklukkan Indonesia pada setiap perundingan. Suap dan sogok-menyogok akan menjadi hal yang biasa terjadi. Kemerdekaan Indonesia mungkin akan sangat lama baru tercapai.
Namun, untunglah para pejabat negara kita pada saat itu merupakan orang-orang yang darahnya mengalir darah kejujuran. Hatinya bersih dan ikhlas berbakti untuk negeri. Bung Hatta, wakil presiden, sampai akhir hayatnya tetap menyimpan potongan iklan sepatu Bally, yang tidak pernah bisa dia beli.
Haji Agus Salim, salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih pengakuan internasional dan juga menteri luar negeri, seumur hidupnya nomaden, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Meski miskin, Salim ternyata tidak pernah mempan disogok, baik terang-terangan maupun secara tersamar. Baginya, jangankan yang haram, yang halal saja belum tentu ia mau.
Jenderal Soedirman, Panglima Besar TNI, untuk berobat saja ia tidak punya uang. Hidup prihatin sebagaimana kehidupan rakyat biasa. Di masa itu tidak pernah ada perintah kepada bawahan untuk tidak pamer gaya hidup mewah. Apalagi, sampai mengeluarkan perintah tertulis, pasti sangat menggelikan bila itu terjadi. Jauh berbeda dengan keadaan saat ini.
Momentum Hari Bela Negara
Setiap tahun, hari bela negara selalu diperingati. Biasanya akan diadakan upacara di seluruh kantor pemerintahan. Seremonial dan perlombaan dibuat untuk mengenang hari tersebut. Kementerian Pertahanan bahkan sampai menggelar acara khusus seperti Anugerah Bela Negara. Apresiasi yang tinggi dan penghargaan kepada warga negara, baik individu, korporasi, kampus maupun media atas pengabdian yang tulus melebihi panggilan tugasnya dalam membela negara sesuai dengan bidang dan profesinya guna mempertahankan Indonesia sebagai negara yang berdaulat di semua aspek kehidupan.
Selesai sampai di situ? Biasanya, iya. Apalagi setiap tahun juga hanya seperti itu.
Tahun ini seharusnya bisa dijadikan momentum bela negara yang lebih fundamental. Presiden Joko Widodo baru saja memulai pemerintahan periode keduanya. Semangat bekerja dan mengabdi untuk negeri tentu masih hebat-hebatnya berkobar di dada para menteri, staf khusus presiden, sampai dewan pertimbangan presiden yang baru saja dilantik.
Menteri BUMN Erick Thohir sudah memberi contoh dengan mencopot Direktur Utama Garuda atas kesalahan fatal melakukan penyeludupan barang pribadi dengan memanfaatkan jabatannya. Kementerian lain seharusnya juga segera membersihkan oknum-oknum pejabat korup yang ada dan bercokol di kementeriannya.
Saatnya sekarang ini rakyat disuguhi tontonan keteladanan dari para pejabat. Presiden menjadi ujung tombaknya. Para kepala daerah menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Biarkanlah rakyat menikmati perannya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Jangan rakyat terus yang harus menanggung beban dalam bernegara ini. Indonesia sudah lama merdeka, saatnya kemerdekaan itu untuk dinikmati bersama, bukan hanya milik segelintir orang.
Advokat, Pemerhati Pertahanan
LANGIT Yogyakarta serasa mau runtuh saat belasan pesawat tempur Belanda meraung-raung dan menghujani Lapangan Udara Maguwo dengan bom. Pada 71 tahun silam itu, keadaan negara begitu genting. Belanda datang dan melakukan agresi militer kedua. Alhasil, presiden dan wakil presiden ditangkap dan dibuang ke Bangka. Yogyakarta sebagai ibu kota negara saat itu jatuh dan takluk ke tangan Belanda.
Diliputi perasaan cemas, Soekarno dan Hatta masih bisa berpikir cepat. Untuk menghindari kekosongan kepemimpinan, Soekarno memerintahkan Sjafruddin Prawiranegara untuk segera mendeklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan mengumumkan Bukit Tinggi sebagai ibu kota negara untuk sementara waktu. Peristiwa itu terjadi pada 19 Desember 1948 dan sampai sekarang dikenal sebagai Hari Bela Negara, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara.
Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya situasi pada saat itu. Indonesia baru merdeka tiga tahun, namun sudah harus menghadapi pemberontakan PKI Madiun (September 1948). Dalam suasana seperti itu, Belanda masuk dengan kekuatan militer untuk menghancurkan pemerintahan Indonesia dan berambisi menguasai kembali negara yang baru merdeka tersebut.
Pemerintahan Darurat di bawah kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara melakukan perlawanan yang hebat. Dunia internasional disadarkan bahwa agresi militer yang dilakukan Belanda merupakan satu tindakan yang salah dan mengancam perdamaian dunia.
Selain perjuangan diplomatik, TNI di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman terus melakukan perlawanan secara gerilya. Belanda akhirnya tidak tahan dengan kecaman dari masyarakat internasional dan memaksa mereka menggelar perundingan dengan Indonesia. Hasilnya, perjanjian Roem-Royen memutuskan Belanda mengakhiri aksi militernya, membebaskan seluruh tawanan, termasuk Soekarno dan Hatta, serta mengembalikan Yogyakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia.
Bela Negara untuk Siapa?
Bela negara adalah sikap dan perilaku dari warga negara yang timbul dari rasa cintanya kepada NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bela negara dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya untuk mempertahankan tersebut didasarkan pada rasa cinta Tanah Air, kesadaran dalam berbangsa dan bernegara, berkeyakinan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara, juga rela berkorban untuk negara dan bangsa dengan bekal kemampuan awal untuk membela negara.
Pada hakikatnya, semua warga negara berhak dan wajib dalam melakukan upaya-upaya pembelaan negara. Indonesia adalah negara yang besar, kekayaan alamnya selalu menjadi incaran negara lain. Lantas, setelah merdeka selama 74 tahun ini, sudahkah kekayaan itu terdistribusi dengan baik dan dinikmati seluruh anak negeri? Pertanyaan sederhana tapi teramat sulit dijawab.
Ruang-ruang akademik terus menerus menjadikan bela negara sebagai objek pengetahuan yang tiada habisnya untuk dikaji. Malah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sampai merasa perlu mendirikan Universitas Pertahanan sebagai kampus bela negara. Lalu, apa sebenarnya persoalan yang mendasari mengapa sedemikian pentingnya negara mengurusi hal ini? Menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, itulah jawabannya. Pelik, tetapi harus diselesaikan dengan baik.
Perkembangan situasi dunia sekarang ini berimbas pada situasi dalam negeri. Adanya pergeseran konflik dari wilayah Timur Tengah menuju negara-negara ekuator, perang dagang Amerika dengan China, embargo ekonomi dari negara kuat kepada negara yang dianggap tidak sejalan adalah contoh persoalan dunia yang memiliki efek terhadap Indonesia. Tentu saja dibutuhkan pemahaman geopolitik yang baik untuk menganalisis keadaan tersebut. Ihwal seperti itulah yang dimaksud pelik sekaligus rumit.
Masalah di dalam negeri juga semakin beragam dan rawan menjadi ancaman bagi keutuhan dan kedaulatan negara. Korupsi, narkoba, gerakan separatis, terorisme, ideologi dan kesenjangan ekonomi merupakan ancaman nyata dan sedang terjadi sekarang ini.
Dalam salah satu laporan pencapaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan sudah ada 119 kepala daerah yang terjaring korupsi. Selain itu, ditangkap 72 orang anggota DPR. Bahkan, menteri hingga aparat penegak hukum ikut terjerat kasus korupsi. Belum lagi bila ditambah dengan pejabat-pejabat korup hasil tangkapan kepolisian maupun kejaksaan di seluruh daerah.
Tidak terbayangkan bila saja mentalitas dan moralitas para pejabat negara pada masa awal kemerdekaan itu sama seperti mental para pejabat korup saat ini, tentu akan sangat mudah bagi Belanda menaklukkan Indonesia pada setiap perundingan. Suap dan sogok-menyogok akan menjadi hal yang biasa terjadi. Kemerdekaan Indonesia mungkin akan sangat lama baru tercapai.
Namun, untunglah para pejabat negara kita pada saat itu merupakan orang-orang yang darahnya mengalir darah kejujuran. Hatinya bersih dan ikhlas berbakti untuk negeri. Bung Hatta, wakil presiden, sampai akhir hayatnya tetap menyimpan potongan iklan sepatu Bally, yang tidak pernah bisa dia beli.
Haji Agus Salim, salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih pengakuan internasional dan juga menteri luar negeri, seumur hidupnya nomaden, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Meski miskin, Salim ternyata tidak pernah mempan disogok, baik terang-terangan maupun secara tersamar. Baginya, jangankan yang haram, yang halal saja belum tentu ia mau.
Jenderal Soedirman, Panglima Besar TNI, untuk berobat saja ia tidak punya uang. Hidup prihatin sebagaimana kehidupan rakyat biasa. Di masa itu tidak pernah ada perintah kepada bawahan untuk tidak pamer gaya hidup mewah. Apalagi, sampai mengeluarkan perintah tertulis, pasti sangat menggelikan bila itu terjadi. Jauh berbeda dengan keadaan saat ini.
Momentum Hari Bela Negara
Setiap tahun, hari bela negara selalu diperingati. Biasanya akan diadakan upacara di seluruh kantor pemerintahan. Seremonial dan perlombaan dibuat untuk mengenang hari tersebut. Kementerian Pertahanan bahkan sampai menggelar acara khusus seperti Anugerah Bela Negara. Apresiasi yang tinggi dan penghargaan kepada warga negara, baik individu, korporasi, kampus maupun media atas pengabdian yang tulus melebihi panggilan tugasnya dalam membela negara sesuai dengan bidang dan profesinya guna mempertahankan Indonesia sebagai negara yang berdaulat di semua aspek kehidupan.
Selesai sampai di situ? Biasanya, iya. Apalagi setiap tahun juga hanya seperti itu.
Tahun ini seharusnya bisa dijadikan momentum bela negara yang lebih fundamental. Presiden Joko Widodo baru saja memulai pemerintahan periode keduanya. Semangat bekerja dan mengabdi untuk negeri tentu masih hebat-hebatnya berkobar di dada para menteri, staf khusus presiden, sampai dewan pertimbangan presiden yang baru saja dilantik.
Menteri BUMN Erick Thohir sudah memberi contoh dengan mencopot Direktur Utama Garuda atas kesalahan fatal melakukan penyeludupan barang pribadi dengan memanfaatkan jabatannya. Kementerian lain seharusnya juga segera membersihkan oknum-oknum pejabat korup yang ada dan bercokol di kementeriannya.
Saatnya sekarang ini rakyat disuguhi tontonan keteladanan dari para pejabat. Presiden menjadi ujung tombaknya. Para kepala daerah menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Biarkanlah rakyat menikmati perannya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Jangan rakyat terus yang harus menanggung beban dalam bernegara ini. Indonesia sudah lama merdeka, saatnya kemerdekaan itu untuk dinikmati bersama, bukan hanya milik segelintir orang.
(shf)