Pak Tom dan 999 Masjid

Jum'at, 20 Desember 2019 - 07:20 WIB
Pak Tom dan 999 Masjid
Pak Tom dan 999 Masjid
A A A
Amidhan Shaberah
Ketua MUI (1995-2015)/Komnas HAM (2002-2007)/Anggota Lemkaji MPR (2015-2019)

Tanpa Pak Tom (Sulastomo), jumlah 999 masjid yang dibangun Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP) belum tentu terpenuhi. Kenapa? Janji Presiden Soeharto bahwa YAMP akan membangun 999 masjid terganggu. Pertama, terjadi Reformasi 1998, yang menyebabkan Pak Harto lengser.

Kedua, ketika Pak Harto lengser pada 1998, lalu meninggal pada 27 Januari 2008, kondisi YAMP sudah 'bubrah'. Pak Harto tak bisa lagi bebas menggunakan uang dari YAMP untuk mewujudkan niatnya membangun 999 masjid tersebut. Politik menjegalnya.

Lalu, kenapa 999 masjid Pancasila itu bisa berdiri di seluruh Indonesia? Kuncinya ada pada Pak Tom, panggilan akrab Dr Sulatomo MPH (Master of Public Health) yang meninggal dalam usia 80 tahun pada Jumat siang (13/12/19) di Jakarta. Dengan diplomasinya yang andal, ketulusan niatnya yang menggugah hati, dan kedekatannya pada politisi, ulama, dan pemerintah menjadikan 'niat mulia' Pak Harto yang telah lengser bisa dijembatani Tom.

Betul, Tom adalah orang kepercayaan Soeharto sejak awal sekali, yaitu sejak huru-hara G-30S PKI meletus. Hingga Pak Harto lengser dan sakit 'tua', Tom tetap setia. Janji Pak Harto untuk membangun 999 masjid, setelah ia lengser, tetap terlaksana berkat Tom. Pembangunan masjid terakhir, yakni masjid yang ke-999, baru rampung 2009, setahun setelah Pak Harto wafat.

Itulah Sulastomo. Orang yang setia pada keyakinannya. Ia tahu betul Pak Harto adalah tokoh utama yang menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman PKI. Bagi Tom, Pak Harto adalah orang baik. Tanpa Pak Harto, Indonesia belum tentu selamat dari kekejaman PKI. Itulah sebabnya, Tom rela 'mendampingi' Pak Harto sampai wafat.

Tom, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) pada 1963-1966, adalah tokoh Islam yang terlibat dalam perlawanan terhadap PKI. Tom adalah seorang 'diplomat dan komunikator Jaringan Islam' untuk membendung gerak PKI.

Ia tak hanya piawai memimpin HMI, tapi juga membangun 'silaturahmi' dengan tokoh-tokoh Islam di Indonesia untuk menghadang laju PKI yang ingin menguasai negara dan pemerintahan. Tom bahkan mampu membangun persahabatan dengan Dr Subandrio, tangan kanan Bung Karno. Saat itu, kita tahu Bung Karno sangat dekat dengan PKI.

Subandrio di era genting itu menjabat Kepala BPI (Badan Pusat Intelijen) yang membawahi seluruh institusi intelijen di Kejaksaan, Kepolisian, Militer, dan lain-lain. Jadi, Subandrio sangat berkuasa. Hebatnya, Tom mampu memengaruhi Subandrio agar Bung Karno tidak membubarkan HMI. Padahal saat itu, PKI selalu mengumandangkan yel 'Bubarkan HMI'.

Tak hanya itu. Tom pun berhasil masuk di jantung Nahdlatul Ulama (NU). Ia minta Menteri Agama KH Saifudin Zuhri, wakil NU di pemerintahan agar menolak pembubaran HMI. Permintaan Tom diterima Pak Menag. KH Saifudin Zuhri tidak setuju Bung Karno membubarkan HMI.

Tom berhasil. Bung Karno akhirnya tidak jadi membubarkan HMI. Bayangkan! Jika mau, Bung Karno sangat mudah untuk membubarkan HMI. Partai Masyumi yang besar saja, yang pernah menguasai kabinet, dibubarkan Bung Karno atas desakan PKI. Apalagi. HMI yang hanya organisasi mahasiswa Islam.

Tom adalah pribadi yang tulus dan tanpa pamrih. Komitmennya terhadap Islam luar biasa. Saya sempat mendampingi Tom pada tahun-tahun kritis, 1965-1966, karena saya ditugaskan HMI Yogyakarta untuk membantu Tom dalam melawan PKI. Dengan Vespa bututnya, saya sebagai junior HMI 'dibonceng' Tom, sang senior HMI, berkeliling Jakarta menemui tokoh-tokoh anti-PKI. Dan Tom berhasil meyakinkan mereka agar melawan PKI.

Pak Harto, yang melihat ketulusan Tom dalam bekerja untuk umat dan negara, sangat memercayai Ketum PB HMI ini. Lihat, ketika Orde Baru berjaya, Tom sedikit pun tak berambisi masuk dunia politik elite seperti menteri atau direktur BUMN. Jika pun ia jadi anggota MPR, itu wakil utusan golongan. Dari kalangan profesi kesehatan yang menjadi kompetensi Tom.

Tom juga tidak berbisnis memanfaatkan kedekatannya dengan Pak Harto. Padahal, kalau mau, dengan kedekatannya secara pribadi dengan Pak Harto, apa pun bisa dilakukan Tom. Saat itu, jangankan tokoh biasa, sejumlah menteri pun, kalau mau bertemu dan menyampaikan sesuatu kepada Pak Harto, Tom yang dihubungi lebih dulu. Tom adalah 'mediator' tokoh masyarakat dan pejabat negara untuk menyampaikan gagasannya kepada Pak Harto.

Apakah Tom tertarik menjadi politikus dan pejabat negara? Tidak! Tom bukan orang yang aji mumpung. Ia tak sedikit pun memanfaatkan kedekatannya dengan Pak Harto untuk kepentingan dirinya. Ia hanya ingin bagaimana masyarakat Indonesia dan Islam bangkit dan maju.

Bagi Tom, Indonesia hanya bisa maju jika umat Islam yang jumlahnya mayoritas maju. Kemajuan umat Islam adalah prasyarat utama jika ingin Indonesia maju. Tanpa itu, nonsens .

Ketika dipercaya pemerintah memimpin Asuransi Kesehatan (Askes), Tom sangat antusias. Kenapa? Karena, bagi Tom, Askes adalah batu loncatan untuk mencapai 'asuransi rakyat semesta', yaitu asuransi kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tanpa kesehatan yang baik, rakyat tak mungkin menempuh pendidikan dengan baik. Tanpa pendidikan yang baik, kemajuan dan kesejahteraan tak mungkin dicapai. Itulah cita-cita Tom jangka panjang. Kini, cita-cita Tom 'terlaksana' dengan adanya Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).

Askes saat itu hanya menjamin kesehatan (gratis biaya pengobatan dan rumah sakit) pegawai negeri sipil (PNS) dan militer, mulai pangkat terendah sampai tertinggi. Tapi, di balik itu, Tom punya cita-cita jauh ke depan. Askes harus menjangkau seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tom sering menyampaikan hal itu kepada saya yang sudah seperti keluarga sendiri.

Entah bagaimana perasaan Tom di alam sana ketika BPJS menaikkan preminya sehingga rakyat miskin tak sanggup berobat ke rumah sakit. Sebab, bagi Tom, kesehatan rakyat Indonesia harus menjadi tanggung jawab negara.

Melihat kondisi bangsa dan negara yang 'keropos moral' belakangan ini, Tom aktif dalam gerakan moral untuk memperbaiki kehidupan bangsa dan generasi penerus bangsa. Tom "menjabat" koordinator Gerakan Jalan Lurus sejak 2001. Tak hanya itu, melalui tulisan-tulisannya yang bertebaran di media massa, Tom selalu mengingatkan bangsa Indonesia untuk berada di jalan lurus sesuai dengan cita-cita para founding fathers. Try Sutrisno, mantan wakil presiden RI, teman dekatnya, kemudian meminta Tom duduk di Lembaga Pengkajian (Lemkaji) MPR. Di sinilah pikiran-pikiran idealis Tom mewarnai sidang-sidang Lemkaji untuk memperbaiki dan membangun Indonesia agar sesuai amanat Pancasila dan UUD 45.

Selamat Jalan Mas Tom. Semoga Allah memberikan imbalan surga atas jasa-jasamu yang luar biasa kepada bangsa dan negara tercinta.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0999 seconds (0.1#10.140)