Dewas KPK Segera Dilantik, ICW: Tidak akan Merubah Keadaan
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak seluruh konsep Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tercantum dalam Undang-Undang KPK yang baru. ICW beranggapan adanya dewan pengawas, menunjukkan negara gagal paham tentang konsep pemberatasan korupsi. (Baca juga: Sejumlah Nama Dinilai Berpeluang Masuk Dewas KPK)
"Jadi siapapun yang ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi dewan pengawas tetap menggambarkan bahwa negara gagal memahami konsep penguatan terhadap lembaga antikorupsi seperti KPK," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/12/2019).
Kurnia menyebut, ada tiga alasan penolakan tersebut. Pertama, secara teoritik KPK masuk dalam rumpun lembaga negara independen yang tidak mengenal konsep lembaga dewan pengawas. Menurut dia, yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan.
"Hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang," jelasnya.
Apalagi, dalam UU KPK yang lama sudah ditegaskan bahwa KPK diawasi oleh beberapa lembaga misalnya BPK, DPR, dan Presiden. ”Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan oleh negara?," tanyanya.
Kedua, kewenangan dewan pengawas sangat berlebihan. Sebab bagaimana mungkin tindakan pro justicia yang dilakukan KPK harus meminta izin dari dewan pengawas. Sementara disaat yang sama justru kewenangan Pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut oleh pembentuk UU.
Ketiga, kehadiran dewan pengawas dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, dewan pengawas dalam UU KPK baru dipilih oleh Presiden.
Kurnia menyebut pelemahan demi pelemahan terhadap KPK semakin menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR memang tidak menginginkan negeri ini terbebas dari korupsi
"Jadi, siapapun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi dewan pengawas tidak akan merubah keadaan, karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kemarin (waktu berlakunya UU KPK baru) kelembagaan KPK sudah “mati suri”," tuturnya.
Diketahui, dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 atas perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diselipkan keberadaan dewan pengawas. Pekerjaan dewan pengawas nantinya menyetujui penggeledahan, penyitaan, hingga penyadapan.
Adanya dewan pengawas ini juga menyingkirkan keberadaan penasihat KPK. Dewan pengawas KPK nantinya diumumkan bersamaan dengan pergantian kepemimpinan KPK yang baru pada 20 Desember 2019.
"Jadi siapapun yang ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi dewan pengawas tetap menggambarkan bahwa negara gagal memahami konsep penguatan terhadap lembaga antikorupsi seperti KPK," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/12/2019).
Kurnia menyebut, ada tiga alasan penolakan tersebut. Pertama, secara teoritik KPK masuk dalam rumpun lembaga negara independen yang tidak mengenal konsep lembaga dewan pengawas. Menurut dia, yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan.
"Hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang," jelasnya.
Apalagi, dalam UU KPK yang lama sudah ditegaskan bahwa KPK diawasi oleh beberapa lembaga misalnya BPK, DPR, dan Presiden. ”Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan oleh negara?," tanyanya.
Kedua, kewenangan dewan pengawas sangat berlebihan. Sebab bagaimana mungkin tindakan pro justicia yang dilakukan KPK harus meminta izin dari dewan pengawas. Sementara disaat yang sama justru kewenangan Pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut oleh pembentuk UU.
Ketiga, kehadiran dewan pengawas dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, dewan pengawas dalam UU KPK baru dipilih oleh Presiden.
Kurnia menyebut pelemahan demi pelemahan terhadap KPK semakin menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR memang tidak menginginkan negeri ini terbebas dari korupsi
"Jadi, siapapun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi dewan pengawas tidak akan merubah keadaan, karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kemarin (waktu berlakunya UU KPK baru) kelembagaan KPK sudah “mati suri”," tuturnya.
Diketahui, dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 atas perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diselipkan keberadaan dewan pengawas. Pekerjaan dewan pengawas nantinya menyetujui penggeledahan, penyitaan, hingga penyadapan.
Adanya dewan pengawas ini juga menyingkirkan keberadaan penasihat KPK. Dewan pengawas KPK nantinya diumumkan bersamaan dengan pergantian kepemimpinan KPK yang baru pada 20 Desember 2019.
(cip)