MPR Ungkap Urgensi Kembali Dibentuknya Haluan Negara
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menjelaskan urgensi dihidupkannya kembali Haluan Negara yang sempat mati beberapa tahun. Haluan negara menjadi rekomendasi MPR pada periode 2009-2014 lalu dan juga menjadi rekomendasi MPR pada 2014-2019 yang lalu.
"Karena memang berdasarkan serap aspirasi yang dilakukan MPR ke berbagai macam perguruan tinggi, salah satu yang utama adalah mereka mengusulkan agar Republik Indonesia kembali memiliki haluan negara. Mengapa demikian? karena setelah dihapusnya wewenang MPR untuk menetapkan haluan negara, konsepsi pembangunan nasional bangsa Indonesia diserahkan pada visi misi dan program setiap calon presiden, calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota pada tingkatannya masing-masing," urainya di Gedung iNews Tower, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Basarah melanjutkan, konsepsi itu kemudian payung hukumnya dibuat di dalam UU No 24 tahun 2004 dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU tersebut tidak memberikan aturan yang jelas mengenai bagaimana antara visi misi dan program presiden, gubernur, bupati dan wali kota saling terkoneksi.
"Jadi pembangunan nasional oleh presiden, pembangunan provinsi oleh gubernur, pembangunan kabupaten kota oleh bupati dan wali kota itu tidak terkoneksi karena masing-masing berbasis visi misi dan program masing-masing. Presiden seakan berjalan sendiri, gubernur berjalan sendiri, bupati/wali kota berjelan sendiri. Tidak ada konektivitas, keterhubungan antara pembangunan tingkat nasional, kabupaten/kota," tambahnya.
Selain itu, lanjut Basarah, tidak ada kontinuitas karena setiap ganti presiden, ganti visi misi ganti program. Karena menurut UU sistim perencanaan pembangunan nasional, basis pembangunan lima tahun itu berbasis pada visi-misi capres, cagub, cawali dan cabup.
"Ketika mereka menang, visi misi dan program itu ditetapkan menjadi RPJMN. Itulah yang menjadi alasan, antara lain, yang membuat MPR merasa penting untuk menghadirkan kembali haluan negara melalui amandemen UUD 1945, memberikan kembali wewenang MPR untuk menetapkan haluan negara dan haluan pembangunan nasional," tuturnya. Komaruddin Bagja Arjawinangun
"Karena memang berdasarkan serap aspirasi yang dilakukan MPR ke berbagai macam perguruan tinggi, salah satu yang utama adalah mereka mengusulkan agar Republik Indonesia kembali memiliki haluan negara. Mengapa demikian? karena setelah dihapusnya wewenang MPR untuk menetapkan haluan negara, konsepsi pembangunan nasional bangsa Indonesia diserahkan pada visi misi dan program setiap calon presiden, calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota pada tingkatannya masing-masing," urainya di Gedung iNews Tower, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Basarah melanjutkan, konsepsi itu kemudian payung hukumnya dibuat di dalam UU No 24 tahun 2004 dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU tersebut tidak memberikan aturan yang jelas mengenai bagaimana antara visi misi dan program presiden, gubernur, bupati dan wali kota saling terkoneksi.
"Jadi pembangunan nasional oleh presiden, pembangunan provinsi oleh gubernur, pembangunan kabupaten kota oleh bupati dan wali kota itu tidak terkoneksi karena masing-masing berbasis visi misi dan program masing-masing. Presiden seakan berjalan sendiri, gubernur berjalan sendiri, bupati/wali kota berjelan sendiri. Tidak ada konektivitas, keterhubungan antara pembangunan tingkat nasional, kabupaten/kota," tambahnya.
Selain itu, lanjut Basarah, tidak ada kontinuitas karena setiap ganti presiden, ganti visi misi ganti program. Karena menurut UU sistim perencanaan pembangunan nasional, basis pembangunan lima tahun itu berbasis pada visi-misi capres, cagub, cawali dan cabup.
"Ketika mereka menang, visi misi dan program itu ditetapkan menjadi RPJMN. Itulah yang menjadi alasan, antara lain, yang membuat MPR merasa penting untuk menghadirkan kembali haluan negara melalui amandemen UUD 1945, memberikan kembali wewenang MPR untuk menetapkan haluan negara dan haluan pembangunan nasional," tuturnya. Komaruddin Bagja Arjawinangun
(shf)