Membaca Rilis PISA dan Tantangan Terkini Literasi
A
A
A
Saiful Maarif
Bekerja pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Pada 14 September 1995 Presiden Soeharto mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan (HKP). Acara ini dimaksudkan agar masyarakat tetap sadar bahwa ada perpustakaan sebagai wahana untuk mendukung pentingnya kesadaran literasi. HKP terasa tidak populer. Kemasan riuh dan extravaganza acara-acara berlabel nasional lainnya dengan sendirinya menenggelamkan gaungnya. Saking tidak populer, situs Perpustakaan Nasional sendiri tidak terlihat memberi tekanan khusus pada HKP.
Pada awal Desember 2019 hasil Program Penilaian Pelajar Internasional atau Program for International Student Assessment (PISA) 2018 dirilis. Hasil PISA 2018 menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca mendapatkan skor rata-rata 371, sementara rerata keseluruhan adalah 487.
Untuk skor rata-rata matematika siswa Indonesia adalah 379 (rata-rata keseluruhan 487), sains 389 (rata-rata keseluruhan 489). Dalam konteks kemampuan membaca, PISA mencatat rata-rata anak Indonesia berada pada peringkat 6 dari bawah atau peringkat 74. Skor rata-rata Indonesia adalah 371 (rata-rata keseluruhan 377%).
Kondisi seperti ini belum jauh beranjak dari data serupa beberapa tahun sebelumnya. Data 2018 ini masih "istiqamah" dengan data 2011. Terkait kebiasaan membaca masyarakat Indonesia, UNESCO (2012) menyatakan bahwa hanya satu dari 1.000 orang masyarakat Indonesia yang membaca!
Jarak penetapan HKP dan rilis PISA 2018 terentang 25 tahun lebih. Di antara jarak tersebut tentu sudah banyak langkah dan kebijakan yang ditempuh. Namun, hasil PISA 2018 seperti melemparkan diri pada waktu sebelum penetapan HKP dilakukan. Berbagai kebijakan dan program yang sudah dijalankan terkait literasi terasa mendapat pil pahit dengan hasil survei ini. Dengan penilaian PISA tersebut, berbagai program pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan seperti menemu kritik yang begitu tajam.
Ironi Buku dan Minat Membacanya
Temuan Unesco di atas boleh saja sangat mengiris dan memprihatinkan. Namun demikian, temuan para pegiat literasi di berbagai daerah membantah sinyalemen tersebut. Disampaikan bahwa minat anak-anak di daerah untuk membaca sangat tinggi. Mereka akan melahap buku apa pun yang diberikan kepada mereka. Yang terjadi, buku yang tersedia tidak cukup untuk melayani keinginan mereka untuk membaca. Di berbagai daerah juga tumbuh kegairahan yang besar dalam membentuk taman baca untuk anak-anak dan perpustakaan masyarakat. Dalam kaitan ini, sangat terasa peran gerakan-gerakan volunteer dalam mendorong dan mengampanyekan budaya literasi sampai ke pelosok daerah.
Pemerintah lewat program pengiriman buku gratis via pos pada setiap tanggal 17 juga sukses mendorong sebaran buku dari dan ke seluruh penjuru Indonesia. Disebutkan, rata-rata sekitar 300 ton buku dengan biaya kirim (yang seharusnya) sekitar Rp800 juta terdistribusikan setiap tanggal itu.
Secara saintifik, survei dan studi tentang tingkat dan nalar keterbacaan anak Indonesia itu sulit untuk dibantah. Namun demikian, menafikan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mendukung gerakan literasi juga langkah yang sangat gegabah. Langkah realistis barangkali adalah menjadikan data PISA dan lembaga lainnya dalam konteks literasi sebagai salah satu sarana evaluasi tentang permasalahan minat baca dan buku secara umum, sambil mengatasi berbagai masalah yang ada di lapangan.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2018 menyebutkan bahwa sebanyak 36,22% sekolah dasar di Indonesia belum memiliki perpustakaan. Tanpa adanya perpustakaan, bagaimana berharap wawasan anak-anak itu bisa berkembang? Padahal, persoalan perpustakaan bukan hanya bagaimana agar ia hadir dan menjadi bagian dari layanan dan standar sarana dan prasarana madrasah atau sekolah. Perpustakaan adalah gudang ilmu dan pengetahuan yang mampu mendukung dan menumbuhkan pencapaian akademik dan imajinasi anak-anak.
Bergairah di Medsos
Langkah solutif yang dijalankan bersama menjadi penting dilakukan. Kesadaran untuk menjadikan buku dan kebiasaan membaca sebagai bagian dari upaya meningkatkan kapasitas individu menyentuh aspek budaya kita. Seiring semakin mudahnya teknologi membantu hajat hidup dalam berbagai detail kehidupan dan kecenderungan untuk lebih banyak bertutur ketimbang menulis, publik seperti makin menjauh dari konteks buku dan keterbacaannya.
Dalam gambaran sederhana, Anda yang sedang mengantre di salah satu stasiun kereta Jakarta, misalnya, akan lebih mudah menemui orang yang sibuk dengan smartphone ketimbang membaca buku. Jarang sekali terlihat orang yang sengaja membaca buku di keramaian seperti itu. Kalaupun ada, dia akan menerima risiko terlihat aneh di mata sekitar. Keanehan ini timbul karena budaya membaca buku yang belum tumbuh dengan baik dan benar.
Orang mungkin bisa berdalih bahwa saat melihat smartphone bisa juga dipakai untuk membuka dan membaca buku atau informasi dalam berbagai bentuknya secara online. Namun, sayangnya, gawai memiliki kemampuan multitasking yang mampu menggoda dan mengalihkan fokus orang untuk beralih ke hal-hal trending yang disediakan media sosial.
Maka, dari semula niat yang terbangun untuk semata melihat dan mendapatkan informasi bisa sekejap berubah menjadi ajang mendapatkan gosip dan ghibah. Fokus dan perhatian masyarakat pada smartphone khususnya media sosial memang tinggi.
Pada 2017 Kominfo mengungkap data bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu kurang lebih sembilan jam dalam menatap layar gawai. Dengan fokus yang demikian tinggi, tidak heran jika masyarakat Indonesia terkenal begitu cerewet dan merepet di media sosial. Untuk urusan cuitan dan pembicaraan Twitter, misalnya, Jakarta dan Bandung menempati 10 besar dunia dengan rata-rata 10 juta cuitan tiap hari.
Durasi mengkhidmati medsos seperti ini membenarkan sinyalemen yang disampaikan Stephen Apkon dalam The Age of The Image: Redefining Literacy in a World of Screen (2013). Apkon menyindir anak-anak di penjuru dunia yang sudah demikian terkoneksi dengan dunia digital dan menilai mereka sebagai generasi yang berkembang menjadi screenager (generasi layar), bukan lagi teenager. Generasi layar merujuk pada waktu dan kesempatan yang lebih banyak dipakai untuk memelototi layar gawai dan menghabiskan waktu bermedsos.
Pandangan ini sejalan dengan apa yang disampaikan Loren Coleman dalam The Media Effect, How the Media and Polular Culture Trigger the Mayhem in Tomorrow`s Headline (2004) bahwa dominasi teknologi media telah sedemikian rupa menciptakan realitas baru bagi anak-anak. Media telah membuat anak-anak tersambung (plugged in), selalu "menyala" atau online (turn on), dan teralihkan (turn out) perhatian mereka kepada internet. Pada saat yang bersamaan, anak-anak itu semakin jauh dari hubungan dengan keluarga, orang tua, dan sekitarnya. Berbagai peringatan para ilmuwan sosial itu patut diperhatikan bersama.
Kita tentu tidak menginginkan anak-anak akan berkembang menjadi generasi yang jauh dari kualitas dan budaya baca sebagaimana yang dilaporkan PISA, PIRLS, dan Unesco. Kita juga tidak mengharapkan mereka menjadi individu yang tercerabut dari akar sosial karena keasyikan mengkhidmati media sosial atau gawai secara umum tepat di saat mereka sedang berupaya mengembangkan diri di bangku belajar.
Dalam kaitan ini, penting juga kiranya dipikirkan bersama untuk membangun semacam gerakan literasi Pendidikan Islam yang masif dan berkelanjutan. Gerakan ini agar bisa menjadi dorongan semua pihak pemangku kepentingan Pendidikan Islam untuk menjadikan buku dan budaya baca-tulis sebagai faktor terpenting dalam proses pengajaran, pembelajaran, dan pengembangan diri.
Data PISA (juga Unesco dan lembaga lainnya) ditambah budaya tutur yang lebih kuat ketimbang budaya tulis, berada dan memenuhi unsur pesimis dalam melihat konteks literasi ke depannya. Namun, melihat minat anak-anak dalam membaca dan daya tahan pemerintah dan berbagai pihak terkait dalam membangun dan mengembangkan gerakan literasi kiranya masih menebar dan menyulut semangat bersama.
Bekerja pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Pada 14 September 1995 Presiden Soeharto mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan (HKP). Acara ini dimaksudkan agar masyarakat tetap sadar bahwa ada perpustakaan sebagai wahana untuk mendukung pentingnya kesadaran literasi. HKP terasa tidak populer. Kemasan riuh dan extravaganza acara-acara berlabel nasional lainnya dengan sendirinya menenggelamkan gaungnya. Saking tidak populer, situs Perpustakaan Nasional sendiri tidak terlihat memberi tekanan khusus pada HKP.
Pada awal Desember 2019 hasil Program Penilaian Pelajar Internasional atau Program for International Student Assessment (PISA) 2018 dirilis. Hasil PISA 2018 menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca mendapatkan skor rata-rata 371, sementara rerata keseluruhan adalah 487.
Untuk skor rata-rata matematika siswa Indonesia adalah 379 (rata-rata keseluruhan 487), sains 389 (rata-rata keseluruhan 489). Dalam konteks kemampuan membaca, PISA mencatat rata-rata anak Indonesia berada pada peringkat 6 dari bawah atau peringkat 74. Skor rata-rata Indonesia adalah 371 (rata-rata keseluruhan 377%).
Kondisi seperti ini belum jauh beranjak dari data serupa beberapa tahun sebelumnya. Data 2018 ini masih "istiqamah" dengan data 2011. Terkait kebiasaan membaca masyarakat Indonesia, UNESCO (2012) menyatakan bahwa hanya satu dari 1.000 orang masyarakat Indonesia yang membaca!
Jarak penetapan HKP dan rilis PISA 2018 terentang 25 tahun lebih. Di antara jarak tersebut tentu sudah banyak langkah dan kebijakan yang ditempuh. Namun, hasil PISA 2018 seperti melemparkan diri pada waktu sebelum penetapan HKP dilakukan. Berbagai kebijakan dan program yang sudah dijalankan terkait literasi terasa mendapat pil pahit dengan hasil survei ini. Dengan penilaian PISA tersebut, berbagai program pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan seperti menemu kritik yang begitu tajam.
Ironi Buku dan Minat Membacanya
Temuan Unesco di atas boleh saja sangat mengiris dan memprihatinkan. Namun demikian, temuan para pegiat literasi di berbagai daerah membantah sinyalemen tersebut. Disampaikan bahwa minat anak-anak di daerah untuk membaca sangat tinggi. Mereka akan melahap buku apa pun yang diberikan kepada mereka. Yang terjadi, buku yang tersedia tidak cukup untuk melayani keinginan mereka untuk membaca. Di berbagai daerah juga tumbuh kegairahan yang besar dalam membentuk taman baca untuk anak-anak dan perpustakaan masyarakat. Dalam kaitan ini, sangat terasa peran gerakan-gerakan volunteer dalam mendorong dan mengampanyekan budaya literasi sampai ke pelosok daerah.
Pemerintah lewat program pengiriman buku gratis via pos pada setiap tanggal 17 juga sukses mendorong sebaran buku dari dan ke seluruh penjuru Indonesia. Disebutkan, rata-rata sekitar 300 ton buku dengan biaya kirim (yang seharusnya) sekitar Rp800 juta terdistribusikan setiap tanggal itu.
Secara saintifik, survei dan studi tentang tingkat dan nalar keterbacaan anak Indonesia itu sulit untuk dibantah. Namun demikian, menafikan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mendukung gerakan literasi juga langkah yang sangat gegabah. Langkah realistis barangkali adalah menjadikan data PISA dan lembaga lainnya dalam konteks literasi sebagai salah satu sarana evaluasi tentang permasalahan minat baca dan buku secara umum, sambil mengatasi berbagai masalah yang ada di lapangan.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2018 menyebutkan bahwa sebanyak 36,22% sekolah dasar di Indonesia belum memiliki perpustakaan. Tanpa adanya perpustakaan, bagaimana berharap wawasan anak-anak itu bisa berkembang? Padahal, persoalan perpustakaan bukan hanya bagaimana agar ia hadir dan menjadi bagian dari layanan dan standar sarana dan prasarana madrasah atau sekolah. Perpustakaan adalah gudang ilmu dan pengetahuan yang mampu mendukung dan menumbuhkan pencapaian akademik dan imajinasi anak-anak.
Bergairah di Medsos
Langkah solutif yang dijalankan bersama menjadi penting dilakukan. Kesadaran untuk menjadikan buku dan kebiasaan membaca sebagai bagian dari upaya meningkatkan kapasitas individu menyentuh aspek budaya kita. Seiring semakin mudahnya teknologi membantu hajat hidup dalam berbagai detail kehidupan dan kecenderungan untuk lebih banyak bertutur ketimbang menulis, publik seperti makin menjauh dari konteks buku dan keterbacaannya.
Dalam gambaran sederhana, Anda yang sedang mengantre di salah satu stasiun kereta Jakarta, misalnya, akan lebih mudah menemui orang yang sibuk dengan smartphone ketimbang membaca buku. Jarang sekali terlihat orang yang sengaja membaca buku di keramaian seperti itu. Kalaupun ada, dia akan menerima risiko terlihat aneh di mata sekitar. Keanehan ini timbul karena budaya membaca buku yang belum tumbuh dengan baik dan benar.
Orang mungkin bisa berdalih bahwa saat melihat smartphone bisa juga dipakai untuk membuka dan membaca buku atau informasi dalam berbagai bentuknya secara online. Namun, sayangnya, gawai memiliki kemampuan multitasking yang mampu menggoda dan mengalihkan fokus orang untuk beralih ke hal-hal trending yang disediakan media sosial.
Maka, dari semula niat yang terbangun untuk semata melihat dan mendapatkan informasi bisa sekejap berubah menjadi ajang mendapatkan gosip dan ghibah. Fokus dan perhatian masyarakat pada smartphone khususnya media sosial memang tinggi.
Pada 2017 Kominfo mengungkap data bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu kurang lebih sembilan jam dalam menatap layar gawai. Dengan fokus yang demikian tinggi, tidak heran jika masyarakat Indonesia terkenal begitu cerewet dan merepet di media sosial. Untuk urusan cuitan dan pembicaraan Twitter, misalnya, Jakarta dan Bandung menempati 10 besar dunia dengan rata-rata 10 juta cuitan tiap hari.
Durasi mengkhidmati medsos seperti ini membenarkan sinyalemen yang disampaikan Stephen Apkon dalam The Age of The Image: Redefining Literacy in a World of Screen (2013). Apkon menyindir anak-anak di penjuru dunia yang sudah demikian terkoneksi dengan dunia digital dan menilai mereka sebagai generasi yang berkembang menjadi screenager (generasi layar), bukan lagi teenager. Generasi layar merujuk pada waktu dan kesempatan yang lebih banyak dipakai untuk memelototi layar gawai dan menghabiskan waktu bermedsos.
Pandangan ini sejalan dengan apa yang disampaikan Loren Coleman dalam The Media Effect, How the Media and Polular Culture Trigger the Mayhem in Tomorrow`s Headline (2004) bahwa dominasi teknologi media telah sedemikian rupa menciptakan realitas baru bagi anak-anak. Media telah membuat anak-anak tersambung (plugged in), selalu "menyala" atau online (turn on), dan teralihkan (turn out) perhatian mereka kepada internet. Pada saat yang bersamaan, anak-anak itu semakin jauh dari hubungan dengan keluarga, orang tua, dan sekitarnya. Berbagai peringatan para ilmuwan sosial itu patut diperhatikan bersama.
Kita tentu tidak menginginkan anak-anak akan berkembang menjadi generasi yang jauh dari kualitas dan budaya baca sebagaimana yang dilaporkan PISA, PIRLS, dan Unesco. Kita juga tidak mengharapkan mereka menjadi individu yang tercerabut dari akar sosial karena keasyikan mengkhidmati media sosial atau gawai secara umum tepat di saat mereka sedang berupaya mengembangkan diri di bangku belajar.
Dalam kaitan ini, penting juga kiranya dipikirkan bersama untuk membangun semacam gerakan literasi Pendidikan Islam yang masif dan berkelanjutan. Gerakan ini agar bisa menjadi dorongan semua pihak pemangku kepentingan Pendidikan Islam untuk menjadikan buku dan budaya baca-tulis sebagai faktor terpenting dalam proses pengajaran, pembelajaran, dan pengembangan diri.
Data PISA (juga Unesco dan lembaga lainnya) ditambah budaya tutur yang lebih kuat ketimbang budaya tulis, berada dan memenuhi unsur pesimis dalam melihat konteks literasi ke depannya. Namun, melihat minat anak-anak dalam membaca dan daya tahan pemerintah dan berbagai pihak terkait dalam membangun dan mengembangkan gerakan literasi kiranya masih menebar dan menyulut semangat bersama.
(shf)