Polusi, Kemacetan, dan Urgensi Kenaikan Tarif Parkir
A
A
A
Anggawira
Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Pengelola Perparkiran Indonesia (PPPI)
JAKARTA sebagai pusat ekonomi Indonesia tidak serta-merta berdampak positif pada lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Secara ekonomi, masyarakat memang terbantu akibat pemusatan modal yang menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong laju urbanisasi dalam skala besar. Istilah Jakarta-sentris tampak masih relevan dengan kondisi saat ini. Beragam kebijakan untuk melepaskan slogan sentralisme telah dilakukan. Hanya, masih perlu upaya ekstra dan konsistensi dari berbagai pemangku kepentingan.
Penumpukan modal yang mendorong laju urbanisasi tentunya menciptakan masalah tersendiri, misalnya jumlah penduduk yang semakin tinggi, kepadatan, kemacetan, kriminalitas, premanisme, hingga minimnya ruang terbuka hijau. Hingga kini Gubernur Anies Baswaden masih berupaya keras mencari alternatif kebijakan yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Misalnya, dalam beberapa bulan terakhir ramai dibicarakan Instruksi Gubernur Nomor 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Beleid tersebut dipicu oleh kualitas udara Jakarta yang menurut data AirVisual berada dalam posisi “tidak sehat“. Selain itu, beleid ini juga mengatur tentang rencana kenaikan tarif parkir di Jakarta yang digadang-gadang mampu menekan tingkat polusi serta kemacetan.
Wacana kenaikan tarif parkir ini bukan tanpa alasan jika disandingkan dengan pertumbuhan kendaraan di Jakarta yang terus melonjak tajam. Hal ini juga ditopang oleh akses mendapatkan kendaraan secara mudah. Berdasarkan data Statistik Transportasi DKI Jakarta 2017, pertumbuhan kendaraan bermotor (2012-2016) mencapai 5,35% per tahun. Jika dirinci menurut jenis kendaraan, mobil penumpang mengalami pertumbuhan tertinggi, yakni 6,48% per tahun. Setelah itu sepeda motor tumbuh 5,30% per tahun, mobil beban tumbuh 5,25% per tahun, dan terakhir mobil bus yang mengalami penurunan 1,44% per tahun (Purbolaksono, 2019).
Kebijakan kredit nol persen uang muka oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditengarai menjadi faktor penyebab maraknya pertumbuhan kendaraan. Dalam peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2019 disebutkan, perusahaan pembiayaan dapat menyalurkan kredit kendaraan bermotor, baik roda dua, tiga, maupun empat, dengan uang muka nol persen. Perlu dipahami, kebijakan tersebut di sisi lain juga merupakan langkah OJK menekan angka pengangguran, khususnya masyarakat yang menggantungkan pendapatan sebagai pengemudi ojek daring.
Artinya, perlu dicermati juga mana pengendara pribadi yang leluasa menggunakan kendaraannya hingga memicu kemacetan dan mereka yang menggunakan kendaraan untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya. Dengan begitu, ada kebijakan yang tepat untuk mengatasi problem polusi dan kemacetan.
Lembaga pengukur tingkat kemacetan kota-kota di dunia, TomTom Trafic Index, misalnya, saat ini menempatkan tingkat kemacetan Jakarta pada Juni 2018 sebesar 53%. Angka ini menurun dari angka sebelumnya, 95% pada Februari 2018. Tingkat kemacetan 53% menempatkan Jakarta setara dengan kota lain seperti Bangkok dan Istanbul.
Meskipun data tersebut menunjukkan penurunan, faktanya Jakarta hingga kini masih mengalami problem kemacetan akibat dari proyek pembangunan jalan yang sedang digencarkan oleh pemerintah. Artinya, perlu kebijakan yang lebih cepat dan progresif untuk menyelesaikan kemacetan, salah satunya dengan memperbarui tarif parkir secepat mungkin.
Masalah Tarif Parkir
Jakarta sejauh ini masih memiliki tarif parkir yang rendah dibandingkan negara-negara lain. Laporan Global Parking Index 2017 mencatat kota-kota di Amerika Serikat (AS) menjadi kota dengan tarif parkir termahal di dunia. Di New York misalnya, pengendara harus mengeluarkan ongkos 26 juta atau 2.000 dolar AS per bulan untuk biaya parkir. Sydney menempati posisi kedua biaya parkir termahal, disusul London dan Tokyo.
Di Jakarta tarif parkir masih terbilang rendah sehingga memicu banyak pengendara pribadi yang tetap menggunakan kendaraan mereka. Berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 179/2013 tentang Tarif Layanan Parkir, tarif parkir mobil adalah Rp3.000-8.000 per jam, dan Rp2.000-4.000 per jam untuk sepeda motor. Golongan jalan A dengan tarif parkir mobil Rp3.000-6.000 per jam, dan Rp2.000-3.000 per jam untuk sepeda motor, serta golongan jalan B dengan tarif parkir mobil Rp2.000-4.000 per jam, dan Rp2.000 per jam untuk sepeda motor (Tirto.id , 2017).
Data ini menunjukkan sudah semestinya Pemprov DKI Jakarta dengan cepat menelurkan kebijakan yang tepat, misalnya secepat mungkin menaikkan tarif parkir sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan dan polusi. Selain dapat mendorong pemasukan, kenaikan tarif dapat memaksa kelas menengah beralih ke layanan transportasi publik.
Salah satu masalah lain perparkiran adalah intervensi ormas. Ini telah menjadi rahasia umum. Banyak keluhan warga, misalnya, sering dipungut biaya parkir meskipun hanya mampir sebentar ke minimarket atau mesin ATM. Ironisnya, warga dimintai ongkos parkir yang ditentukan sendiri oleh oknum ormas ini. Sebetulnya ini bukan persoalan besaran nilai rupiah, tapi soal kenyamanan dan kebebasan warga untuk tidak merasa terusik sebagai warga kota.
Di sisi lain, rapat kerja Pemprov DKI dengan Komisi C DPRD DKI Jakarta pada Juni 2019 silam menunjukkan realisasi pendapatan parkir selama 2018 mencapai Rp104,55 miliar. Realisasi pendapatan ini terdiri atas parkir tepi jalan umum Rp11,69 miliar, gedung parkir Rp1,12 miliar, sementara pendapatan dari terminal parkir elektronik (TPE) sebesar 22,83 miliar, parkir PD Pasar Jaya sebesar Rp22,61 miliar, dan parkir dari perjanjian kerja sama Rp21,4 miliar, serta pendapatan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebesar 2,9 miliar.
Pendapatan tarif parkir yang besar tentu perlu dikelola secara bijak sehingga tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat. Untuk itu, perlu penerapan good corporate governance (CGC). Menurut Thomas S Kaihatu dalam Good Corporate Governance, secara definitif GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah untuk semua stakeholder (Monks, 2003).
Dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Pemprov DKI semestinya menunjukkan prinsip manajemen pendapatan parkir secara baku. Tata kelola yang baik merupakan perwujudan dari prinsip good governace. Dalam prinsip GCG, misalnya, terdapat lima hal yang perlu dilakukan, yakni transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, kewajaran, dan independensi.
Transparansi adalah pentingnya pemerintah untuk memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat, misalnya seberapa besar pendapatan parkir dan bagaimana anggaran itu dikelola. Akuntabilitas berarti keseluruhan anggaran tersebut dapat dipertanggung jawabkan, baik secara teknis maupun administratif. Responsibilitas yakni Pemprov DKI harus mematuhi segala aturan hukum yang berlaku serta bertanggung jawab terhadap masyarakat, termasuk lingkungan usaha. Selanjutnya, kewajaran yakni adanya keadilan dan kesetaraan di dalam melakukan tata kelola, serta independensi, yakni masalah perparkiran harus dikelola secara independen sehingga tidak merugikan pihak lain yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
Tentu, dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, Pemprov DKI Jakarta diharapkan mampu mengelola anggaran perparkiran secara profesional sehingga sinergi antara semua pihak dapat terwujud dengan baik. Kenaikan tarif parkir saat ini adalah solusi terbaik di tengah ancaman kemacetan dan polusi udara.
Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Pengelola Perparkiran Indonesia (PPPI)
JAKARTA sebagai pusat ekonomi Indonesia tidak serta-merta berdampak positif pada lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Secara ekonomi, masyarakat memang terbantu akibat pemusatan modal yang menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong laju urbanisasi dalam skala besar. Istilah Jakarta-sentris tampak masih relevan dengan kondisi saat ini. Beragam kebijakan untuk melepaskan slogan sentralisme telah dilakukan. Hanya, masih perlu upaya ekstra dan konsistensi dari berbagai pemangku kepentingan.
Penumpukan modal yang mendorong laju urbanisasi tentunya menciptakan masalah tersendiri, misalnya jumlah penduduk yang semakin tinggi, kepadatan, kemacetan, kriminalitas, premanisme, hingga minimnya ruang terbuka hijau. Hingga kini Gubernur Anies Baswaden masih berupaya keras mencari alternatif kebijakan yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Misalnya, dalam beberapa bulan terakhir ramai dibicarakan Instruksi Gubernur Nomor 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Beleid tersebut dipicu oleh kualitas udara Jakarta yang menurut data AirVisual berada dalam posisi “tidak sehat“. Selain itu, beleid ini juga mengatur tentang rencana kenaikan tarif parkir di Jakarta yang digadang-gadang mampu menekan tingkat polusi serta kemacetan.
Wacana kenaikan tarif parkir ini bukan tanpa alasan jika disandingkan dengan pertumbuhan kendaraan di Jakarta yang terus melonjak tajam. Hal ini juga ditopang oleh akses mendapatkan kendaraan secara mudah. Berdasarkan data Statistik Transportasi DKI Jakarta 2017, pertumbuhan kendaraan bermotor (2012-2016) mencapai 5,35% per tahun. Jika dirinci menurut jenis kendaraan, mobil penumpang mengalami pertumbuhan tertinggi, yakni 6,48% per tahun. Setelah itu sepeda motor tumbuh 5,30% per tahun, mobil beban tumbuh 5,25% per tahun, dan terakhir mobil bus yang mengalami penurunan 1,44% per tahun (Purbolaksono, 2019).
Kebijakan kredit nol persen uang muka oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditengarai menjadi faktor penyebab maraknya pertumbuhan kendaraan. Dalam peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2019 disebutkan, perusahaan pembiayaan dapat menyalurkan kredit kendaraan bermotor, baik roda dua, tiga, maupun empat, dengan uang muka nol persen. Perlu dipahami, kebijakan tersebut di sisi lain juga merupakan langkah OJK menekan angka pengangguran, khususnya masyarakat yang menggantungkan pendapatan sebagai pengemudi ojek daring.
Artinya, perlu dicermati juga mana pengendara pribadi yang leluasa menggunakan kendaraannya hingga memicu kemacetan dan mereka yang menggunakan kendaraan untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya. Dengan begitu, ada kebijakan yang tepat untuk mengatasi problem polusi dan kemacetan.
Lembaga pengukur tingkat kemacetan kota-kota di dunia, TomTom Trafic Index, misalnya, saat ini menempatkan tingkat kemacetan Jakarta pada Juni 2018 sebesar 53%. Angka ini menurun dari angka sebelumnya, 95% pada Februari 2018. Tingkat kemacetan 53% menempatkan Jakarta setara dengan kota lain seperti Bangkok dan Istanbul.
Meskipun data tersebut menunjukkan penurunan, faktanya Jakarta hingga kini masih mengalami problem kemacetan akibat dari proyek pembangunan jalan yang sedang digencarkan oleh pemerintah. Artinya, perlu kebijakan yang lebih cepat dan progresif untuk menyelesaikan kemacetan, salah satunya dengan memperbarui tarif parkir secepat mungkin.
Masalah Tarif Parkir
Jakarta sejauh ini masih memiliki tarif parkir yang rendah dibandingkan negara-negara lain. Laporan Global Parking Index 2017 mencatat kota-kota di Amerika Serikat (AS) menjadi kota dengan tarif parkir termahal di dunia. Di New York misalnya, pengendara harus mengeluarkan ongkos 26 juta atau 2.000 dolar AS per bulan untuk biaya parkir. Sydney menempati posisi kedua biaya parkir termahal, disusul London dan Tokyo.
Di Jakarta tarif parkir masih terbilang rendah sehingga memicu banyak pengendara pribadi yang tetap menggunakan kendaraan mereka. Berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 179/2013 tentang Tarif Layanan Parkir, tarif parkir mobil adalah Rp3.000-8.000 per jam, dan Rp2.000-4.000 per jam untuk sepeda motor. Golongan jalan A dengan tarif parkir mobil Rp3.000-6.000 per jam, dan Rp2.000-3.000 per jam untuk sepeda motor, serta golongan jalan B dengan tarif parkir mobil Rp2.000-4.000 per jam, dan Rp2.000 per jam untuk sepeda motor (Tirto.id , 2017).
Data ini menunjukkan sudah semestinya Pemprov DKI Jakarta dengan cepat menelurkan kebijakan yang tepat, misalnya secepat mungkin menaikkan tarif parkir sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan dan polusi. Selain dapat mendorong pemasukan, kenaikan tarif dapat memaksa kelas menengah beralih ke layanan transportasi publik.
Salah satu masalah lain perparkiran adalah intervensi ormas. Ini telah menjadi rahasia umum. Banyak keluhan warga, misalnya, sering dipungut biaya parkir meskipun hanya mampir sebentar ke minimarket atau mesin ATM. Ironisnya, warga dimintai ongkos parkir yang ditentukan sendiri oleh oknum ormas ini. Sebetulnya ini bukan persoalan besaran nilai rupiah, tapi soal kenyamanan dan kebebasan warga untuk tidak merasa terusik sebagai warga kota.
Di sisi lain, rapat kerja Pemprov DKI dengan Komisi C DPRD DKI Jakarta pada Juni 2019 silam menunjukkan realisasi pendapatan parkir selama 2018 mencapai Rp104,55 miliar. Realisasi pendapatan ini terdiri atas parkir tepi jalan umum Rp11,69 miliar, gedung parkir Rp1,12 miliar, sementara pendapatan dari terminal parkir elektronik (TPE) sebesar 22,83 miliar, parkir PD Pasar Jaya sebesar Rp22,61 miliar, dan parkir dari perjanjian kerja sama Rp21,4 miliar, serta pendapatan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebesar 2,9 miliar.
Pendapatan tarif parkir yang besar tentu perlu dikelola secara bijak sehingga tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat. Untuk itu, perlu penerapan good corporate governance (CGC). Menurut Thomas S Kaihatu dalam Good Corporate Governance, secara definitif GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah untuk semua stakeholder (Monks, 2003).
Dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Pemprov DKI semestinya menunjukkan prinsip manajemen pendapatan parkir secara baku. Tata kelola yang baik merupakan perwujudan dari prinsip good governace. Dalam prinsip GCG, misalnya, terdapat lima hal yang perlu dilakukan, yakni transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, kewajaran, dan independensi.
Transparansi adalah pentingnya pemerintah untuk memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat, misalnya seberapa besar pendapatan parkir dan bagaimana anggaran itu dikelola. Akuntabilitas berarti keseluruhan anggaran tersebut dapat dipertanggung jawabkan, baik secara teknis maupun administratif. Responsibilitas yakni Pemprov DKI harus mematuhi segala aturan hukum yang berlaku serta bertanggung jawab terhadap masyarakat, termasuk lingkungan usaha. Selanjutnya, kewajaran yakni adanya keadilan dan kesetaraan di dalam melakukan tata kelola, serta independensi, yakni masalah perparkiran harus dikelola secara independen sehingga tidak merugikan pihak lain yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
Tentu, dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, Pemprov DKI Jakarta diharapkan mampu mengelola anggaran perparkiran secara profesional sehingga sinergi antara semua pihak dapat terwujud dengan baik. Kenaikan tarif parkir saat ini adalah solusi terbaik di tengah ancaman kemacetan dan polusi udara.
(pur)