Tragedi di Luar Ruang Sidang Pengadilan
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
HAKIM Pengadilan Negeri (PN) Medan Jamaluddin tewas di mobil miliknya. Jasadnya ditemukan di area kebun sawit, Desa Sukarame, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ada luka mencurigakan di lehernya (Jumat, 29/11/2019).
Hingga saat ini kepolisian belum bisa memastikan apakah luka itu sebagai indikasi pembunuhan dan sebab kematiannya. Hasil autopsi masih ditunggu. Tersebar kabar bahwa Jamaluddin sempat menerima telepon di pagi hari sebelum dia ditemukan tak bernyawa. Namun, panggilan telepon itu misterius alias tak diketahui dari siapa.
Menurut Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI), peristiwa kematian Jamaluddin merupakan bentuk lemahnya jaminan keamanan dan keselamatan para hakim. Seharusnya hakim memperoleh jaminan keamanan sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (MA).
Negara harus hadir memberikan jaminan keamanan bagi hakim agar dapat tenang menjalankan tugasnya memberikan keadilan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Karena itu, PP IKAHI mendesak Kapolri agar mendukung upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian Kota Medan dalam mengungkap penyebab di balik dugaan terbunuhnya Jamaluddin.
Pasti. Siapa pun menyayangkan dan mengutuk keras atas tragedi tersebut. Kita prihatin. Kita sedih. Namun, seakan tak berdaya mencegah terulangnya kasus-kasus serupa. Dalam perjalanan waktu—sejak dulu hingga sekarang dan kemungkinan pada masa akan datang—tragedi pembunuhan hakim terulang-ulang. Dipertanyakan, mengapa kekerasan hingga pembunuhan terhadap hakim seakan menjadi fenomena laten? Mengapa bara api kebiadaban tak kunjung dapat dipadamkan tuntas?
Layak dipahami bahwa hakim adalah profesi yang diemban seseorang karena ilmu dan kepercayaan yang diberikan oleh negara untuk mengadili kasus-kasus yang dihadapkan kepadanya melalui lembaga pengadilan. Pada posisi dan fungsi demikian, hakim bertanggung jawab kepada negara. Apa yang mesti dilakukannya harus sesuai dengan hukum negara. Hukum negara dijadikan sarana utama mengadili setiap kasus yang dimintakan keadilan kepadanya.
Dalam posisi dan fungsi sebagai aparatur negara, penegak hukum negara, dan penentu keadilan bagi para pihak beperkara, sikap dan perilaku hakim telah jelas rambu-rambunya. Hukum acara dan kelengkapan sarana-prasarana sidang di dalam pengadilan telah disediakan agar proses peradilan berjalan fair, aman, nyaman, dan independen sehingga mampu dihasilkan vonis berkualitas. Kualitas keadilan hakim haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada para pihak beperkara, kepada masyarakat, bangsa, dan negara hingga puncaknya pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada sisi lain, kiranya wajib dipahami bahwa hakim adalah makhluk sosial. Pengadilan, selain eksis sebagai lembaga hukum, lembaga kekuasaan kehakiman, tetapi juga lembaga sosial, lembaga kemanusiaan, bahkan lembaga budaya. Karena itu, wajar bila banyak pihak menaruh harapan tinggi kepada hakim dan pengadilan atas perannya dalam mewujudkan keadilan sosial.
Para ahli sosiologi hukum-seperti: Satjipto Rahardjo (2010)-teramat sering mendorong agar MA aktif melibatkan diri dalam proses membangun masyarakat Indonesia, yakni masyarakat yang hidup dalam suasana damai (minim konflik) ataupun kalau ada konflik dapat diselesaikan dengan mudah, murah, cepat, dan tuntas. MA dan jajaran kekuasaan kehakiman mestinya mampu menjalankan fungsi pembangunan moralitas, aspek sosial-kebangsaan dan kesejahteraan lahir-batin, melalui kebijakan-kebijakan dan vonis-vonis hakim berkualitas.
Dalam lintas perjalanan waktu tercatat bahwa peran hakim dan pengadilan dalam masalah-masalah sosial-kebangsaan telah mengalami perubahan signifikan. Ambil contoh, peralihan dari abad ke-19 masuk abad ke-20. Seiring dengan semakin kuatnya paham liberalisme, legalisme, positivisme, maka hakim dan pengadilan tergiring masuk ke wilayah tertutup (terisolasi) menjadi "corong undang-undang".
Hakim dan pengadilan rentan menjadi bagian atau kepanjangan tangan kekuasaan lain (eksekutif, legislatif, politik, militer, pebisnis, dan lembaga-lembaga lainnya). Dalam konfigurasi demikian, maka rakyat cenderung berada dalam posisi marginal. Beperkara secara vertikal antara rakyat berhadapan dengan penguasa, maka kecenderungan kekalahan pada rakyat. Rakyat menjerit, menangis, meronta-ronta ketika kezaliman ditimpakan oleh hakim melalui vonisnya. Apa mau dikata, the have always come out ahead, kata Marc Galanter.
Dalam pada itu, ketika konflik horizontal terjadi antarpemegang kekuasaan, pelaku bisnis, atau pengendali kekuatan dibawa ke dalam ruang sidang pengadilan, maka peluang terjadi tragedi pada seorang hakim semakin tinggi. Bukan hal baru dan bukan mengada-ada bahwa para pihak beperkara akan menggunakan segala macam cara untuk memenangkan perkaranya. Suap-menyuap, teror, tindak kekerasan, hingga pembunuhan rentan dihadapi hakim.
Fenomena buruk terus berlanjut ketika keterisolasian hakim dan pengadilan berkembang ke arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Di situ, hakim memutus perkara semata-mata berdasarkan tafsir subjektif atas fakta maupun hukumnya, jarang mempertimbangkan suara hati, denyut jantung, dan tarikan nafas masyarakat. Pada perkembangan demikian, hakim dan pengadilan menjadi lembaga aneh, asing, dan menakutkan bagi masyarakat.
Kalau di abad ke-19, hakim dan pengadilan dikendalikan kaum borjuis, kemudian di abad ke-20 hakim dan pengadilan dikendalikan politisi dan pebisnis, tampaknya di abad ke-21 hakim dan pengadilan dikendalikan tiga kekuatan sekaligus, yakni pebisnis, politisi, dan kekuatan kepolisian.
Tragedi hakim Jamaluddin boleh jadi merupakan potret posisi dan fungsi riil hakim dan pengadilan di Indonesia saat ini. Mudah-mudahan misteri dan kabut tebal yang menyelimutinya segera dapat disibakkan sehingga masyarakat terbuka matanya terhadap potret hakim dan pengadilan di Indonesia yang sebenarnya. Wallahu’alam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
HAKIM Pengadilan Negeri (PN) Medan Jamaluddin tewas di mobil miliknya. Jasadnya ditemukan di area kebun sawit, Desa Sukarame, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ada luka mencurigakan di lehernya (Jumat, 29/11/2019).
Hingga saat ini kepolisian belum bisa memastikan apakah luka itu sebagai indikasi pembunuhan dan sebab kematiannya. Hasil autopsi masih ditunggu. Tersebar kabar bahwa Jamaluddin sempat menerima telepon di pagi hari sebelum dia ditemukan tak bernyawa. Namun, panggilan telepon itu misterius alias tak diketahui dari siapa.
Menurut Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI), peristiwa kematian Jamaluddin merupakan bentuk lemahnya jaminan keamanan dan keselamatan para hakim. Seharusnya hakim memperoleh jaminan keamanan sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (MA).
Negara harus hadir memberikan jaminan keamanan bagi hakim agar dapat tenang menjalankan tugasnya memberikan keadilan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Karena itu, PP IKAHI mendesak Kapolri agar mendukung upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian Kota Medan dalam mengungkap penyebab di balik dugaan terbunuhnya Jamaluddin.
Pasti. Siapa pun menyayangkan dan mengutuk keras atas tragedi tersebut. Kita prihatin. Kita sedih. Namun, seakan tak berdaya mencegah terulangnya kasus-kasus serupa. Dalam perjalanan waktu—sejak dulu hingga sekarang dan kemungkinan pada masa akan datang—tragedi pembunuhan hakim terulang-ulang. Dipertanyakan, mengapa kekerasan hingga pembunuhan terhadap hakim seakan menjadi fenomena laten? Mengapa bara api kebiadaban tak kunjung dapat dipadamkan tuntas?
Layak dipahami bahwa hakim adalah profesi yang diemban seseorang karena ilmu dan kepercayaan yang diberikan oleh negara untuk mengadili kasus-kasus yang dihadapkan kepadanya melalui lembaga pengadilan. Pada posisi dan fungsi demikian, hakim bertanggung jawab kepada negara. Apa yang mesti dilakukannya harus sesuai dengan hukum negara. Hukum negara dijadikan sarana utama mengadili setiap kasus yang dimintakan keadilan kepadanya.
Dalam posisi dan fungsi sebagai aparatur negara, penegak hukum negara, dan penentu keadilan bagi para pihak beperkara, sikap dan perilaku hakim telah jelas rambu-rambunya. Hukum acara dan kelengkapan sarana-prasarana sidang di dalam pengadilan telah disediakan agar proses peradilan berjalan fair, aman, nyaman, dan independen sehingga mampu dihasilkan vonis berkualitas. Kualitas keadilan hakim haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada para pihak beperkara, kepada masyarakat, bangsa, dan negara hingga puncaknya pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada sisi lain, kiranya wajib dipahami bahwa hakim adalah makhluk sosial. Pengadilan, selain eksis sebagai lembaga hukum, lembaga kekuasaan kehakiman, tetapi juga lembaga sosial, lembaga kemanusiaan, bahkan lembaga budaya. Karena itu, wajar bila banyak pihak menaruh harapan tinggi kepada hakim dan pengadilan atas perannya dalam mewujudkan keadilan sosial.
Para ahli sosiologi hukum-seperti: Satjipto Rahardjo (2010)-teramat sering mendorong agar MA aktif melibatkan diri dalam proses membangun masyarakat Indonesia, yakni masyarakat yang hidup dalam suasana damai (minim konflik) ataupun kalau ada konflik dapat diselesaikan dengan mudah, murah, cepat, dan tuntas. MA dan jajaran kekuasaan kehakiman mestinya mampu menjalankan fungsi pembangunan moralitas, aspek sosial-kebangsaan dan kesejahteraan lahir-batin, melalui kebijakan-kebijakan dan vonis-vonis hakim berkualitas.
Dalam lintas perjalanan waktu tercatat bahwa peran hakim dan pengadilan dalam masalah-masalah sosial-kebangsaan telah mengalami perubahan signifikan. Ambil contoh, peralihan dari abad ke-19 masuk abad ke-20. Seiring dengan semakin kuatnya paham liberalisme, legalisme, positivisme, maka hakim dan pengadilan tergiring masuk ke wilayah tertutup (terisolasi) menjadi "corong undang-undang".
Hakim dan pengadilan rentan menjadi bagian atau kepanjangan tangan kekuasaan lain (eksekutif, legislatif, politik, militer, pebisnis, dan lembaga-lembaga lainnya). Dalam konfigurasi demikian, maka rakyat cenderung berada dalam posisi marginal. Beperkara secara vertikal antara rakyat berhadapan dengan penguasa, maka kecenderungan kekalahan pada rakyat. Rakyat menjerit, menangis, meronta-ronta ketika kezaliman ditimpakan oleh hakim melalui vonisnya. Apa mau dikata, the have always come out ahead, kata Marc Galanter.
Dalam pada itu, ketika konflik horizontal terjadi antarpemegang kekuasaan, pelaku bisnis, atau pengendali kekuatan dibawa ke dalam ruang sidang pengadilan, maka peluang terjadi tragedi pada seorang hakim semakin tinggi. Bukan hal baru dan bukan mengada-ada bahwa para pihak beperkara akan menggunakan segala macam cara untuk memenangkan perkaranya. Suap-menyuap, teror, tindak kekerasan, hingga pembunuhan rentan dihadapi hakim.
Fenomena buruk terus berlanjut ketika keterisolasian hakim dan pengadilan berkembang ke arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Di situ, hakim memutus perkara semata-mata berdasarkan tafsir subjektif atas fakta maupun hukumnya, jarang mempertimbangkan suara hati, denyut jantung, dan tarikan nafas masyarakat. Pada perkembangan demikian, hakim dan pengadilan menjadi lembaga aneh, asing, dan menakutkan bagi masyarakat.
Kalau di abad ke-19, hakim dan pengadilan dikendalikan kaum borjuis, kemudian di abad ke-20 hakim dan pengadilan dikendalikan politisi dan pebisnis, tampaknya di abad ke-21 hakim dan pengadilan dikendalikan tiga kekuatan sekaligus, yakni pebisnis, politisi, dan kekuatan kepolisian.
Tragedi hakim Jamaluddin boleh jadi merupakan potret posisi dan fungsi riil hakim dan pengadilan di Indonesia saat ini. Mudah-mudahan misteri dan kabut tebal yang menyelimutinya segera dapat disibakkan sehingga masyarakat terbuka matanya terhadap potret hakim dan pengadilan di Indonesia yang sebenarnya. Wallahu’alam.
(thm)