Omnibus Law dan Harapan Mendongkrak Investasi
A
A
A
Mirah MFahmid
Peneliti Centre of Food,Energy and Sustainable Development, INDEF
PRESIDEN Joko Widodo mencanangkan konsep hukum perundang-undangan yang akan menjadi payung hukum besar dengan tujuan untuk merampingkan regulasi-regulasi yang tersedia saat ini dari sisi kuantitas. Konsep hukum tersebut bernama Omnibus Law yang akan berfokus pada UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Hal ini terjadi karena keresahan atas banyak regulasi yang tumpang-tindih baik dari undang-undang sektoral maupun undang-undang yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Tumpang-tindih peraturan ini kemudian menjadi satu di antara kendala dalam menarik perhatian investor untuk menanam modal di berbagai sektor. Akibat itu, investasi melambat dan pertumbuhan ekonomi pun akan lesu. Dengan penerapan Omnibus Law, iklim investasi Indonesia diharapkan dapat membaik. Investasi dipercaya mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terlebih jika investasi tersebut bergerak pada sektor manufaktur (sekunder). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan total realisasi investasi pada sektor manufaktur cenderung menurun, namun terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada sektor jasa (tersier).
Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah sektor jasa hanya mampu menyerapskilled labouryang dapat bersaing di pasar. Sedangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) saat ini masih belum mampu bersaing dalam mengupayakan suatu produktivitas yang tinggi secara efisien dikarenakan oleh banyak faktor satu di antaranya pendidikan. Jika ingin menggenjot investasi pada sektor jasa, maka penyediaan pelbagai pelatihan dasar hingga peningkatan kualitas pendidikan vokasi harus terus diupayakan sehingga mampu menciptakan kualitas SDM unggul yang memiliki nilai tambah dan mampu bersaing. Selain itu, kreativitas SDM juga perlu diasah sehingga mampu mengolaborasikan ilmu pengetahuan sains dengan kecanggihan teknologi saat ini.
Di lain sisi, sektor manufaktur dinilai mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan sektor jasa. Pada Triwulan III/2019 sektor manufaktur mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 18,93 juta orang atau setara dengan 14,96% terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Walaupun demikian, saat ini kondisi sektor manufaktur Indonesia sedang tidak bergairah karena beberapa faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan nilai total realisasi investasi pada sektor tersebut terus menurun sejak 2017.
Guncangan eksternal yang melambankan kinerja sektor manufaktur satu di antaranya isu perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang ternyata tidak berdampak positif secara signifikan bagi Indonesia. Di China beberapa perusahaan multinasional telah mengumumkan rencana dan/atau akan mempertimbangkan untuk menarik investasinya lalu bergeser ke negara Asia lainnya satu di antaranya Vietnam. Sedangkan Indonesia tidak menjadi tujuan dalam pengalihan investasi tersebut. Secara garis besar hal ini dapat kita telusuri dari peringkat Indeks Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business, EoDB) antara Indonesia dan Vietnam. Berdasarkan laporan EoDB 2019, Indonesia berada pada posisi ke-73, sedangkan Vietnam pada posisi ke-69. Satu di antara indikator EoDB yang nilainya cukup timpang antara dua negara tersebut adalahResolving Insolvencydi mana Vietnam memperoleh skor 133, sedangkan Indonesia hanya mendapatkan skor 36.
Asumsi yang diukur pada variabel ini adalah aspek kerangka hukum dan efisiensi penanganan kepailitan. Selain dari jangka waktu proses penyelesaian masalah dan biaya yang perlu dikeluarkan dalam setiap kasus pailit, peraturan hukum di Indonesia perlu dirapikan kembali agar dapat memberikan kepastian dan jaminan bagi calon pelaku usaha (investor) beserta seluruh lembaga peminjam serta penjamin yang terikat dalam suatu kontrak kerja sama agar tidak ada pihak yang dirugikan jika terjadi pailit,insolvency, hingga likuidasi.
Omnibus Law diharapkan dapat membantu dalam penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya melalui jalur investasi sehingga mendorong pemerataan pembangunan. Data pertumbuhan investasi Triwulan III/2019 menunjukkan ada peningkatan investasi yang lebih besar di luar Pulau Jawa sebesar 23,5% yoy, sedangkan untuk Pulau Jawa meningkat sebesar 14,4% yoy. Tentu hal ini menjadi sumber optimisme dalam melakukan pemerataan pembangunan walaupun lokasi proyek terbesar untuk 2019 masih terfokus di Pulau Jawa.
Ke depan investasi yang masuk perlu diarahkan ke arah sektor manufaktur agar dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak serta proyek pembangunannya dapat diarahkan ke luar Pulau Jawa. Dengan sinkronisasi dan harmonisasi aturan hukum yang berlaku secara sektoral dan pada tingkat pemerintah daerah, serta koordinasi dan kolaborasi antar kementerian/lembaga, hingga pemangku kepentingan lainnya, maka menarik perhatian investor dan melakukan pemerataan pembangunan di Indonesia akan menjadi lebih mudah.
Peneliti Centre of Food,Energy and Sustainable Development, INDEF
PRESIDEN Joko Widodo mencanangkan konsep hukum perundang-undangan yang akan menjadi payung hukum besar dengan tujuan untuk merampingkan regulasi-regulasi yang tersedia saat ini dari sisi kuantitas. Konsep hukum tersebut bernama Omnibus Law yang akan berfokus pada UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Hal ini terjadi karena keresahan atas banyak regulasi yang tumpang-tindih baik dari undang-undang sektoral maupun undang-undang yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Tumpang-tindih peraturan ini kemudian menjadi satu di antara kendala dalam menarik perhatian investor untuk menanam modal di berbagai sektor. Akibat itu, investasi melambat dan pertumbuhan ekonomi pun akan lesu. Dengan penerapan Omnibus Law, iklim investasi Indonesia diharapkan dapat membaik. Investasi dipercaya mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terlebih jika investasi tersebut bergerak pada sektor manufaktur (sekunder). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan total realisasi investasi pada sektor manufaktur cenderung menurun, namun terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada sektor jasa (tersier).
Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah sektor jasa hanya mampu menyerapskilled labouryang dapat bersaing di pasar. Sedangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) saat ini masih belum mampu bersaing dalam mengupayakan suatu produktivitas yang tinggi secara efisien dikarenakan oleh banyak faktor satu di antaranya pendidikan. Jika ingin menggenjot investasi pada sektor jasa, maka penyediaan pelbagai pelatihan dasar hingga peningkatan kualitas pendidikan vokasi harus terus diupayakan sehingga mampu menciptakan kualitas SDM unggul yang memiliki nilai tambah dan mampu bersaing. Selain itu, kreativitas SDM juga perlu diasah sehingga mampu mengolaborasikan ilmu pengetahuan sains dengan kecanggihan teknologi saat ini.
Di lain sisi, sektor manufaktur dinilai mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan sektor jasa. Pada Triwulan III/2019 sektor manufaktur mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 18,93 juta orang atau setara dengan 14,96% terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Walaupun demikian, saat ini kondisi sektor manufaktur Indonesia sedang tidak bergairah karena beberapa faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan nilai total realisasi investasi pada sektor tersebut terus menurun sejak 2017.
Guncangan eksternal yang melambankan kinerja sektor manufaktur satu di antaranya isu perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang ternyata tidak berdampak positif secara signifikan bagi Indonesia. Di China beberapa perusahaan multinasional telah mengumumkan rencana dan/atau akan mempertimbangkan untuk menarik investasinya lalu bergeser ke negara Asia lainnya satu di antaranya Vietnam. Sedangkan Indonesia tidak menjadi tujuan dalam pengalihan investasi tersebut. Secara garis besar hal ini dapat kita telusuri dari peringkat Indeks Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business, EoDB) antara Indonesia dan Vietnam. Berdasarkan laporan EoDB 2019, Indonesia berada pada posisi ke-73, sedangkan Vietnam pada posisi ke-69. Satu di antara indikator EoDB yang nilainya cukup timpang antara dua negara tersebut adalahResolving Insolvencydi mana Vietnam memperoleh skor 133, sedangkan Indonesia hanya mendapatkan skor 36.
Asumsi yang diukur pada variabel ini adalah aspek kerangka hukum dan efisiensi penanganan kepailitan. Selain dari jangka waktu proses penyelesaian masalah dan biaya yang perlu dikeluarkan dalam setiap kasus pailit, peraturan hukum di Indonesia perlu dirapikan kembali agar dapat memberikan kepastian dan jaminan bagi calon pelaku usaha (investor) beserta seluruh lembaga peminjam serta penjamin yang terikat dalam suatu kontrak kerja sama agar tidak ada pihak yang dirugikan jika terjadi pailit,insolvency, hingga likuidasi.
Omnibus Law diharapkan dapat membantu dalam penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya melalui jalur investasi sehingga mendorong pemerataan pembangunan. Data pertumbuhan investasi Triwulan III/2019 menunjukkan ada peningkatan investasi yang lebih besar di luar Pulau Jawa sebesar 23,5% yoy, sedangkan untuk Pulau Jawa meningkat sebesar 14,4% yoy. Tentu hal ini menjadi sumber optimisme dalam melakukan pemerataan pembangunan walaupun lokasi proyek terbesar untuk 2019 masih terfokus di Pulau Jawa.
Ke depan investasi yang masuk perlu diarahkan ke arah sektor manufaktur agar dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak serta proyek pembangunannya dapat diarahkan ke luar Pulau Jawa. Dengan sinkronisasi dan harmonisasi aturan hukum yang berlaku secara sektoral dan pada tingkat pemerintah daerah, serta koordinasi dan kolaborasi antar kementerian/lembaga, hingga pemangku kepentingan lainnya, maka menarik perhatian investor dan melakukan pemerataan pembangunan di Indonesia akan menjadi lebih mudah.
(mhd)