Sertifikasi Pranikah Inkonstitusional

Kamis, 28 November 2019 - 07:00 WIB
Sertifikasi Pranikah Inkonstitusional
Sertifikasi Pranikah Inkonstitusional
A A A
Bukhori
Anggota Komisi VIII DPR RI

RENCANA
pemerintah mewajibkan sertifikasi pranikah menuai kontroversi. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy selaku inisiator program ini sesumbar tidak akan mengizinkan pasangan yang tidak memiliki sertifikat pranikah untuk menikah. Wacana tersebut direncanakan berlaku tahun depan. Publik pun berang. Pemerintah dinilai terlalu jauh mencampuri urusan pribadi warganya. Alih-alih mengurangi angka perceraian, kewajiban sertifikasi pranikah ini dikhawatirkan membuka ruang perzinaan kian marak.

Menikah adalah hak konstitusional warga negara yang dilindungi konstitusi. Ketentuan Pasal 28B ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Sebagai hak asasi ini hal yang tidak bisa diganggu gugat. Proses menikah tidak boleh dihambat, apalagi dipersulit dengan urusan birokrasi.

Dalam Islam, menyegerakan menikah adalah hal yang disunahkan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Hatim al-Asham yang dikutip dalam Hilyatul Auliya, "Tergesa-gesa bagian dari kelakuan syaitan kecuali dalam lima hal, yaitu memberi makan tamu, mengubur jenazah, menikahkan anak perawan, membayar hutang, dan bertaubat dari segala dosa."

Islam memandang, menikah adalah ibadah yang menjadi satu-satunya sarana untuk melestarikan keberadaan manusia di dunia hingga akhirat. Dalam menjalankan ibadah tersebut, bagi ajaran Islam, wajib dimudahkan.

Pemerintah berdalih, sertifikasi pranikah akan bermanfaat dan berguna sebagai bekal bagi pasangan dalam berkeluarga. Selain itu, sertifikasi pranikah dimaksudkan untuk menekan angka perceraian di Indonesia yang setiap tahun kian meningkat. Faktanya, berdasarkan data dari laman Mahkamah Agung (MA), dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2015-2018) tren perkara putusan (inkracht) perceraian di seluruh Indonesia mengalami peningkatan. Misalnya, jumlah perkara pengajuan cerai di 29 Pengadilan Tinggi Agama tahun 2015 total 394.246 perkara. Pada 2016 meningkat 403.070 perkara dan pada 2017 mencapai 415.848 perkara. Data terakhir pada 2018 angkanya mencapai 419.268 perkara.

Penyebab Perceraian

Tentu tak ada yang berharap ketika melangsungkan pernikahan, mereka nanti akan bercerai. Bagaimanapun mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis menjadi dambaan semua orang. Berbagai persoalan, seperti seringnya bertengkar, hilangnya rasa kecocokan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), faktor ekonomi, hingga perselingkuhan, sering jadi sumber masalah keretakan hubungan rumah tangga yang berujung perceraian.

Sejatinya, setiap pasangan suami-istri akan berupaya semaksimal agar kehidupan rumah tangganya tidak berakhir pada perceraian. Sebab, semua agama apa pun memandang bahwa perceraian adalah tindakan yang tidak baik, terutama akibatnya terhadap anak-anaknya. Misalnya, dalam agama Islam, populer dikenal istilah "Perceraian merupakan sesuatu/perkara yang dihalalkan, tetapi Allah murka." (Al-hadits).

Penyebab perceraian berdasarkan data 29 Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia periode 2017 menunjukkan ada beberapa hal, di antaranya karena zina (1.896 perkara), mabuk (4.264 perkara), madat (1.189 perkara), judi (2.179 perkara), meninggalkan salah satu pihak (70.958 perkara), dipenjara (4.898 perkara), poligami (1.697 perkara), kekerasan dalam rumah tangga (8.453 perkara), cacat badan (432 perkara), perselisihan dan pertengkaran terus menerus (152.575 perkara), kawin paksa (1.976 perkara), murtad (600 perkara), ekonomi (105.266 perkara), dan lain-lain (7.799 perkara).

Berdasarkan data di atas, terlihat faktor penyebab perceraian lebih didominasi alasan/faktor perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang menempati jumlah terbanyak. Terbanyak kedua adalah faktor ekonomi. Sedangkan urutan ketiga adalah meninggalkan salah satu pihak. Padahal harus ada alasan-alasan kuat menurut hukum dalam mengajukan proses perceraian. Alasan-alasan ini diatur Pasal 39-41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974. Khusus bagi pasangan suami istri beragama Islam, ada dua alasan tambahan, yakni suami melanggar taklik-talak (ikrar/perjanjian talak yang digantungkan keadaan tertentu setelah pernikahan) dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam berumah tangga.

Rekomendasi Penting

Tren perceraian dan faktor penyebabnya tersebut menunjukkan persoalan ketidakharmonisan rumah tangga sangat kompleks. Hal itu didorong pada ego dan karakter masing-masing pasangan. Persoalan ego dan karakter itu tentu tidak bisa diselesaikan dengan secarik sertifikat pranikah.

Ada dua rekomendasi yang patut dipertimbangkan pemerintah. Pertama, program pembinaan keharmonisan keluarga. Sebenarnya sudah ada nomenklatur program kursus calon pengantin yang dimiliki Kementerian Agama, namun pada praktiknya, program ini tidak berjalan efektif dan cenderung formalitas. Padahal seharusnya program pembinaan keharmonisan keluarga tidak hanya dilakukan sebelum menikah, tetapi juga setelah menikah.

Karena bagaimanapun, setiap usia pernikahan selalu ada tantangan baru yang harus dihadapi. Berbeda kondisi antara pasangan pengantin baru yang masih melewati masa bulan madu dengan pasangan yang sudah memiliki anak. Berbeda pula antara pasangan yang baru memiliki satu anak bayi dengan pasangan yang anak-anaknya sudah remaja dan dewasa. Demikian seterusnya, hidup berumah tangga itu dinamis dan selalu ada tantangan baru yang harus dihadapi dengan bijak dan tepat. Sayangnya, tidak ada program pembinaan yang spesifik pada setiap fase kehidupan berumah tangga.

Kedua, adanya mediator atau konselor sosial. Tingginya angka perceraian salah satunya disebabkan kurang adanya pihak yang mampu menjadi mediator saat pasangan suami istri mengalami konflik. Perceraian banyak terjadi dalam situasi emosi dan ego yang sangat tinggi sehingga kurang kendali diri. Padahal apabila pasangan suami istri bersedia melakukan bimbingan, konseling, atau mediasi, hal ini akan sangat membantu mereka untuk menemukan solusi. Budaya melakukan bimbingan, konseling, dan mediasi ini belum terbentuk pada masyarakat kita sehingga keputusan cerai sering kali bercorak terlalu sentimentil atau emosional. Diperlukan pihak ketiga yang dipercaya untuk memediasi konflik mereka sehingga bisa menemukan jalan keluar yang bijaksana.

Peran mediator seperti inilah seharusnya dihadirkan pemerintah. Melibatkan pihak swasta, ormas, lembaga swadaya masyarakat, serta tokoh masyarakat untuk menjadi konselor sosial atau mediator yang terpercaya dalam membantu mengurai persoalan rumah tangga, jelas sangat efektif ketimbang mengeluarkan sertifikasi pranikah.

Untuk itu, wacana sertifikasi pranikah sudah seharusnya ditinjau ulang. Pemerintah diharapkan lebih cerdas dalam mencanangkan program penguat keharmonisan rumah tangga. Bagaimanapun persoalan ketahanan keluarga merupakan dinamika hidup yang tidak bisa dihindari. Namun, program sertifikasi ini tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga mubazir. Mencanangkan sertifikasi pranikah sama saja dengan membatasi hak warga untuk menjalankan ibadah. Bagaimanapun sertifikasi pranikah bertentangan dengan prinsip agama dan hanya akan menyelesaikan persoalan di per
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 4.4075 seconds (0.1#10.140)