Strategi Industri Keuangan dalam Optimalisasi Media Sosial

Jum'at, 22 November 2019 - 07:05 WIB
Strategi Industri Keuangan...
Strategi Industri Keuangan dalam Optimalisasi Media Sosial
A A A
Akbar Suwardi

Pengamat dan Praktisi Perbankan

KEHIDUPAN sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini tidak bisa lepas dari interaksi dengan media sosial. Riset yang dilakukan We Are Social dalam laporanDigital Around the World 2019menunjukkan bahwa dari total 268,2 juta penduduk Indonesia, 150 juta di antaranya adalah pengguna media sosial. Dengan demikian penetrasi media sosial di Indonesia mencapai 56%. Ini artinya lebih dari separuh penduduk Indonesia telah "melek" media sosial.

Tingginya angka penggunaan media sosial ini berbeda dengan kondisi inklusi keuangan (financial inclusion). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, pada 2016 inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 45–50%. Dari data BI ini tergambar bahwa tingkat pemahaman masyarakat atas produk keuangan (tidak hanya produk perbankan, tetapi juga jenis keuangan lain seperti asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum, pasar modal, baik saham maupun obligasi, serta industri syariah) di Indonesia masih tertinggal cukup jauh.

Mengacu pada target yang ditetapkan pemerintah, yaitu tingkat inklusi keuangan sebesar 75%, potensi perkembangan bisnis jasa keuangan di Tanah Air masih sangat besar. Bahkan bisnis penjualan keuangan terintegrasi seperti produk perbankan, asuransi,wealth managementhingga produk keuangan syariah masih memiliki peluang yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembang.

Hasil survei Harvard Business Review pada 2010 yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan ekspektasi (customer expectations), sebanyak 50% lembaga keuangan menggunakan media sosial, 25% berencana akan menggunakan media sosial, dan sisanya 22% tidak menggunakan media sosial.

Tak ada yang meragukan betapa penting peran media sosial di era digital ini, termasuk dalam menghubungkan masyarakat dengan produk dan jasa keuangan. Godey (2016) menyatakan bahwa media sosial adalah cara yang paling tepat bagi konsumen atau masyarakat untuk belajar lebih banyak tentang lembaga keuangan dan memperdalam hubungan dengan institusi keuangan.

Ditambah fakta besarnya jumlah masyarakat Indonesia yang merupakan usia produktif serta terus bertambahnya penduduk generasi milenial yang menjadi pengguna media sosial, ini sebuah potensi besar bagi pelaku industri keuangan apabila dapat mengoptimalkan media sosial untuk menggarapcustomer needssehingga tercapailong term customer value.

Strategi Optimalisasi

Tentunya banyak teori yang dapat dilakukan oleh perusahaan industri keuangan untuk mengoptimalkan keberadaan media sosial yang dimiliki. Salah satunya yang telah dikembangkan oleh Hazarika dan Nag (2014). Strategi ini dinilai sesuai dengan tujuan untuk dapat menggarapcustomer needsbagi pelaku industri keuangan. Ada empat langkah yang bisa ditempuh.Pertama, inisiasi (initiation). Inisiasi berupa upaya mengidentifikasiplatformmedia sosial yang relevan, baik lewatsmartphonemaupunweb.

Di Indonesia, Youtube, Facebook, Instagram, dan Twitter digunakan lebih dari 50% penduduk usia 16-64 tahun (laporan Hootsuite, 2019). Oleh karena itu empat platform media sosial tersebut perlu dieksplorasi. Kolaborasi konten antarplatform media sosial juga perlu ditingkatkan. Sebelum memilih alat atauplatform, media sosial perusahaan perlu memiliki visi dan tujuan. Setelah mendapatkanplatformmedia sosial yang menjadi target, perusahaan perlu memonitor dan menyaring informasi yang didapatkan dari media sosial.




Kedua, pengamatan (observation). Pengamatan ini dilakukan dengan cara mengambilinsightdengan mendengarkan komunikasi konsumen dan konsumen pesaing serta mendengarkaninputdari berbagai komunitas daring. Alat monitor media sosial ataudigitalcrawler’smendengarkan komunitas media sosial dengan mendengarkan kriteria seperti kata-kata kunci, sentimen, volume, demografi. Perusahaan dapat memanfaatkanproviderseperti Hoostsuite, Radian, Sysomos, Attensity, Cisco, Sproutsocial, atau Salesforce.

Ketiga, keterlibatan (involvement). Ini berkaitan perlunya melibatkan forum untuk membangun komunitas dan mengedukasi konsumen tentang topik dan peraturan keuangan. Tahap ini juga masih dapat dibantu dengan perusahaan di langkah kedua. Contoh sukses dari implementasi ini adalah Bank Fidor di Jerman. Bank ini memiliki The Fidor Smart Community sebagai forum bagi sekitar 950.000 anggota untuk membahas masalah keuangan sambil bertukar tips menabung atau mengevaluasi produk.

Keempat, asimilasi (assimilation). Proses ini berupa pengintegrasian media sosial dengan ekosistem untuk mendapatkan 360 derajat profil konsumen dan menggunakan analisis media sosial untuk mendapatkaninsightpenting.

Program Best Practices

Selain strategi yang telah dijelaskan, tentu diperlukan juga tahapan programBest Practicesyang mudah diimplementasikan. Dalam hal ini setidaknya terdapat empat program yang dapat dilakukan sesuai dengan kajian dari Hazarika dan Nag.

Pertama, mendefinisikan ulang (redefine) tujuan memiliki media sosial. Sebelum memilihplatformmedia sosial dan alat bantu analisis, perusahaan harus memiliki tujuan dan sasaran dari penggunaan media sosial. Selama ini media sosial digunakan lebih banyak untuk melayani komplain nasabah, promosi produk, dan pembentukan citra perusahaan. Namun tantangannya adalah bagaimana hal tersebut dapat dibuat lebih optimal dengan menangkap kebutuhan produk baru nasabah dan mengintegrasikannya: penjualan.

Oleh karena itu perusahaan perlu menambah fungsi media sosial untuk lebih mengintegrasikan informasi kebutuhan nasabah meng-grabkebutuhan produk nasabah baru dan mengintegrasikan penjualan. Salah satu cara yang penulis tawarkan adalah dengan menggunakanbig datadari media sosial.




Kedua, pengadaan alat ukur dan infrastruktur informasi teknologi. Perusahaan membutuhkan alat ukur baru untuk mengukur efektivitas strategi sosial yang disesuaikan dengan tujuan bank. Setelah alat ukur ditetapkan, perusahaan perlu menganalisis data, mengidentifikasi konsumen yang paling penting, menentukan di mana konsumen berbicara tentang produk dan layanan bank, dan menemukan apa yang dikatakan konsumen. Proses ini nantinya yang akan mampu meningkatkan desain produk dan layanan yang sesuai dan diinginkan konsumen.

Selain alat ukur, keberhasilan media sosial membutuhkan arsitektur TI yang kuat yang dapat memanfaatkan informasi konsumen dalam konteks pengembangan data sosial untuk memperdalam hubungan konsumen. Hal ini memungkinkan untuk menghadirkan satu wajah bagi konsumen, mitra dan rekanan, yang mencakup semua bidang, dari perbankan ritel danwholesale bankinghingga manajemen kekayaan (wealth management).




Ketiga, pembentukan Social Customer Relationship Management (SCRM). SRCM akan menjadi tahap selanjutnya bagi perusahaan, karena memungkinkan untuk memantau dan menyimpulkan makna dari berbagai tipe data dan memersonalisasi penawaran sesuai dengan kebutuhan konsumen masing-masing.

Perusahaan dapat mengumpulkan data yang mengungkapkan banyak hal tentang konsumen, seperti pola pengeluaran, pilihan investasi, tanggungan, dan tanggal penting seperti ulang tahun dan hari yang berkesan bagi nasabah. Menggabungkan pengetahuan ini dengan data sosial dapat menghasilkan grafik perilaku yang komprehensif dari konsumen yang menunjukkan dengan tepat kebutuhan dan keinginan, dan meramalkan produk dan layanan yang akan dibutuhkan dari waktu ke waktu untuk

memenuhi kebutuhan yang selalu berubah.




Keempat, Interactive Costumer Program. Pada prinsipKnow Your Customer(KYC), ke depannya perusahaan dapat menambah informasi mengenai akun media sosial dari nasabah serta fitur dan kesempatan nasabah lain membantu nasabah lain (consumer helping consumer).

Dengan Strategi Optimalisasi dan Program Best Practice, media sosial dapat juga digunakan oleh industri keuangan sebagaimarket intelligenceatau mengetahui kebutuhan jasa keuangan nasabah, mendorong inovasi produk baru,cross sellingproduk dalam satu grup, serta membangun interaksi nasabah.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1220 seconds (0.1#10.140)