Indonesia Negara Peraturan?

Kamis, 21 November 2019 - 08:15 WIB
Indonesia Negara Peraturan?
Indonesia Negara Peraturan?
A A A
Wicipto Setiadi
Dosen FH UPN “Veteran” Jakarta

NEGARA kita sudah kebanyakan peraturan dan negara ini bukan “negara peraturan”. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada acara Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Pimpinan Daerah yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri pada 13 November 2019 di Sentul, Bogor, Jawa Barat.

Pernyataan Presiden tersebut sebetulnya ada benarnya karena kenyataan yang terjadi pada saat ini jumlah regulasi di negara kita memang sudah terlalu banyak. Berdasarkan pangkalan data yang tersedia pada Peraturan.go.id, regulasi dalam bentuk undang-undang sebanyak 1.686, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) 180, peraturan pemerintah (PP) 4.551, peraturan presiden (perpres) 2.005, peraturan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 26, peraturan Bank Indonesia 144, dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 323. Ditambah pula peraturan menteri 14.457, peraturan lembaga pemerintah non kementerian 3.673; dan serta peraturan daerah 15.965.

Secara keseluruhan, regulasi kita di tingkat pusat maupun daerah berjumlah 43.010. Jumlah ini pun masih bisa bertambah karena belum semua peraturan menteri, peraturan LPNK dan peraturan daerah dimasukkan dalam pangkalan data Peraturan.go.id.

Kondisi regulasi pada saat ini, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, cukup memprihatinkan. Dari sisi kuantitas, keprihatinan ini terkait dengan jumlah regulasi yang terlalu banyak. Terlalu banyaknya regulasi berpotensi berpengaruh terhadap kualitas regulasi yang buruk dan mengarah pada terjadinya ketidakharmonisan, tumpang tindih, konflik antar-regulasi.

Regulasi yang buruk juga ikut memberikan kontribusi negatif bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh, satu sektor tertentu menjadi bermasalah dalam pelaksanaannya karena ada beberapa regulasi yang mengaturnya atau saling terkait. Karena diatur dalam beberapa regulasi, akibatnya akan terjadi konflik antar-regulasi.

Sebut saja pengaturan dalam bidang berusaha. Kalau seseorang mau berusaha pasti akan berhadapan dengan berbagai regulasi, ditambah lagi instansi yang menanganinya tidak hanya satu, tetapi ada beberapa. Dengan terlalu banyak regulasi dalam berusaha dan banyaknya instansi yang menanganinya, sudah barang tentu aktivitas berusaha menjadi tidak mudah. Kondisi semacam ini juga bisa terjadi pada sektor lain.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan regulasi terlalu banyak lahir di negara kita. Pertama, banyak orang mempunyai pemikiran semua masalah hukum dapat diselesaikan dengan dibuatnya regulasi. Padahal, masalah hukum yang timbul tidak harus diselesaikan dengan regulasi, tetapi mungkin cukup diselesaikan dengan instrumen lain.

Kedua, setiap pemeriksa atau penegak hukum (inspektorat jenderal, BPK, kepolisian, kejaksaan, hakim) dalam menjalankan tugas dan fungsinya selalu mempersoalkan ada atau tidaknya regulasi yang menjadi payung hukum. Apabila tidak ada regulasi sebagai payung hukumnya, semakin panjang masalahnya. Ketiga, dalam penentuan anggaran Kementerian Keuangan juga sering meloloskan atau tidak meloloskan anggaran kementerian/lembaga berdasarkan ada tidaknya regulasi sebagai payung hukum.

Jumlah regulasi yang terlalu banyak, yang sering juga disebut over regulated atau obesitas regulasi, dapat berakibat regulasi yang mengarah pada: 1) Pertentangan antara regulasi satu dengan regulasi lain; 2) tumpang tindih; 3) multitafsir; 4) tidak taat asas; 5) tidak efektif; 6) menciptakan beban yang tidak perlu; 7) menciptakan biaya tinggi.

Pemangkasan Regulasi

Untuk mengatasi terlalu banyaknya regulasi, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan inventarisasi regulasi yang bermasalah. Setelah inventarisasi lalu evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan regulasi eksisting (yang sudah ada). Opsi yang dilakukan terhadap regulasi eksisting yang bermasalah adalah penyederhanaan, pencabutan, dan penggabungan regulasi. Opsi ini harus dilakukan dengan cermat, analisis yang tepat, dan dikerjakan oleh tenaga-tenaga profesional yang berintegritas.

Dalam rangka meningkatkan kualitas regulasi, penyederhanaan regulasi menjadi hal yang sangat penting dan mendesak. Namun, harus diakui bahwa penyederhanaan regulasi bukanlah hal mudah karena tidak sekadar menyangkut perubahan rumusan pasal atau ayat semata, tetapi memerlukan pendekatan sistemik—baik substantif, kelembagaan, maupun kesadaran hukum. Selain itu, harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari para pemimpin negara, terutama presiden dan harus lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sektor atau daerah.

Metode penyederhanaan dilakukan dengan mengukur relevansi suatu regulasi dengan kriteria yang bersifat mendasar. Kriteria tersebut terkait dengan aspek legalitas, aspek kebutuhan dan aspek kemudahan prosedur (friendly). Aspek legalitas, ditujukan untuk meninjau apakah suatu regulasi dalam pengaturannya tidak ditemui adanya potensi multitafsir dalam perumusan normanya ataupun potensi konflik, duplikasi, inkonsistensi, bahkan tidak operasional.

Aspek kebutuhan, ditujukan untuk meninjau apakah suatu regulasi mempunyai kejelasan tujuan dan didasarkan oleh kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat maupun bagi penyelenggara negara. Adapun aspek kemudahan prosedur (friendly) ditujukan untuk meninjau apakah sebuah regulasi mudah dipahami dan dipatuhi serta tidak memberikan beban berlebihan kepada pihak-pihak yang terkena dampak langsung. Dengan kata-kata lain, tujuan regulasi dapat dicapai tanpa memberikan beban yang tidak perlu bagi kelompok yang terkena dampak pengaturan regulasi.

Terkait kelembagaan, idealnya yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyederhanaan regulasi, dalam arti yang lebih luas sekaligus reformasi regulasi adalah lembaga setingkat kementerian dengan kewenangan tunggal dan penuh mengingat tugas dan fungsi yang cukup berat. Tampaknya lembaga setingkat kementerian sudah tertutup karena kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin periode 2019-2024 sudah terbentuk.

Hal yang masih terbuka kemungkinannya adalah pembentukan badan/pusat legislasi nasional. Badan ini harus diberikan kewenangan tunggal dan penuh di bidang regulasi. Kepala dan jajaran di bawahnya harus diisi orang-orang profesional dan berintegritas. Tidak hanya jatah untuk menempatkan orang-orang partai politik. Kepala badan/pusat legislasi nasional merupakan jabatan setingkat menteri seperti sekretaris kabinet atau kepala KSP.Kantornya berada di lingkungan Istana Presiden dan mempunyai akses langsung kepada Presiden. Kewenangan yang ada di berbagai kementerian disatukan ke badan/pusat legislasi nasional, termasuk kewenangan regulasi yang ada di Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet.
Pendek kata, apabila pembentukan lembaga baru tersebut ditujukan untuk melakukan reformasi regulasi, maka harus menjadi lembaga yang kuat, berwibawa, mempunyai akses langsung kepada presiden dan berkantor dalam satu lingkungan dengan Kantor Kepresidenan. Agar menjadi lembaga yang kuat dan berwibawa maka perlu didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan berintegritas tinggi. SDM di bidang perancangan peraturan perundang-undangan merupakan ujung tombak atau arsitek pengembangan hukum nasional, khususnya dalam menyusun atau merancang regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kompetensi seorang perancang peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari kemampuannya dalam merancang atau merumuskan suatu masalah sosial kemasyarakatan ke dalam suatu norma hukum atau regulasi yang jelas dan tegas sehingga dapat dipahami dan mudah dalam pelaksanaan atau penerapannya oleh masyarakat. Selain kompetensi, integritas SDM perancang peraturan perundang-undangan juga sangat berperan. Setinggi apa pun kompetensinya tanpa diimbangi dengan integritas SDM yang tinggi akan menjadi tidak begitu signifikan. Selain itu, perlu disiapkan tools yang membantu dan memudahkan dalam penyusunan regulasi.

Penyusunan Regulasi ke Depan

Idealnya selama penyederhanaan regulasi dibarengi dengan moratorium usulan pembentukan regulasi baru karena jika tidak dikhawatirkan tetap akan terjadi tumpang tindih, ego sektoral, dan sebagainya. Moratorium regulasi pasti banyak yang tidak sepakat karena masih banyak lembaga yang mempunyai keinginan dibentuknya regulasi sebagai payung hukum. Bahkan ada pejabat yang ingin meninggalkan “warisan” regulasi pada masa memimpin lembaga tersebut.

Kalau pun akan diusulkan regulasi baru maka perlu dilakukan pendekatan baru yang berbeda dengan pendekatan sebelumnya. Tidak sekadar kuantitas (banyaknya) regulasi, tetapi lebih diarahkan pada kualitas regulasi demi terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Penyusunan regulasi baru sebaiknya dilakukan dengan pendekatan: 1) mengurangi tumpang tindih regulasi; 2) berorientasi pada tujuan; 3) kemudahan prosedur; 4) memangkas regulasi yang bermasalah; 5) paradigma “semua boleh kecuali yang dilarang”. Dengan demikian, pembentukan regulasi baru dimungkinkan setelah melalui kajian atau analisis yang mendalam baik dari segi kemanfaatan maupun biayanya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0857 seconds (0.1#10.140)