Qua Vadis Pengawasan Inspektorat
A
A
A
Muhamad Saleh
Peneliti PSHK FH UII, Staf Hukum Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah
PEMERINTAH pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beberapa waktu lalu menyelenggarakan sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 (PP 72 Tahun 2019) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18/2016 tentang Perangkat Daerah kepada seluruh Sekretaris Daerah se-Indonesia, yang dianggap menjadi jawaban atas sejumlah kelemahan sistem pengawasan inspektorat di daerah.
Beberapa poin yang dianggap baru dalam peraturan itu adalah penguatan terhadap kelembagaan inspektorat, baik di wilayah provinsi maupun inspektorat kabupaten/kota. Dalam Pasal 99A dan Pasal 99B PP 72/2019, yang intinya menyatakan bahwa segala tindakan rotasi inspektur mengharuskan adanya konsultasi. Untuk provinsi kepada menteri dan untuk kabupaten/kota kepada gubernur. Tambahan lain, yaitu hasil pemeriksaan pun tidak wajib dilaporkan ke kepala daerah. Akan tetapi, inspektorat di level provinsi wajib melaporkan ke menteri. Adapun di level kabupaten/kota, inspektorat wajib melaporkan ke gubernur (vide Pasal 33A).
Setengah Hati
Sejumlah perubahan di atas menurut hemat penulis belum secara sungguh-sungguh menyentuh akar masalah yang ada pada inspektorat selama ini. Karena kelemahan dari inspektorat tidak hanya dari pengisian jabatan (rekrutmen) dan laporan hasil temuan, tetapi lebih dari pada itu terdapat sejumlah masalah lain perlu dibenahi, yaitu pertama, independensi kelembagaan. Kedudukan inspektorat yang diangkat dan bertanggung jawab atas kepala daerah (melalui sekda) menjadikannya tidak bisa bekerja secara independen. Besar kemungkinan adanya intervensi sehingga membuat pengawasan oleh inspektorat menjadi bias dan tidak objektif. Efektivitas peran inspektorat bergantung pada "political will " dari kepala daerah. Masalahnya, banyak kepala daerah yang komitmennya untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas inspektorat itu rendah atau bahkan tidak ada sama sekali.
Kedua, kapabilitas dan kompetensi di tubuh inspektorat sendiri dinilai masih belum memadai. Demikian pula assesment Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan sebagian besar inspektorat di berbagai daerah masih di level 1 dan 2 (Warta Pengawasan, 2017). Hal itu membuat inspektorat tidak efektif, khususnya di daerah yang masih berada di level 1 hanya sebatas melakukan audit ketaatan (compliance audit ) saja, dengan membandingkan peraturan pelaksanaan berdasarkan ketentuan peraturan daerah. Ketiga, anggaran inspektorat yang terbatas. Peran inspektorat diberikan begitu besar dalam melakukan pengawasan umum dan teknis, namun tidak didukung dengan anggaran pengawasan memadai sehingga menyebabkan kurang maksimalnya hasil pengawasan yang dilakukan.
Berdasarkan sejumlah masalah di atas, terlihat bahwa kehadiran PP 72/2019 yang dianggap menjadi jawaban terhadap kelemahan inspektorat selama ini ternyata belum komprehensif menyentuh tiga sektor masalah inspektorat. PP 72/2019 hanya menyentuh sebagian kelemahan kelembagaan inspektorat. Artinya, upaya perbaikan ini bisa dikatakan masih setengah hati dan belum mengarah pada pembenahan yang jelas.
Berkaca dari kondisi inspektorat tersebut, maka pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya arah pengawasan inspektorat ke depan. Untuk itu, perlu segera dilakukan perbaikan dan penguatan di tubuh inspektorat, melakukan pembenahan/perbaikan regulasi yang mengarah pada penguatan inspektorat secara komprehensif. Penguatan ditinjau dari tiga aspek, yaitu kelembagaan, anggaran, dan sumber daya manusia (SDM).
Arah Penguatan Dua wacana sebagai solusi atas kebuntuan pengawasan ini, yaitu pembentukan inspektorat quasi nasional dan quasi independen. Quasi nasional dimaknai dalam hal pertama, sistem pengawasan nasional yang dimaksud mengatur kelembagaan dan sinkronisasi antara pengawasan internal serta eksternal agar pengawasan internal memiliki fondasi lebih kuat dan tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Kedua, penyelarasan regulasi antara sistem pengawasan nasional yang bersifat internal dengan aturan terkait pengawasan eksternal. Kedua poin di atas akan berkaitan dengan kerja-kerja inspektorat, misalkan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan.
Ketiga, pengaturan pengawasan internal dalam suatu regulasi undang-undang sistem pengawasan nasional. Hal itu bisa dimulai dengan diaturnya aparat pengawas internal pemerintah secara nasional melalui undang-undang sistem pengawasan nasional internal khusus. Keempat, pelaksanaan pengawasan internal yang berstandar nasional, inspektorat yang mumpuni dan merata sesuai standar di semua wilayah Indonesia. Salah satunya untuk jabatan inspektur dilelang terbuka melalui fit and proper test.
Sedangkan quasi independen dimaknai independensi secara fungsional. Inspektorat dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal bersifat mandiri bebas bertindak sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, meskipun disadari keberadaan inspektorat bagian yang terpisah dari pemerintah karena bersifat internal. Selain kedua hal di atas, yang tidak kalah penting juga perlu penguatan anggaran bersumber dari APBD dan APBN.
Peneliti PSHK FH UII, Staf Hukum Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah
PEMERINTAH pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beberapa waktu lalu menyelenggarakan sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 (PP 72 Tahun 2019) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18/2016 tentang Perangkat Daerah kepada seluruh Sekretaris Daerah se-Indonesia, yang dianggap menjadi jawaban atas sejumlah kelemahan sistem pengawasan inspektorat di daerah.
Beberapa poin yang dianggap baru dalam peraturan itu adalah penguatan terhadap kelembagaan inspektorat, baik di wilayah provinsi maupun inspektorat kabupaten/kota. Dalam Pasal 99A dan Pasal 99B PP 72/2019, yang intinya menyatakan bahwa segala tindakan rotasi inspektur mengharuskan adanya konsultasi. Untuk provinsi kepada menteri dan untuk kabupaten/kota kepada gubernur. Tambahan lain, yaitu hasil pemeriksaan pun tidak wajib dilaporkan ke kepala daerah. Akan tetapi, inspektorat di level provinsi wajib melaporkan ke menteri. Adapun di level kabupaten/kota, inspektorat wajib melaporkan ke gubernur (vide Pasal 33A).
Setengah Hati
Sejumlah perubahan di atas menurut hemat penulis belum secara sungguh-sungguh menyentuh akar masalah yang ada pada inspektorat selama ini. Karena kelemahan dari inspektorat tidak hanya dari pengisian jabatan (rekrutmen) dan laporan hasil temuan, tetapi lebih dari pada itu terdapat sejumlah masalah lain perlu dibenahi, yaitu pertama, independensi kelembagaan. Kedudukan inspektorat yang diangkat dan bertanggung jawab atas kepala daerah (melalui sekda) menjadikannya tidak bisa bekerja secara independen. Besar kemungkinan adanya intervensi sehingga membuat pengawasan oleh inspektorat menjadi bias dan tidak objektif. Efektivitas peran inspektorat bergantung pada "political will " dari kepala daerah. Masalahnya, banyak kepala daerah yang komitmennya untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas inspektorat itu rendah atau bahkan tidak ada sama sekali.
Kedua, kapabilitas dan kompetensi di tubuh inspektorat sendiri dinilai masih belum memadai. Demikian pula assesment Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan sebagian besar inspektorat di berbagai daerah masih di level 1 dan 2 (Warta Pengawasan, 2017). Hal itu membuat inspektorat tidak efektif, khususnya di daerah yang masih berada di level 1 hanya sebatas melakukan audit ketaatan (compliance audit ) saja, dengan membandingkan peraturan pelaksanaan berdasarkan ketentuan peraturan daerah. Ketiga, anggaran inspektorat yang terbatas. Peran inspektorat diberikan begitu besar dalam melakukan pengawasan umum dan teknis, namun tidak didukung dengan anggaran pengawasan memadai sehingga menyebabkan kurang maksimalnya hasil pengawasan yang dilakukan.
Berdasarkan sejumlah masalah di atas, terlihat bahwa kehadiran PP 72/2019 yang dianggap menjadi jawaban terhadap kelemahan inspektorat selama ini ternyata belum komprehensif menyentuh tiga sektor masalah inspektorat. PP 72/2019 hanya menyentuh sebagian kelemahan kelembagaan inspektorat. Artinya, upaya perbaikan ini bisa dikatakan masih setengah hati dan belum mengarah pada pembenahan yang jelas.
Berkaca dari kondisi inspektorat tersebut, maka pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya arah pengawasan inspektorat ke depan. Untuk itu, perlu segera dilakukan perbaikan dan penguatan di tubuh inspektorat, melakukan pembenahan/perbaikan regulasi yang mengarah pada penguatan inspektorat secara komprehensif. Penguatan ditinjau dari tiga aspek, yaitu kelembagaan, anggaran, dan sumber daya manusia (SDM).
Arah Penguatan Dua wacana sebagai solusi atas kebuntuan pengawasan ini, yaitu pembentukan inspektorat quasi nasional dan quasi independen. Quasi nasional dimaknai dalam hal pertama, sistem pengawasan nasional yang dimaksud mengatur kelembagaan dan sinkronisasi antara pengawasan internal serta eksternal agar pengawasan internal memiliki fondasi lebih kuat dan tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Kedua, penyelarasan regulasi antara sistem pengawasan nasional yang bersifat internal dengan aturan terkait pengawasan eksternal. Kedua poin di atas akan berkaitan dengan kerja-kerja inspektorat, misalkan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan.
Ketiga, pengaturan pengawasan internal dalam suatu regulasi undang-undang sistem pengawasan nasional. Hal itu bisa dimulai dengan diaturnya aparat pengawas internal pemerintah secara nasional melalui undang-undang sistem pengawasan nasional internal khusus. Keempat, pelaksanaan pengawasan internal yang berstandar nasional, inspektorat yang mumpuni dan merata sesuai standar di semua wilayah Indonesia. Salah satunya untuk jabatan inspektur dilelang terbuka melalui fit and proper test.
Sedangkan quasi independen dimaknai independensi secara fungsional. Inspektorat dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal bersifat mandiri bebas bertindak sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, meskipun disadari keberadaan inspektorat bagian yang terpisah dari pemerintah karena bersifat internal. Selain kedua hal di atas, yang tidak kalah penting juga perlu penguatan anggaran bersumber dari APBD dan APBN.
(thm)