Pemerintahan Baru dan Pengembangan Biodiesel
A
A
A
Imaduddin Abdullah
Peneliti Center of Energy, Food, and Sustainable Development, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
PEMERINTAHAN baru memiliki sejumlah tantangan berat di sektor energi. Satu di antara tantangan tersebut adalah melakukan pengembangan biodiesel. Hal ini sejalan dengan upaya melakukan diversifikasi energi. Di tengah peningkatan permintaan energi, Indonesia masih mengandalkan minyak sebagai sumber energi. Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa konsumsi minyak pada 2018 mencapai 38,79% dari total konsumsi energi final nasional.
Ketergantungan terhadap minyak menggambarkan paradoks pengelolaan energi nasional. Indonesia masih bergantung pada migas, padahal Indonesia bukan lagi negara kaya minyak. Satu di antara indikator yang dapat digunakan adalah Reserve-to-Production Ratio (R/P) yang menggambarkan rasio antara jumlah cadangan minyak yang dimiliki dibandingkan dengan pengambilan minyak bumi setiap tahun.
Laporan BP Statistical Review of World Energy 2019 yang diterbitkan British Petroleum menyebutkan bahwa (R/P) minyak Indonesia hanya 10,7. Artinya, dengan asumsi jumlah cadangan dan skala ekstraksi yang konstan, minyak Indonesia akan habis dalam 10,7 tahun. Rasio tersebut sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan negara-negara lain, bahkan dengan negara-negara yang bukan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sekalipun. Rata-rata negara Asia-Pasifik memiliki (R/P) 17,1, sedangkan R/P negara-negara non-OPEC mencapai 24,1. Melihat kondisi di atas, tidak ada jalan lain selain segera melakukan diversifikasi energi melalui pengembangan biodiesel.
Urgensi Pengembangan Biodiesel
Pengembangan biodiesel diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan, satu di antaranya terkait neraca perdagangan. Sebagai negara net-importir, menggantungkan diri pada minyak hanya akan memperparah kinerja perdagangan nasional. Ketergantungan pada minyak membuat impor migas Indonesia pada 2018 mencapai USD29,81 miliar atau meningkat 22,59% dibandingkan impor migas di tahun sebelumnya.
Pada saat bersamaan, nilai ekspor migas hanya USD17,4 miliar atau naik 10,55% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini pada akhirnya membuat neraca minyak dan gas (migas) Indonesia pada 2018 mengalami defisit USD12,7 miliar atau yang paling parah dalam empat tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan migas memberikan andil terhadap defisit perdagangan yang dialami oleh Indonesia pada tahun tersebut mencapai USD8,5 miliar.
Selain mengurangi defisit neraca perdagangan melalui penurunan impor minyak khususnya solar, pengembangan biodiesel juga dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi industri sawit melalui hilirisasi sawit. Selain itu, pengembangan biodiesel juga dapat berkontribusi terhadap lingkungan. Hal ini mengingat emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biodiesel lebih rendah dibandingkan emisi hasil pembakaran bahan bakar fosil.
Penelitian yang dilakukan oleh Traction Energy Asia (2019) menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dapat mendukung upaya penurunan emisi GRK nasional 29% pada 2030. Dengan asumsi tidak ada alih fungsi lahan, penghematan emisi GRK dari penggunaan B20 dapat mencapai antara 3%-14% dibandingkan penggunaan bahan bakar solar.
Melihat potensi besar dari pengembangan biodiesel baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan, pemerintah menargetkan peningkatan produksi biodiesel. Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2020-2024 disebutkan bahwa produksi biodiesel ditargetkan mengalami peningkatan dari 7,7 juta kilo liter pada 2020 menjadi 10,8 juta kilo liter pada 2024.
Tantangan Pengembangan Biodiesel
Untuk mencapai target produksi biodiesel seperti yang dicanangkan pada rancangan teknokratik RPJMN 2020-2024, perlu menyelesaikan sejumlah tantangan dalam pengembangan biodiesel. Tantangan pertama adalah terkait infrastruktur pendukung produksi biodiesel seperti Badan Usaha BBN Biodiesel yang tidak merata di mana biodiesel lebih banyak berada di Indonesia bagian barat. Dalam hal ini perlu peran aktif dari negara melalui badan usaha milik negara (BUMN) untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur pendukung produksi biodiesel.
Pertamina sebagai BUMN di bidang ini dapat menjadi ujung tombak dalam mendorong pembangunan infrastruktur biodiesel di Indonesia. Terlebih hingga Juli 2019, penyerapan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) oleh Pertamina sudah mencapai 3,2 juta kiloliter atau sama dengan realisasi penyerapan FAME pada 2018 yang juga mencapai 3,2 juta kiloliter. Percepatan ini diharapkan menjadi momentum peningkatan dari B20 ke B30. Dalam konteks ini, peran aktif negara melalui BUMN perlu terus didorong agar pemanfaatan biodiesel dapat terus ditingkatkan.
Tantangan berikutnya adalah terkait harga di mana biodiesel dianggap lebih mahal dibandingkan solar. Hal ini menurunkan insentif konsumen untuk menggunakan biodiesel. Sebab itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan komprehensif baik mencakup subsidi terhadap penggunaan biodiesel hingga pajak terhadap konsumsi minyak dengan emisi tinggi (pajak karbon). Dua instrumen tersebut perlu ditujukan bagi produsen agar memiliki insentif untuk berinvestasi di produksi biodiesel serta untuk konsumen agar beralih dari solar ke biodiesel.
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan faktor sosial masyarakat di mana konsumen cenderung resisten untuk beralih dari solar ke biodiesel. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada konsumen untuk beralih dari solar menjadi biodiesel. Dalam hal ini, Indonesia memiliki pengalaman baik ketika berhasil melakukan konversi dari minyak tanah ke LPG.
Kasus ini seharusnya bisa dijadikan pelajaran untuk mendorong konsumen untuk pindah dari konsumsi minyak tradisional ke biodiesel. Sejalan upaya pergeseran konsumsi dari solar menjadi biodiesel, tantangan berikutnya adalah bagaimana terus mendorong ada inovasi pada penggunaan biodiesel agar penggunaan biodiesel dapat lebih luas di berbagai sektor mulai dari transportasi hingga berbagai subsektor industri.
Terakhir, tantangan pengembangan biodiesel juga terkait dengan isu lingkungan. Hal ini mengingat produksi biodiesel tidak terlepas dari sektor energi dan lahan. Jangan sampai kebijakan pengembangan biodiesel ini justru kontraproduktif terhadap upaya penurunan emisi. Sebab itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan dan perbaikan tata kelola dari hulu ke hilir dari produksi biodiesel.
Perbaikan tata kelola ini termasuk tata kelola perencanaan penggunaan tanah (land use planning) yang lebih baik agar peningkatan produksi biodiesel tidak diikuti oleh meledaknya perubahan fungsi lahan. Lebih dari itu, dibutuhkan peningkatan kapasitas di sektor hulu dari biodiesel agar kualitas pasokan untuk produksi biodiesel semakin meningkat. Dengan begitu, jalan pengembangan biodiesel dalam rangka berkontribusi terhadap program diversifikasi energi bisa tercapai.
Peneliti Center of Energy, Food, and Sustainable Development, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
PEMERINTAHAN baru memiliki sejumlah tantangan berat di sektor energi. Satu di antara tantangan tersebut adalah melakukan pengembangan biodiesel. Hal ini sejalan dengan upaya melakukan diversifikasi energi. Di tengah peningkatan permintaan energi, Indonesia masih mengandalkan minyak sebagai sumber energi. Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa konsumsi minyak pada 2018 mencapai 38,79% dari total konsumsi energi final nasional.
Ketergantungan terhadap minyak menggambarkan paradoks pengelolaan energi nasional. Indonesia masih bergantung pada migas, padahal Indonesia bukan lagi negara kaya minyak. Satu di antara indikator yang dapat digunakan adalah Reserve-to-Production Ratio (R/P) yang menggambarkan rasio antara jumlah cadangan minyak yang dimiliki dibandingkan dengan pengambilan minyak bumi setiap tahun.
Laporan BP Statistical Review of World Energy 2019 yang diterbitkan British Petroleum menyebutkan bahwa (R/P) minyak Indonesia hanya 10,7. Artinya, dengan asumsi jumlah cadangan dan skala ekstraksi yang konstan, minyak Indonesia akan habis dalam 10,7 tahun. Rasio tersebut sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan negara-negara lain, bahkan dengan negara-negara yang bukan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sekalipun. Rata-rata negara Asia-Pasifik memiliki (R/P) 17,1, sedangkan R/P negara-negara non-OPEC mencapai 24,1. Melihat kondisi di atas, tidak ada jalan lain selain segera melakukan diversifikasi energi melalui pengembangan biodiesel.
Urgensi Pengembangan Biodiesel
Pengembangan biodiesel diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan, satu di antaranya terkait neraca perdagangan. Sebagai negara net-importir, menggantungkan diri pada minyak hanya akan memperparah kinerja perdagangan nasional. Ketergantungan pada minyak membuat impor migas Indonesia pada 2018 mencapai USD29,81 miliar atau meningkat 22,59% dibandingkan impor migas di tahun sebelumnya.
Pada saat bersamaan, nilai ekspor migas hanya USD17,4 miliar atau naik 10,55% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini pada akhirnya membuat neraca minyak dan gas (migas) Indonesia pada 2018 mengalami defisit USD12,7 miliar atau yang paling parah dalam empat tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan migas memberikan andil terhadap defisit perdagangan yang dialami oleh Indonesia pada tahun tersebut mencapai USD8,5 miliar.
Selain mengurangi defisit neraca perdagangan melalui penurunan impor minyak khususnya solar, pengembangan biodiesel juga dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi industri sawit melalui hilirisasi sawit. Selain itu, pengembangan biodiesel juga dapat berkontribusi terhadap lingkungan. Hal ini mengingat emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biodiesel lebih rendah dibandingkan emisi hasil pembakaran bahan bakar fosil.
Penelitian yang dilakukan oleh Traction Energy Asia (2019) menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dapat mendukung upaya penurunan emisi GRK nasional 29% pada 2030. Dengan asumsi tidak ada alih fungsi lahan, penghematan emisi GRK dari penggunaan B20 dapat mencapai antara 3%-14% dibandingkan penggunaan bahan bakar solar.
Melihat potensi besar dari pengembangan biodiesel baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan, pemerintah menargetkan peningkatan produksi biodiesel. Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2020-2024 disebutkan bahwa produksi biodiesel ditargetkan mengalami peningkatan dari 7,7 juta kilo liter pada 2020 menjadi 10,8 juta kilo liter pada 2024.
Tantangan Pengembangan Biodiesel
Untuk mencapai target produksi biodiesel seperti yang dicanangkan pada rancangan teknokratik RPJMN 2020-2024, perlu menyelesaikan sejumlah tantangan dalam pengembangan biodiesel. Tantangan pertama adalah terkait infrastruktur pendukung produksi biodiesel seperti Badan Usaha BBN Biodiesel yang tidak merata di mana biodiesel lebih banyak berada di Indonesia bagian barat. Dalam hal ini perlu peran aktif dari negara melalui badan usaha milik negara (BUMN) untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur pendukung produksi biodiesel.
Pertamina sebagai BUMN di bidang ini dapat menjadi ujung tombak dalam mendorong pembangunan infrastruktur biodiesel di Indonesia. Terlebih hingga Juli 2019, penyerapan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) oleh Pertamina sudah mencapai 3,2 juta kiloliter atau sama dengan realisasi penyerapan FAME pada 2018 yang juga mencapai 3,2 juta kiloliter. Percepatan ini diharapkan menjadi momentum peningkatan dari B20 ke B30. Dalam konteks ini, peran aktif negara melalui BUMN perlu terus didorong agar pemanfaatan biodiesel dapat terus ditingkatkan.
Tantangan berikutnya adalah terkait harga di mana biodiesel dianggap lebih mahal dibandingkan solar. Hal ini menurunkan insentif konsumen untuk menggunakan biodiesel. Sebab itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan komprehensif baik mencakup subsidi terhadap penggunaan biodiesel hingga pajak terhadap konsumsi minyak dengan emisi tinggi (pajak karbon). Dua instrumen tersebut perlu ditujukan bagi produsen agar memiliki insentif untuk berinvestasi di produksi biodiesel serta untuk konsumen agar beralih dari solar ke biodiesel.
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan faktor sosial masyarakat di mana konsumen cenderung resisten untuk beralih dari solar ke biodiesel. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada konsumen untuk beralih dari solar menjadi biodiesel. Dalam hal ini, Indonesia memiliki pengalaman baik ketika berhasil melakukan konversi dari minyak tanah ke LPG.
Kasus ini seharusnya bisa dijadikan pelajaran untuk mendorong konsumen untuk pindah dari konsumsi minyak tradisional ke biodiesel. Sejalan upaya pergeseran konsumsi dari solar menjadi biodiesel, tantangan berikutnya adalah bagaimana terus mendorong ada inovasi pada penggunaan biodiesel agar penggunaan biodiesel dapat lebih luas di berbagai sektor mulai dari transportasi hingga berbagai subsektor industri.
Terakhir, tantangan pengembangan biodiesel juga terkait dengan isu lingkungan. Hal ini mengingat produksi biodiesel tidak terlepas dari sektor energi dan lahan. Jangan sampai kebijakan pengembangan biodiesel ini justru kontraproduktif terhadap upaya penurunan emisi. Sebab itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan dan perbaikan tata kelola dari hulu ke hilir dari produksi biodiesel.
Perbaikan tata kelola ini termasuk tata kelola perencanaan penggunaan tanah (land use planning) yang lebih baik agar peningkatan produksi biodiesel tidak diikuti oleh meledaknya perubahan fungsi lahan. Lebih dari itu, dibutuhkan peningkatan kapasitas di sektor hulu dari biodiesel agar kualitas pasokan untuk produksi biodiesel semakin meningkat. Dengan begitu, jalan pengembangan biodiesel dalam rangka berkontribusi terhadap program diversifikasi energi bisa tercapai.
(thm)