Nuansa Baru DPD
A
A
A
Mohammad Agus Maulidi
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PRESIDEN bersama DPR menyetujui beberapa perubahan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011. UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut kini telah diundangkan dan karenanya telah resmi berlaku sejak 4 Oktober 2019.
Kehadiran UU Nomor 15 Tahun 2019 ini, selain mengamanatkan pembentukan kementerian/lembaga baru yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang akan mengalihkan tugas dan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum kepada lembaga tersebut, serta materi muatan baru mengenai pemantauan dan peninjauan, juga memberikan ruang dan peran baru yang dapat memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam bidang legislasi.
Ada setidaknya tiga ruang dan peran baru yang diberikan kepada DPD. Pertama, keterlibatan DPD pada penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketentuan ini sebagaimana tercantum pada perubahan Pasal 20, dari yang semula penyusunan Prolegnas oleh hanya oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurut UU Nomor 12 Tahun 2011, menjadi pemerintah, DPR, dan DPD.
Pemberian kewenangan secara konstitusional ini selain untuk menjamin kepastian hukum atas keterlibatan DPD, diharapkan juga mengakhiri polemik dan kontroversi atas keikutsertaan DPD dalam penyusunan Prolegnas seperti yang terjadi pada penyusunan Prolegnas periode 2014.
Keterlibatan DPD pada penyusunan Prolegnas ini memang terbilang esensial. Bahwa original intent pembentukan DPD adalah untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan daerah agar diperjuangkan dalam kebijakan nasional melalui mekanisme legislasi (regional representation).
Pelibatan DPD dalam Prolegnas ini merupakan aktualisasi titik awal proses legislasi, mengingat Prolegnas ini merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Kedua, keterlibatan DPD dalam hal kesepakatan atas penyampaian hasil pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) suatu RUU dari masa keanggotaan DPR saat itu, kepada DPR periode berikutnya, agar RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas.
Keterlibatan DPD pada konteks ini memang terbilang lemah mengingat klausul pasal tersebut yang menyebutkan 'dan/atau DPD', yang bermakna kumulatif alternatif sehingga kesepakatan DPD dapat dianulir.
Ketiga, keterlibatan DPD dalam proses pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang. Pemantauan dan peninjauan ini merupakan materi muatan baru yang diatur dengan tujuan membentuk peraturan perundang-undangan yang berkelanjutan.
Pemantauan dan peninjauan menurut UU Nomor 15 Tahun 2019 ini dilakukan dalam bentuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemantauan dan peninjauan ini dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan pemerintah.
Putusan MK dan UU Nomor 15 Tahun 2019
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 sebenarnya telah mengeluarkan putusan bernomor 92/PUU-X/2012 ihwal pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Substansi dari putusan MK ini yaitu bahwa MK menghendaki agar kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi harus sama dan disejajarkan dengan DPR dan presiden.
Seyogianya putusan MK yang dikeluarkan dengan sifat final dan mengikat tersebut harus diikuti dengan perubahan peraturan terkait dalam rangka penyesuaian dan pelaksanaan terhadap putusan MK.
Kekuatan final dan mengikat putusan MK bahkan berlaku sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Praktiknya, tindak lanjut atas putusan MK ini masih menunggu rentan waktu yang cukup lama. UU Nomor 27 Tahun 2009 yang dicabut dan diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 dianggap belum mengakomodasi putusan MK tersebut (Enny Nurbaningsih: 2015).
Kehadiran UU Nomor 15 Tahun 2019 ini sebenarnya memberikan angin segar terhadap tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 untuk menyetarakan kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi. Meskipun demikian, harus diakui, UU Nomor 15 Tahun 2019 ini belum sepenuhnya menindaklanjuti seluruh putusan MK.
Penyetaraan kewenangan DPD dengan DPR dan presiden melalui undang-undang ini sebatas pada konteks persamaan kedudukan dalam penyusunan Prolegnas serta keterlibatan DPD dalam proses pemantauan dan peninjauan terhadap tindak lanjut atau pelaksanaan undang-undang.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PRESIDEN bersama DPR menyetujui beberapa perubahan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011. UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut kini telah diundangkan dan karenanya telah resmi berlaku sejak 4 Oktober 2019.
Kehadiran UU Nomor 15 Tahun 2019 ini, selain mengamanatkan pembentukan kementerian/lembaga baru yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang akan mengalihkan tugas dan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum kepada lembaga tersebut, serta materi muatan baru mengenai pemantauan dan peninjauan, juga memberikan ruang dan peran baru yang dapat memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam bidang legislasi.
Ada setidaknya tiga ruang dan peran baru yang diberikan kepada DPD. Pertama, keterlibatan DPD pada penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketentuan ini sebagaimana tercantum pada perubahan Pasal 20, dari yang semula penyusunan Prolegnas oleh hanya oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurut UU Nomor 12 Tahun 2011, menjadi pemerintah, DPR, dan DPD.
Pemberian kewenangan secara konstitusional ini selain untuk menjamin kepastian hukum atas keterlibatan DPD, diharapkan juga mengakhiri polemik dan kontroversi atas keikutsertaan DPD dalam penyusunan Prolegnas seperti yang terjadi pada penyusunan Prolegnas periode 2014.
Keterlibatan DPD pada penyusunan Prolegnas ini memang terbilang esensial. Bahwa original intent pembentukan DPD adalah untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan daerah agar diperjuangkan dalam kebijakan nasional melalui mekanisme legislasi (regional representation).
Pelibatan DPD dalam Prolegnas ini merupakan aktualisasi titik awal proses legislasi, mengingat Prolegnas ini merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Kedua, keterlibatan DPD dalam hal kesepakatan atas penyampaian hasil pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) suatu RUU dari masa keanggotaan DPR saat itu, kepada DPR periode berikutnya, agar RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas.
Keterlibatan DPD pada konteks ini memang terbilang lemah mengingat klausul pasal tersebut yang menyebutkan 'dan/atau DPD', yang bermakna kumulatif alternatif sehingga kesepakatan DPD dapat dianulir.
Ketiga, keterlibatan DPD dalam proses pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang. Pemantauan dan peninjauan ini merupakan materi muatan baru yang diatur dengan tujuan membentuk peraturan perundang-undangan yang berkelanjutan.
Pemantauan dan peninjauan menurut UU Nomor 15 Tahun 2019 ini dilakukan dalam bentuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemantauan dan peninjauan ini dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan pemerintah.
Putusan MK dan UU Nomor 15 Tahun 2019
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 sebenarnya telah mengeluarkan putusan bernomor 92/PUU-X/2012 ihwal pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Substansi dari putusan MK ini yaitu bahwa MK menghendaki agar kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi harus sama dan disejajarkan dengan DPR dan presiden.
Seyogianya putusan MK yang dikeluarkan dengan sifat final dan mengikat tersebut harus diikuti dengan perubahan peraturan terkait dalam rangka penyesuaian dan pelaksanaan terhadap putusan MK.
Kekuatan final dan mengikat putusan MK bahkan berlaku sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Praktiknya, tindak lanjut atas putusan MK ini masih menunggu rentan waktu yang cukup lama. UU Nomor 27 Tahun 2009 yang dicabut dan diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 dianggap belum mengakomodasi putusan MK tersebut (Enny Nurbaningsih: 2015).
Kehadiran UU Nomor 15 Tahun 2019 ini sebenarnya memberikan angin segar terhadap tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 untuk menyetarakan kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi. Meskipun demikian, harus diakui, UU Nomor 15 Tahun 2019 ini belum sepenuhnya menindaklanjuti seluruh putusan MK.
Penyetaraan kewenangan DPD dengan DPR dan presiden melalui undang-undang ini sebatas pada konteks persamaan kedudukan dalam penyusunan Prolegnas serta keterlibatan DPD dalam proses pemantauan dan peninjauan terhadap tindak lanjut atau pelaksanaan undang-undang.
(maf)