Pertaruhan Jaksa Agung
A
A
A
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
"... yang ke-38, ST Burhanuddin, Jaksa Agung, ga k ada yang tahu? Silakan bertanya langsung ke Pak Burhan."PERNYATAAN itu disampaikan Presiden RI Joko Widodo saat memperkenalkan Jaksa Agung RI untuk masa Jabatan 2019-2024. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden, " Beliau menjaga independensi hukum, menegakkan supremasi hukum, dan membangun complaint handling management ."
Dalam pernyataan awal Presiden Joko Widodo tersirat pesan, apakah Presiden telah mengenal Jaksa Agung yang diangkatnya.
Jika diperhatikan pemilihan jaksa agung pada Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 cukup unik dan berbeda dengan menteri-menteri yang diumumkan pada 23 Oktober 2019. Salah satu hal unik adalah ST Burhanuddin adalah satu-satunya yang tidak terlihat ke Istana pada 21-22 Oktober 2019. Bahkan pada 21 Oktober 2019 dikeluarkan keputusan presiden (keppres) yang menunjuk Agung Arminsyah sebagai pelaksana tugas (plt) jaksa agung selama tiga bulan. Dengan adanya keppres tersebut, publik beranggapan bahwa jaksa agung tidak akan termasuk yang diumumkan pada 23 Oktober 2019.
Hal itu sama dengan yang terjadi pada Oktober 2014 di mana jaksa agung tidak termasuk ke dalam anggota kabinet yang diumumkan presiden bersama dengan anggota kabinet lainnya. Beberapa saat kemudian presiden baru mengumumkan HM Prasetyo sebagai jaksa agung. Namun keppres itu hanya berlaku beberapa hari, kemudian Presiden mengumumkan jaksa agung yang baru. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan pada publik mengingat peran jaksa agung sangat vital sebagai garda terdepan dominus litis (pengendali perkara) dalam menangani perkara pidana di Indonesia. Tulisan ini mencoba mengkaji pemilihan jaksa agung dan capaian-capaian yang harus dipenuhinya pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam penegakan hukum ada dua jabatan tertinggi yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, tetapi berdekatan dengan fungsi yudikatif, yakni kapolri dan jaksa agung. Namun proses pengangkatan kedua jabatan tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Pada Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 disebutkan "jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. "Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jabatan jaksa agung sepenuhnya adalah hak prerogatif presiden. Hal ini berbeda dengan penunjukan kapolri.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengatakan, "Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." Ketentuan tersebut menunjukkan tidak sepenuhnya kapolri adalah hak prerogatif presiden di mana pengangkatan dan pemberhentiannya harus melalui DPR.
Pertanyaan terbesarnya adalah mengapa terdapat aturan demikian. Keterlibatan DPR memang diperlukan untuk mengurangi kepentingan pribadi atau golongan yang bisa saja timbul jika diserahkan kepada prerogatif presiden.
Salah satu akibat dari tidak adanya peran eksternal dalam pengangkatan jaksa agung adalah soal afiliasi. Dalam dua periode Presiden Joko Widodo, jaksa agung memiliki afiliasi yang kuat dengan partai politik.
HM Prasetyo yang memang merupakan anggota Partai NasDem dan ST Burhanuddin yang merupakan adik kandung politikus PDI Perjuangan. Selain itu, ST Burhanuddin juga sempat menjadi komisaris utama Hutama Karya, BUMN yang menunjukkan adanya pesan politik di dalamnya. Afiliasi dengan partai politik ini akan menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mengurangi independensi yang disampaikan oleh Presiden sebagai tugas utama Jaksa Agung.
Selain daripada itu, Presiden Joko Widodo memiliki banyak tugas penegakan hukum yang diserahkan kepada Jaksa Agung. Dua tugas besar yang harus diselesaikan Jaksa Agung di periode kedua ini adalah penuntasan pelanggaran HAM dan pemberantasan korupsi.
Salah satu agenda besar Nawacita yang disampaikan Presiden Joko Widodo sejak 2014 lalu adalah melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Pada dasarnya janji ini tidak terlihat dimulai untuk dilaksanakan pada periode pertama presiden.
Jaksa Agung memiliki peranan besar dalam menyelesaikan pelanggaran HAM. Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan. Komnas HAM hanya memiliki kewenangan penyelidikan yang kemudian diserahkan kepada jaksa agung. Dapat disampaikan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang berat merupakan tanggung jawab utama dari seorang jaksa agung.
Namun, baik dalam pengumuman kabinet dan pidato pelantikan presiden, tidak terdapat isu HAM yang disinggung oleh Presiden. Seharusnya dalam memilih jaksa agung, Presiden memikiran tugas dan fungsi jaksa agung dalam penanganan isu HAM.
Selain isu HAM, isu pemberantasan korupsi juga merupakan hal yang perlu menjadi perhatian. Periode pertama Presiden Joko Widodo dihadapi dengan penolakan besar-besaran terhadap Revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Presiden jadi memiliki beban tanggungjawab lebih untuk memperkuat pemberantasan korupsi dengan tetap melakukan perubahan UU KPK. Perubahan UU KPK kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang No 19 Tahun 2019. Pasal 3 UU KPK menjadikan KPK berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Oleh karena itu, KPK dan Kejaksaan menjadi memiliki posisi yang sama sebagai penegak hukum di bawah eksekutif dalam perannya di pemberantasan korupsi. Terlebih Pasal 12A UU KPK setelah perubahan mengatakan bahwa Penuntut Umum KPK harus berkoordinasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika merujuk pada Pasal 37 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan disampaikan bahwa "Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani". Pasal 37 ini menunjukkan peran jaksa agung sebagai Dominus Litis (Pengendali Perkara).
Oleh karena itu, pengaturan pasal 12A UU KPK memberikan penafsiran bahwa KPK harus berkoordinasi dengan jaksa agung dalam melakukan penuntutan. Dengan peran tersebut, pemilihan jaksa agung perlu ditekankan pada semangat pemberantasan korupsi. Dengan afiliasi pada partai politik malah akan mengurangi semangat pemberantasan korupsi dengan adanya konflik kepentingan.
Dalam periode kedua ini, selain harus memenuhi hutang penegakan hukum pada periode pertama Presiden Joko Widodo, jaksa agung juga memiliki peranan besar dalam pemberantasan korupsi di periode kedua pemerintahan.
Oleh karena itu, pengangkatan jaksa agung harus disertai dengan visi yang kuat dalam penegakan hukum. Inovasi-inovasi dan progresivitas dari jaksa agung diperlukan dalam periode ini. Sebagaimana Scott Turow, penulis yang juga seorang lawyer, mengatakan, "The prosecutor who is supposed to carry the burden of proof, really is an author."
Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
"... yang ke-38, ST Burhanuddin, Jaksa Agung, ga k ada yang tahu? Silakan bertanya langsung ke Pak Burhan."PERNYATAAN itu disampaikan Presiden RI Joko Widodo saat memperkenalkan Jaksa Agung RI untuk masa Jabatan 2019-2024. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden, " Beliau menjaga independensi hukum, menegakkan supremasi hukum, dan membangun complaint handling management ."
Dalam pernyataan awal Presiden Joko Widodo tersirat pesan, apakah Presiden telah mengenal Jaksa Agung yang diangkatnya.
Jika diperhatikan pemilihan jaksa agung pada Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 cukup unik dan berbeda dengan menteri-menteri yang diumumkan pada 23 Oktober 2019. Salah satu hal unik adalah ST Burhanuddin adalah satu-satunya yang tidak terlihat ke Istana pada 21-22 Oktober 2019. Bahkan pada 21 Oktober 2019 dikeluarkan keputusan presiden (keppres) yang menunjuk Agung Arminsyah sebagai pelaksana tugas (plt) jaksa agung selama tiga bulan. Dengan adanya keppres tersebut, publik beranggapan bahwa jaksa agung tidak akan termasuk yang diumumkan pada 23 Oktober 2019.
Hal itu sama dengan yang terjadi pada Oktober 2014 di mana jaksa agung tidak termasuk ke dalam anggota kabinet yang diumumkan presiden bersama dengan anggota kabinet lainnya. Beberapa saat kemudian presiden baru mengumumkan HM Prasetyo sebagai jaksa agung. Namun keppres itu hanya berlaku beberapa hari, kemudian Presiden mengumumkan jaksa agung yang baru. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan pada publik mengingat peran jaksa agung sangat vital sebagai garda terdepan dominus litis (pengendali perkara) dalam menangani perkara pidana di Indonesia. Tulisan ini mencoba mengkaji pemilihan jaksa agung dan capaian-capaian yang harus dipenuhinya pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam penegakan hukum ada dua jabatan tertinggi yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, tetapi berdekatan dengan fungsi yudikatif, yakni kapolri dan jaksa agung. Namun proses pengangkatan kedua jabatan tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Pada Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 disebutkan "jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. "Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jabatan jaksa agung sepenuhnya adalah hak prerogatif presiden. Hal ini berbeda dengan penunjukan kapolri.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengatakan, "Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." Ketentuan tersebut menunjukkan tidak sepenuhnya kapolri adalah hak prerogatif presiden di mana pengangkatan dan pemberhentiannya harus melalui DPR.
Pertanyaan terbesarnya adalah mengapa terdapat aturan demikian. Keterlibatan DPR memang diperlukan untuk mengurangi kepentingan pribadi atau golongan yang bisa saja timbul jika diserahkan kepada prerogatif presiden.
Salah satu akibat dari tidak adanya peran eksternal dalam pengangkatan jaksa agung adalah soal afiliasi. Dalam dua periode Presiden Joko Widodo, jaksa agung memiliki afiliasi yang kuat dengan partai politik.
HM Prasetyo yang memang merupakan anggota Partai NasDem dan ST Burhanuddin yang merupakan adik kandung politikus PDI Perjuangan. Selain itu, ST Burhanuddin juga sempat menjadi komisaris utama Hutama Karya, BUMN yang menunjukkan adanya pesan politik di dalamnya. Afiliasi dengan partai politik ini akan menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mengurangi independensi yang disampaikan oleh Presiden sebagai tugas utama Jaksa Agung.
Selain daripada itu, Presiden Joko Widodo memiliki banyak tugas penegakan hukum yang diserahkan kepada Jaksa Agung. Dua tugas besar yang harus diselesaikan Jaksa Agung di periode kedua ini adalah penuntasan pelanggaran HAM dan pemberantasan korupsi.
Salah satu agenda besar Nawacita yang disampaikan Presiden Joko Widodo sejak 2014 lalu adalah melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Pada dasarnya janji ini tidak terlihat dimulai untuk dilaksanakan pada periode pertama presiden.
Jaksa Agung memiliki peranan besar dalam menyelesaikan pelanggaran HAM. Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan. Komnas HAM hanya memiliki kewenangan penyelidikan yang kemudian diserahkan kepada jaksa agung. Dapat disampaikan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang berat merupakan tanggung jawab utama dari seorang jaksa agung.
Namun, baik dalam pengumuman kabinet dan pidato pelantikan presiden, tidak terdapat isu HAM yang disinggung oleh Presiden. Seharusnya dalam memilih jaksa agung, Presiden memikiran tugas dan fungsi jaksa agung dalam penanganan isu HAM.
Selain isu HAM, isu pemberantasan korupsi juga merupakan hal yang perlu menjadi perhatian. Periode pertama Presiden Joko Widodo dihadapi dengan penolakan besar-besaran terhadap Revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Presiden jadi memiliki beban tanggungjawab lebih untuk memperkuat pemberantasan korupsi dengan tetap melakukan perubahan UU KPK. Perubahan UU KPK kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang No 19 Tahun 2019. Pasal 3 UU KPK menjadikan KPK berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Oleh karena itu, KPK dan Kejaksaan menjadi memiliki posisi yang sama sebagai penegak hukum di bawah eksekutif dalam perannya di pemberantasan korupsi. Terlebih Pasal 12A UU KPK setelah perubahan mengatakan bahwa Penuntut Umum KPK harus berkoordinasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika merujuk pada Pasal 37 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan disampaikan bahwa "Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani". Pasal 37 ini menunjukkan peran jaksa agung sebagai Dominus Litis (Pengendali Perkara).
Oleh karena itu, pengaturan pasal 12A UU KPK memberikan penafsiran bahwa KPK harus berkoordinasi dengan jaksa agung dalam melakukan penuntutan. Dengan peran tersebut, pemilihan jaksa agung perlu ditekankan pada semangat pemberantasan korupsi. Dengan afiliasi pada partai politik malah akan mengurangi semangat pemberantasan korupsi dengan adanya konflik kepentingan.
Dalam periode kedua ini, selain harus memenuhi hutang penegakan hukum pada periode pertama Presiden Joko Widodo, jaksa agung juga memiliki peranan besar dalam pemberantasan korupsi di periode kedua pemerintahan.
Oleh karena itu, pengangkatan jaksa agung harus disertai dengan visi yang kuat dalam penegakan hukum. Inovasi-inovasi dan progresivitas dari jaksa agung diperlukan dalam periode ini. Sebagaimana Scott Turow, penulis yang juga seorang lawyer, mengatakan, "The prosecutor who is supposed to carry the burden of proof, really is an author."
(shf)