Masyarakat Terbuka Digital dan Musuh-musuhnya

Selasa, 05 November 2019 - 11:13 WIB
Masyarakat Terbuka Digital dan Musuh-musuhnya
Masyarakat Terbuka Digital dan Musuh-musuhnya
A A A
JIKA Anda pernah membaca Open Society and Its Enemies karya Karl Popper (1902–1994), Anda pasti tahu bahwa judul tulisan analisis ini memang terinspirasi dari karyanya tersebut. Buku yang diterbitkan oleh Routledge pada 1945 ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa terkemuka dunia, termasuk bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, pikiran Popper hadir sebagai buku dengan judul “Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya”.

Pada pokoknya, Popper mengingatkan bahwa masyarakat terbuka itu harus dipelihara dan dipertahankan dari serangan kelompok ideologi totaliter. Memelihara kelangsungan masyarakat terbuka dapat ditempuh lewat sikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Suatu sikap yang meletakkan setiap ilmu pengetahuan berada dalam posisi idealnya: kemungkinan bisa salah atau benar. Pendapat Popper tak lepas dari pengalaman hidup yang dijalaninya semasa muda.

Di masa muda Popper, perjalanan hidupnya sempat diwarnai oleh pembalikan sikap terhadap ideologi Marxisme. Semula ia kagum, kemudian kecewa. Pembalikan ini mengakibatkan munculnya kritik tajam Popper secara konsisten terhadap ideologi Marxisme. Kekecewaannya bersumber dari kesaksiannya terhadap kaum yang berideologi Marxisme. Oleh kaum ini (yang membawa janji perubahan nasib bagi kelompok buruh), dilakukan penindasan dengan kejam terhadap lawan ideologinya.

Marxisme yang semula dianggapnya sebagai ilmu pengetahuan ternyata bersifat historisme tertutup. Historisme menyatakan bahwa proses pembentukan ilmu pengetahuan dapat ditempuh melalui penelaahan terhadap adanya hukum tetap (nomos, nomothetic) sebagaimana yang berlaku pada ilmu pengetahuan alam.

Lewat hukum tetap ini, sebuah peristiwa dapat diramalkan, bahkan “dipaksakan” terjadinya. Alhasil, ketika ramalannya tak terbukti, upaya pemenuhan dilakukan untuk membuktikannya. Ini tampak jelas pada kaum berideologi Marxisme yang menyerang brutal lawan ideologinya saat revolusi kaum buruh yang ditindas pemilik modal tidak terbukti.

Kebrutalan dibangun untuk mencapai hal yang telah diramalkannya sebagai revolusi. Terbawa pengalaman hidupnya itu, Popper menekankan perlunya sikap masyarakat yang terbuka terhadap pengetahuan. Terdapat ancaman serius yang terbawa oleh sikap masyarakat yang tertutup pada status ilmu pengetahuan. Ancamannya berupa kebenaran dari hasil tafsir kelompok totalitarian. Ini adalah sebuah jenis kebenaran tertutup yang justru mengungkung kebebasan masyarakat untuk melakukan pengujian.

Terhadap adanya dua tipe ilmu pengetahuan (yang bisa salah dan bisa benar dengan ilmu pengetahuan historisme yang harus selalu benar), dibedakan tegas antara ilmu pengetahuan dan ideologi. Jika masih bersifat pengetahuan, suatu pernyataan harus siap disalahkan. Tentu saja dengan metode tertentu yang memadai. Sementara pada ideologi, kesempatan menyalahkan itu tidak diberikan.

Terhadap ilmu pengetahuan yang disalahkan, ketika terbukti salah, ia harus dilenyapkan dari pewacanaan teoritis. Ilustrasi yang relevan dengan ini digambarkan oleh Popper. Ketika ada suatu teori menyatakan bahwa semua angsa berwarna putih, teori tersebut gugur dengan ditemukannya satu saja angsa berwarna hitam.

Dalam kenyataannya pun, wacana teoritis yang telah bertahan luas selama berabad-abad di Eropa ini benar-benar gugur manakala ditemukan adanya satu angsa berwarna hitam. Sebaliknya, saat menyalahkan pernyataan ilmu pengetahuan lantaran tidak terdapat bukti yang memadai, maka pernyataan diterima dengan lebih kuat dan lebih luas.

Terjadilah peneguhan terhadap ilmu pengetahuan. Lewat proses pengujian, ilmu pengetahuan mengalami dinamika dan perkembangan. Akan halnya ideologi, ia bersifat final, menolak pengujian, apalagi disalahkan dan mutlak sebagaimana diramalkan. Bagaimana jika tidak terjadi? Tentu masyarakatnya yang salah. Ini terbukti berulang-ulang dalam kaitannya dengan ideologi Marxisme.

Bagaimana dengan masyarakat digital? Untuk masyarakat digital, morfologinya adalah masyarakat jejaring. Menurut pemikiran Manuel Castells (2000), masyarakat ini bersifat informasional, global, dan terjejaring. Disebut informasional lantaran informasi merupakan sumber pemaknaan, pengalaman, basis produksi, distribusi, konsumsi, hingga kekuasaan.

Dengan pernyataan lain, semua hal tak bisa dilepaskan dari informasi, mulai dari ekonomi, politik, sosial, hingga budaya. Sementara, sifat global terbentuk oleh masifnya pemanfaatan mikro-elektronik yang penampilannya berupa perangkat dengan mobilitas tinggi. Ini meniscayakan jangkauan yang bersifat mendunia sehingga cakupan dunia usaha adalah konsumen internasional.

Pengaruh politik pun akan mencapai konstituen antarbenua dan budaya menular melampaui sekat-sekat negara.
Ciri terakhir yang disebut terjejaring merupakan implikasi dari ciri informasional maupun ciri global yang tercapai oleh keterhubungan manusia-manusia sebagai pusat dengan kepentingan sebagai penghubung. Seluruhnya itu melewati batas ruang dan waktu.

Dalam morfologi masyarakat ini, pengetahuan terbentuk sebagai hasil interaksi antar-aktor dalam ekosistem jejaring. Walaupun tak disebutkan secara eksplisit, pembentukannya tak bisa dilepaskan dari proses konstruksi realitas sosial. Inilah proses yang relevan dengan sosiologi pengetahuan.

Proses ini diajukan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Keduanya mengajukan gagasan dalam buku yang diterbitkan pada 1966 berjudul The Social Construction of Reality. Dalam proses ringkasnya, akibat adanya kesenjangan antara realitas subjektif dan realitas objektif, subjek melakukan eksternalisasi. Proses itu dimulai dari bertanya, mengonfirmasi, menguji, hingga berupaya untuk menemukan jawaban.

Saat melakukan eksternalisasi itu, tanya yang tersimpan dalam benak subjek diwujudkan sebagai simbol atau aktivitas konkret sehingga proses ini disebut sebagai objektivasi. Manakala aktivitas eksternalisasi dan objektivasi memperoleh jawaban, terjadi tahap selanjutnya yang bernama internalisasi. Subjek akan menyerap realitas sebagai pengetahuan.

Pada masyarakat digital, keseluruhan proses pembentukan pengetahuannya terjadi dalam ruang dan waktu digital. Berbeda dari konsep ruang dan waktu nyata, konsep ruang digital adalah space of flows alias ruang-ruang aliran. Ini adalah sebuah ruang yang terjadi akibat adanya aliran sebagai implikasi terbentuknya jejaring.

Sementara, konsep waktu digital adalah timeless time atau sebuah waktu yang tak mewaktu. Konsep ini berbeda dari waktu dalam bentuk jam (clock time). Akibatnya, kenyataan yang terserap oleh masyarakat jejaring adalah kenyataan virtual.
Namun, virtualitasnya berbeda dari masyarakat aktual yang merupakan sekadar ekstensi dari kenyataan. Pada masyarakat jejaring, virtualitas ini berupa real virtuality atau kemayaan yang nyata.

Sederhananya, proses interaksi yang dilakukan para aktor terjadi tanpa perlu melakukan perpindahan ruang. Interaksi terjadi dengan memanfaatkan medium digital berupa web, media sosial, maupun aplikasi. Ini disebut sebagai ruang-ruang aliran. Ketika aktor sedang berada di satu ruang aliran tertentu, pada saat bersamaan ia bisa berada dalam ruang-ruang aliran lain.

Dalam konsep ruang dan waktu aktual, berada dalam satu ruang menjadikannya berada pada waktu tertentu. Konsep ruang dan waktu tak terpisah. Dalam medium digital, dimungkinkan bagi aktor untuk berada di ruang aliran yang berbeda-beda pada satu waktu. Itulah sebabnya disebut sebagai waktu yang tak mewaktu. Sebab, satu waktu tak hanya menempatkan aktor di satu ruang tertentu. Ini dimungkinkan terjadi karena seluruhnya ada dalam skema virtualitas dan kemayaan.

Namun demikian, kemayaan ini dapat menimbulkan implikasi yang nyata. Ilustrasi nyatanya terjadi dalam wujud interaksi antar-penggagas pemakzulan pemimpin Mesir dalam demo Arab Spring pada 10 Desember 2010. Aktivitas utamanya terjadi lewat platform Twitter, sebuah ruang aliran yang berhasil menggalang jutaan pengikut.

Dari proses konstruksi realitas dalam ruang digital ini, terakumulasi pengetahuan yang menyatakan bahwa pemimpin Mesir saat itu layak ditumbangkan. Namun, dapat dibayangkan pula bahwa pada saat bersamaan, ribuan demonstran virtual mengajukan tuntutannya sambil berada dalam ruang-ruang aliran lain. Mereka melakukan transaksi keuangan, mengomentari pertandingan sepak bola, atau berada dalam aktivitas pengetahuan lainnya.

Akan tetapi, apa yang terlihat? Virtualitas gerakan rakyat Mesir mampu menghasilkan hal yang nyata. Pagi hari 11 Desember 2010, jutaan orang telah berkumpul di At Tahrir Plaza. Kumpulan masyarakat ini hendak menuntut perubahan. Sebuah virtualitas yang pada akhirnya benar-benar menumbangkan pemimpin Mesir. Inilah bentuk nyata dari open society masyarakat digital yang bersifat virtual, tetapi mampu menghasilkan implikasi nyata.

Lalu, apa musuh masyarakat terbuka digital yang jadi dilema? Itulah ideologi totalitarian yang dijalankan oleh kelompok yang hendak merebut kebebasan. Mekanismenya, akumulasi pengetahuan yang membentuk ilmu pengetahuan sengaja dicampur dengan informasi palsu alias hoaks. Alhasil, ilmu pengetahuan yang terbentuk akan terbelokkan oleh kehendak kaum totaliter. Pada akhirnya, ini akan mengendalikan hakikat kebebasan masyarakat terbuka.Dr. Firman Kurniawan S.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6355 seconds (0.1#10.140)