Pakar HTN: Pembuatan Perppu Dinilai Punya Dampak Negatif

Minggu, 03 November 2019 - 20:24 WIB
Pakar HTN: Pembuatan...
Pakar HTN: Pembuatan Perppu Dinilai Punya Dampak Negatif
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, I Gede Panca Astawa, menilai pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) bakal berdampak negatif terhadap proses yustisial Mahkamah Konstitusi (MK). Dan hal tersebut tidak terlepas dari historis pilar kekuasaan yang mengenal Distribution of Powers.

"Sejak awal, dalam pembahasan UUD 1945 di BPUPKI, the founding fathers kita dalam membangun atau mendirikan Indonesia merdeka, tidak didasarkan pada dokrin Trias Politica dalam artian pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkan didasarkan pada pembagian kekuasaan (distribution of power) yang di back up dengan mekanisme check and balances system," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/11/2019).

Dengan dasar pemikiran yang demikian itu, lanjut dia, oleh founding fathers digariskan kemudian sistem pemerintahan Presidensil, dengan memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden dengan disertai jaring - jaring pengaman agar kekuasaan Presiden terkontrol, atau tidak menjadi absolut untuk mencegah Presiden bertindak otoriter.

Jaring - jaring pengaman yang dimaksud, di antaranya adalah pada situasi negara dalam keadaan normal, adanya sharing power antara Presiden dan DPR dalam pembentukan UU, adanya pengawasan DPR terhadap pelaksanaan UU yang dilakukan oleh Presiden.

Kemudian, adanya pranata impeachment yang bisa diajukan DPR ke MK apabila Presiden melakukan pelanggaran hukum atas hal-hal yang ditegaskan dalam Pasal 7 A UUD 1945 serta melanggar Sumpah Jabatan Presiden (vide Pasal 9 UUD 1945)

"Adanya pengawasan DPR terhadap Perpu yang diterbitkan Presiden. Artinya DPR bisa menyetujui atau menolak Perpu yang telah diterbitkan Presiden. Apabila DPR menyetujui, maka Perppu menjadi UU. Sebaliknya bila DPR menolak, Perppu yang telah diterbitkan Presiden itu harus dicabut," ungkapnya. (Baca juga: Presiden Tolak Perppu, Pakar: Uji Materil Pilihan Legitimasi yang Konstitusional )

Lebih lanjut dia mengatakan, Perppu adalah wewenang istimewa atau wewenang bebas (Diskresi atau vrijbevoegdheid) Presiden yang diberikan secara atributif oleh Pasal 22 UUD 1945. "Dikatakan istimewa, karena dalam pembuatan atau pembentukannya tidak melibatkan dan meminta persetujuan dari institusi negara manapun, namun sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden untuk menerbitkan Perppu, termasuk mempertimbangkan alasan-alasan perlu atau tidak perlunya diterbitkan Perppu," katanya.

Karena itu, lanjut dia, Presiden sepenuhnya punya ruang pertimbangan yang bersifat subyektif. Dia melanjutkan, hal itu dimaksudkan agar Presiden bisa dengan cepat dapat memulihkan keadaan abnormal, Hal ikhwal kegentingan yang memaksa menjadi normal kembali.

"Hal Ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai syarat untuk terbitnya Perpou harus dimaknai sebagai keadaan mendesak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan negara dalam keadaan darurat, timbul huru hara, kekacauan, bencana alam, dan lain sebagainya," paparnya.

Terkait dengan keinginan sekelompok orang yang menghendaki agar Presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, dinilainya justru pemikiran yang secara diametral bertentangan dengan paham konstitusi (Constitutionalism).

"Kenapa ? Karena, pertama, secara konstitusional Presiden tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan UU. Kedua, wewenang untuk membatalkan suatu UU ada pada Mahkamah Konstitusi melalui pranata Judicial Review. Ketiga, tidak hal mendesak yang terkait dengan keberadaan KPK," ujarnya. (Baca juga: Presiden Jokowi Pastikan Tak Ada Perppu KPK )

Dia berpendapat, Pimpinan KPK masih menjabat, tugas - wewenang KPK masih berjalan. Kemudian, Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan yang dilakukan KPK tetap berlangsung, demikian juga hal-hal lain yang ada pada KPK masih berjalan normal.

"Bahwa kemudian ada pihak -pihak yang berkeberatan terhadap substansi UU No.19/2019 tentang KPK yang dinilai melemahkan KPK, UUD 1945 sudah membuka salurannya dengan mengajukan gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, bukan dengan menyandera atau mem fait accompli Presiden untuk menerbitkan Perppu pembatalan UU No.19/2019 tentang KPK. Upaya dan pemikiran yang demikian itu sama saja dengan menjerumuskan Presiden untuk bertindak ultra vires sebagai bentuk tindakan Penyalahgunaan wewenang (abuse of power)," pungkasnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9246 seconds (0.1#10.140)