Jokowi dan Tantangan Radikalisme

Kamis, 31 Oktober 2019 - 07:07 WIB
Jokowi dan Tantangan Radikalisme
Jokowi dan Tantangan Radikalisme
A A A
Muhtadin AR ASN Kementerian Agama,

Mahasiswa Pascasarjana PTIQ Jakarta

SAAT pengumuman nama-nama menteri Kabinet Indonesia Maju di tangga Istana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut tiga menteri yang diberi tugas khusus untuk menyelesaikan persoalan radikalisme. Mereka yakni Menko Polhukam, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Ketegasan Presiden memerintahkan ketiga menteri untuk memprioritaskan program pencegahan dan pemberantasan radikalisme tentu perlu diapresiasi. Sebab, selama ini penanganan radikalisme yang dilakukan oleh beberapa lembaga berwenang hanya berjalan sporadis dan parsial.

Dampaknya, radikalisme yang sejak dahulu menjadi musuh bersama (common enemy) bukan saja sangat sulit diurai hulu spiral persebarannya di masyarakat. Akan tetapi, radikalisme justru semakin mewabah dan menyebar di berbagai lembaga pemerintahan.

Padahal, sejak dahulu Presiden Jokowi sudah mengetahui dan memprediksi bahwa radikalisme sangat berpotensi dapat mengancam sendi-sendi kebangsaan dan keindonesiaan. Namun, apa yang diketahui Presiden Jokowi tidak terimplementasi dengan baik di jajaran bawahannya. Dan, yang terjadi antarlembaga seolah-olah "tak acuh" dengan keseriusan Presiden yang sejak dahulu menyatakan "perang" terhadap radikalisme.Bahaya Laten Radikalisme Data riset mengenai fenomena radikalisme di Indonesia sangat melimpah sejak tiga tahun terakhir. Gusdurian menemukan bahwa hanya dalam waktu satu bulan (26 Oktober 2016 hingga 26 November 2016), 8.049 kicauan memuat pesan-pesan ekstremisme. Yang paling banyak adalah kicauan yang mengandung kata "kafir" (5.173 kicauan). Riset P3M (2017) menyebutkan bahwa dari 100 masjid pemerintah (Kementerian, Lembaga Negara dan BUMN), 41 di antaranya terindikasi radikal.

Riset PPIM UIN Jakarta (2017) menemukan fakta bahwa 91,23% pengajar, pelajar, dan mahasiswa setuju syariat Islam "formal" perlu diterapkan dalam bernegara. Survei Alvara Research Center (2017) juga mengindikasikan hal serupa bahwa di kalangan mahasiswa ada kecenderungan pemahaman dan sikap yang intoleran dan radikal yang ditunjukkan dengan beberapa indikator pertanyaan, yakni persentase mahasiswa yang tidak mendukung pemimpin nonmuslim cukup besar 29,5%; mahasiswa yang setuju dengan negara Islam 23,5%; dan persentase mahasiswa setuju dengan khilafah 17,8%.

Pada Juli 2018, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut ada tujuh perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme. Riset Setara Institute (Februari-April 2019) menyebut 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham radikal.

Data-data di atas menunjukkan radikalisme menjadi bahaya laten yang mengancam masa depan rakyat Indonesia. Kepedulian beberapa organisasi tertentu yang begitu aktif dan intensif melakukan pencegahan dan perlawanan terhadap radikalisme tampak tak memperoleh sambutan yang serius dari kalangan yang berwenang. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya, tidak sedikit lembaga berwenang seperti birokrasi pemerintah dan pegawai negeri yang diam-diam terpapar radikalisme.

Mencermati centang perenang radikalisme yang sedemikian laten terjadi dalam berbagai realitas sosial, baik di lingkup masyarakat, sekolah, lembaga swasta, lembaga pemerintah, bagaimanakah ketiga kementerian tersebut mampu mengemban tugas dan instruksi Presiden? Agenda apa yang bisa mereka lakukan secara sinergis untuk menangani radikalisme? Hemat penulis, setidaknya, dua hal yang bisa dijadikan road map pengenalan dan pencegahan radikalisme.




Pertama, karakter radikalisme yang sekarang sedang berkembang. Kedua, latar belakang dan pendekatan yang kemungkinan akan digunakan para menteri untuk menyelesaikan persoalan radikalisme ini.

Dua hal ini dapat digunakan sebagai early warning system untuk memantau dan mencermati gerakan radikalisme yang mulai dilakukan secara terbuka. Penggerak dan penggiat radikalisme yang menggunakan berbagai forum pengajian dan media sosial perlu dipantau agar pergerakan mereka tidak semakin besar.

Selain itu, di lingkup sekolah dan berbagai lembaga pendidikan, di mana radikalisme justru disebarkan oleh para gurunya juga harus diawasi secara serius. Sebab, dengan pola pengajaran yang tak terkontrol, apalagi beberapa sekolah yang beririsan dengan ideologi transnasional merasa sangat leluasa untuk menebar virus-virus radikalisme kepada para murid-muridnya.

Para guru membingkai berbagai narasi absolutism agama dengan modus membenarkan keyakinannya dan menyalahkan keyakinan pihak lain. Dampaknya, secara perlahan-lahan para muridnya terbius dengan sesat pikirnya yang mengglorikasi jihad sebagai satu-satunya cara untuk melawan siapa pun yang dianggap berbeda.

PR 3 Kementerian

Berdasarkan sengkarut persoalan radikalisme yang semakin nyata mengancam negara, tentu ketiga kementerian tidak boleh kecil hati. Mereka harus percaya diri bahwa instruksi Presiden harus dijalankan dengan baik dan maksimal. Sebab, bila mereka tidak bisa menjalankan dengan baik, konsekuensinya bukan hanya akan dicopot, tetapi juga kredibilitas mereka akan dinilai negatif oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, hemat penulis, ada tiga kerangka besar yang patut dipertimbangkan oleh tiga kementerian.




Pertama, Menko Polhukam harus konsisten dengan spesialisasi kewenangannya dalam mengatasi persoalan radikalisme dalam perspektif hukum. Terutama persoalan radikalisme yang sudah lama mewabah di tubuh ASN (Aparatur Sipil Negara) di kementerian/lembaga.





Kedua, dengan posisi dan latar belakang menteri agama yang militer dan menteri dalam negeri yang polisi tentu harus merancang cara dan pendekatan yang taktis dan strategis dalam mencegah radikalisme. Meskipun kedua sosok yang menduduki dua kementerian ini tidak mempunyai latar kepakaran yang mumpuni untuk menjalankan roda kebijakannya, bukan berarti mereka tidak bisa menggunakan otoritasnya dalam mencegah dan mengatasi radikalisme. Namun, dalam teori psikologi dijelaskan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh latar belakangnya, asupan pengetahuannya, dan pengalamannya.

Ketiga, konsolidasi dan sinergi dengan berbagai elemen bangsa sehingga pencegahan dan penangkalan radikalisme bisa dilakukan secara masif. Sebab, masalah radikalisme bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga seluruh elemen bangsa ini. Semoga ketiga kementerian yang diberikan tugas khusus untuk memberantas radikalisme bisa menjalankan tugas dengan baik.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4546 seconds (0.1#10.140)