Prioritas Politik Luar Negeri Jilid 2

Rabu, 23 Oktober 2019 - 06:53 WIB
Prioritas Politik Luar Negeri Jilid 2
Prioritas Politik Luar Negeri Jilid 2
A A A
Dinna Wisnu PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu

PELANTIKAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode kedua telah terlaksana, dan Presiden juga akan mengumumkan pada hari ini struktur kabinet yang baru. Ada banyak target yang ditekankan dalam pidato pada Minggu (20/10/2019) lalu itu, tetapi dua di antaranya adalah pengembangan ekonomi digital dan usaha keluar dari perangkap jebakan negara kelas.

Kedua tujuan itu adalah sebagian dari upaya pemerintahan Jokowi jangka panjang untuk mempersiapkan negara masuk menjadi kategori lima ekonomi terbesar dunia dan tingkat kemiskinan mendekati 0%.

Mempersiapkan diri menjadi negara dengan perekonomian terbesar tidak hanya pekerjaan rumah di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Persiapan untuk menghadapi jangka panjang dalam politik luar negeri yang paling nyata adalah mempersiapkan infrastruktur sumber daya manusia (SDM) diplomat serta jaringan formal dan informal.

Persiapan diplomasi jangka panjang juga tidak bisa dilakukan secara mendadak, tetapi harus bertingkat dan menyeluruh karena diplomasi pada intinya adalah seni membuat negara-negara lain mengikuti tujuan kita tanpa merasa terpaksa.

Tantangan jangka panjang dapat dirumuskan dengan lebih dalam dan mengambil waktu yang panjang, tetapi tantangan jangka pendek menuntut tindakan segera. Tantangan jangka panjang itu tidak bisa dilepaskan dengan tantangan jangka pendek yang harus diambil keputusannya dengan cepat dan tepat dalam satu atau dua tahun pertama kabinet baru.

Tantangan jangka pendek yang paling mendesak adalah merebut peluang-peluang taktis-strategis yang tercipta karena konflik tak berkesudahan antara Amerika Serikat (AS) dan China, kegalauan yang berkembang antara Uni Eropa dan Inggris, pragmatisnya negara-negara anggota ASEAN dan pusingnya negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang, serta Australia dalam menyikapi AS sebagai patron politik mereka selama ini.

Dalam konteks perang dagang AS-China, terlepas apakah upaya impeachment Trump berhasil atau tidak dan prediksi hasil pemilu AS pada 2020, hubungan kedua negara telah berada di posisi yang paling rendah. Kedua negara menunjukkan dan berusaha membuktikan tidak saling bergantung. Mereka dengan berbagai cara menunjukkan siap untuk melindungi diri sendiri secara militer dan lebih kuat secara ekonomi serta sosial daripada kalau mereka bekerja sama.

Perang dagang itu telah menciptakan peluang-peluang yang menguntungkan. AS secara umum melakukannya dengan cara agresif membangun hubungan bilateral dengan negara-negara tertentu yang potensial menguntungkan buat mereka.

Strategi ini bagi negara-negara mitra AS menjadi kesempatan kedua untuk menegosiasikan ulang kesempatan yang merugikan mereka. Di sisi lain, China mengambil strategi dengan membanjiri pembangunan negara-negara yang menjadi mitra mereka dengan kerja sama investasi dan bantuan likuiditas keuangan mereka yang besar.

Beberapa negara seperti di Uni Eropa memilih untuk pragmatis. Mereka menangkap peluang kerja sama dengan China sebagai langkah taktis dengan tetap tujuan akhir adalah melakukan penetrasi ke pasar AS.

Misalnya Jerman, negara terkaya dan terbesar di Uni Eropa, pun tidak menyia-siakan kesempatan untuk menjadikan China sebagai pemasok terbesar untuk produk mobil, vehicle parts, crude petroleum, medicaments (yakni aneka obat-obatan, antibiotik, penisilin, insulin, hormon, streptomycins, alkaloid) dan vaksin/toksin, untuk kemudian memperkuat ekspornya lagi ke AS dan Prancis serta negara-negara lain di Eropa.

Vietnam pun mengambil langkah yang mirip. Mereka mengimpor terbanyak dari China dan kemudian mengekspor terbanyak ke AS untuk produk peralatan broadcasting, telepon, integrated circuits, tekstil, dan alas kaki.

Di sisi lain, Thailand mengimpor terbanyak dari China untuk kemudian mengekspor lagi terbanyak ke China dan nomor dua ke AS. Jenis produk yang diekspor Thailand mirip dengan Vietnam.

Sementara itu, negara seperti Australia yang secara politik pertahanan bergantung pada AS karena situasi di dalam negerinya membuatnya sebagai eksportir barang-barang pertambangan (bijih besi, briket batu bara, emas, minyak gas) dan pertanian (gandum), maka tujuan utama ekspornya justru ke China dan negara-negara mitra pertahanan keamanan AS seperti Jepang, Korea Selatan, dan India. Australia juga mengimpor terbanyak dari China, setelah itu barulah dari AS.

Negara-negara tersebut adalah contoh bagaimana mereka dapat sigap mengambil peluang yang ada di depan mata. Tidak mudah, tetapi tidak berarti tidak mungkin. Uni Eropa yang terkenal dengan birokrasinya yang besar dapat secara cepat mengambil keputusan pragmatis, demikian pula Vietnam yang secara ideologis berseberangan dengan AS.

Indonesia seharusnya juga bisa melakukan hal yang sama. Kita harus mulai menyelesaikan kerangka kerja sama kemitraan strategis dan komprehensif dengan China maupun AS. Indonesia saat ini belum punya akses istimewa masuk ke pasar China maupun AS dibandingkan negara lain yang menjadi kompetitor seperti Vietnam, Thailand, atau Malaysia.

Indonesia masih belum dapat menyeimbangkan permintaan pasar mana yang dapat dipenuhi dari produksi dari dalam negeri dan permintaan pasar mana yang atau harus berjejaring dengan negara-negara lain untuk melakukan hal tersebut. Kerja-kerja mengurai peluang dan menjembatani jalinan lintas kerangka kerja sama menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi kabinet baru.

Kementerian Luar Negeri adalah dirigen bagi kementerian-kementerian lain yang menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan kerangka kerja sama dengan negara-negara lain. Masalahnya, Kementerian Luar Negeri tidak berwenang melakukan perubahan di bidang insentif untuk bisnis, selain menginspirasi dalam rapat-rapat kabinet. Maka itu, identifikasi peluang-peluang kerja sama di bidang peningkatan kapasitas SDM dengan model-model inovatif perlu diperkuat.

Peluang-peluang yang tercipta secara cepat juga akan hilang apabila tidak disertai dengan SDM diplomat yang mumpuni. Pemerintah mungkin perlu melakukan revitalisasi dan perampingan kantor-kantor perwakilan Indonesia dan menempatkan SDM yang sesuai dengan skala prioritasnya.

Kantor-kantor perwakilan bisa dikurangi karena ada sejumlah kantor di luar negeri yang tidak beroperasi baik akibat kekurangan staf dan tidak punya arah prioritas. Staf-staf madya dan senior perlu ditempatkan secara strategis di tempat-tempat yang menjadi target pintu masuk penetrasi produk-produk Indonesia ataupun produk negara-negara lain yang diberi nilai tambah oleh Indonesia.

Di sini, negara-negara ASEAN wajib diperkuat oleh kehadiran staf-staf andal yang ulung dalam teknik persuasi. Demikian pula dengan di negara-negara di mana AS dan China berhasil membangun kemitraan baik seperti di Jerman, Italia, Australia, Jepang, Korea Selatan, India, serta dengan negara-negara penghubung benua seperti Meksiko, Turki, Bahrain, Maroko, Mesir, dan Qatar.
Sektor-sektor jasa seperti pendidikan, perbankan, asuransi, reparasi menjadi area kegiatan yang juga wajib dieksplorasi karena kemajuan teknologi tidak bisa semua diikuti oleh daya beli, sehingga sejumlah negara bergantung pada jasa-jasa seperti ini untuk meningkatkan kapasitas, mengurangi risiko, atau mereparasi barang-barang lama untuk menghemat biaya.
Perubahan internal di Kementerian Luar Negeri dan kementerian terkait mungkin haruslah cepat. Seperti diucapkan oleh Presiden Jokowi bahwa, “jangan sampai kita terjebak dalam rutinitas yang monoton. Harusnya inovasi bukan hanya pengetahuan. Inovasi adalah budaya.”

Inovasi dalam diplomasi luar negeri dibutuhkan agar Indonesia bisa menjadi pemain yang penting lagi baik di Asia Tenggara maupun di dunia. Inovasi dalam diplomasi luar negeri dibutuhkan agar Indonesia bisa menyikapi perubahan yang berkembang dalam politik luar negeri dan tidak lagi dalam hitungan tahun atau bulan, tetapi sudah hari per hari.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5165 seconds (0.1#10.140)