FIR dan Kedaulatan
A
A
A
Abdul Kadir Jailani
Dubes RI untuk Kanada, Wakil Tetap RI di ICAO
MENYUSUL disepakatinya kerangka kerja perundingan Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura, wacana mengenai keterkaitan kedaulatan dengan ruang udara yang digunakan untuk memberikan pelayanan lalu lintas udara semakin mengemuka. Tulisan ini akan membahas persoalan tersebut, sebagai suatu konsep yang dinamis dan kontekstual, dari perspektif aturan-aturan yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).
Pada awalnya pengelolaan FIR di berbagai belahan dunia memang ditetapkan berdasarkan batas wilayah suatu negara. Namun, sejak 1962 telah terjadi perubahan pendekatan yang fundamental. Didorong oleh faktor kemajuan teknologi dan peningkatan rute penerbangan yang sangat pesat, ICAO melihat adanya urgensi untuk menata ulang pengelolaan ruang udara guna pelayanan lalu lintas penerbangan.
Melalui proses pembahasan yang sangat komprehensif, negara-negara anggota ICAO (termasuk Indonesia) menyepakati Resolusi Majelis ICAO Nomor Resolusi ICAO 14/24 tahun 1962 tentang Delineation of Air Traffic Areas Extending over National Boundaries. Resolusi tersebut pada pokoknya meminta negara-negara anggota ICAO untuk meninjau kembali FIR dengan lebih memperhatikan aspek teknis dan operasional penerbangan daripada pertimbangan batas wilayah suatu negara.
Resolusi tersebut secara khusus menekankan lima hal penting yang perlu diperhatikan oleh negara-negara dalam melakukan peninjauan kembali FIR. Pertama, pengelolaan FIR suatu wilayah udara dapat didelegasikan kepada negara lain sehingga pengelolaan FIR oleh negara tersebut dapat melampaui batas wilayah nasionalnya dan meliputi sebagian/seluruh wilayah udara negara yang mendelegasikan.
Kedua, pendelegasian tersebut tidak berarti mengakibatkan pengurangan kedaulatan nasional. Alasannya, pendelegasian dimaksud terbatas hanya pada kewenangan untuk memberikan informasi mengenai lalu lintas udara. Ketiga, pendelegasian dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sebelumnya oleh negara yang mendelegasikan. Keempat, hak negara untuk menghentikan perjanjian pendelegasian FIR dimaksud. Kelima, kemungkinan pembentukan joint air traffic services authority yang melayani ruang udara beberapa negara.
Menurut Civil Air Navigation Services Organization, pendelegasian tersebut merupakan suatu langkah yang tidak bertentangan dengan Konvensi Chicago 1944. Meskipun Pasal 1 Konvensi secara tegas menyatakan bahwa negara memiliki "complete and exclusive sovereignty" terhadap ruang udara di atas wilayahnya, konvensi tersebut memungkinkan pendelegasian kewenangan pengelolaan FIR kepada negara lain.
Hal ini dimungkinkan karena Pasal 28 Konvensi tidak mewajibkan suatu negara untuk memberikan pelayanan lalu lintas udara di wilayah udaranya. Sebaliknya, pasal tersebut memberi peluang kepada negara untuk menetapkan modalitas pemberian pelayanan lalu lintas penerbangan di wilayah udaranya (mengelola sendiri atau mendelegasikan kepada negara lain berdasarkan pertimbangan standar keselamatan dan efisiensi penerbangan yang ditetapkan oleh ICAO). Karena itu, pada akhirnya Annex 11 Konvensi juga diamendemen dengan memasukkan elemen-elemen penting resolusi ICAO tersebut. Dengan demikian, setiap upaya penataan ulang FIR sudah sepatutnya dilakukan dengan mengacu pada Annex 11 tersebut.
Setelah melalui proses penataan ulang yang lebih memperhatikan aspek teknis dan operasional, saat ini pengelolaan ruang udara di seluruh dunia oleh ICAO dibagi menjadi sekitar 405 FIR yang ruang lingkupnya tidak selalu mengikuti batas wilayah nasional negara. Banyak negara yang mendelegasikan pengelolaan FIR di sebagian wilayah udaranya ke negara lain. Bahkan, paling tidak terdapat 55 negara mendelegasikan pengelolaan pelayanan lalu lintas penerbangan di seluruh wilayah udaranya ke negara lain (pengelolaan pelayanan lalu lintas penerbangan di seluruh wilayah udara Timor Leste diserahkan kepada FIR Ujung Pandang).
FIR dan Keamanan Nasional
Keterkaitan antara FIR dan keamanan nasional juga merupakan salah satu isu yang menjadi persoalan dalam pembahasan di ICAO pada 1962 tersebut. Meskipun ICAO telah menyepakati pendelegasian pengelolaan lalu lintas penerbangan yang melampaui wilayah nasional, masyarakat internasional juga menyadari bahwa persoalan keamanan nasional selalu mendapat perhatian khusus dalam proses perundingan FIR oleh berbagai negara.
Karena itu, dalam praktik, perjanjian internasional tentang pendelegasian FIR juga disertai klausul tentang penarikan kembali pendelegasian dalam situasi krisis yang mengancam keamanan suatu negara. Selain itu, pendelegasian tersebut juga disertai modalitas koordinasi antara militer dengan pihak pelayanan lalu lintas udara. Dalam kaitan ini, ICAO telah mengeluarkan Circular 330 Civil-Military Cooperation in Air Traffic Management yang memuat panduan dan praktik berbagai negara.
Pendelegasian ini tidak mengurangi kewenangan suatu negara dalam menjaga wilayah udaranya. Semua pesawat udara milik negara asing dan pesawat sipil asing yang tidak berjadwal yang akan memasuki wilayah udara suatu negara tetap memerlukan clearance sesuai Konvensi Chicago.
Pendelegasian tersebut pada pokoknya juga tidak memengaruhi kebebasan angkatan udara negara tersebut di ruang udara yang didelegasikan. Namun demikian, Pasal 3 Konvensi Chicago mensyaratkan agar negara ketika mengeluarkan aturan untuk pesawat udara milik negara tersebut seyogianya juga memperhatikan ketentuan keselamatan yang berlaku untuk pesawat sipil.
Kesimpulan
Kerangka kerja perundingan FIR dengan Singapura merupakan sebuah langkah awal diplomasi yang dilakukan pemerintah untuk menata ulang pengelolaan ruang udara yang digunakan untuk memberikan pelayanan lalu lintas udara di atas Natuna, Tarempa, dan Kepulauan Riau. Pengelolaan ruang udara tersebut pada pokoknya terbatas hanya mengenai penyediaan informasi penerbangan guna mencegah terjadinya tabrakan di udara dan mempercepat serta menjamin terwujudnya lalu lintas penerbangan yang teratur.
Meskipun menjaga kedaulatan nasional selalu menjadi pertimbangan utama dalam setiap pelaksanaan hubungan luar negeri, dalam melakukan perundingan dengan Singapura tentu Indonesia tetap harus tetap menghormati ketentuan-ketentuan internasional. Karena itu, sudah sepatutnya upaya penataan ulang FIR lebih mengedepankan pertimbangan teknis dan operasional penerbangan sipil sebagaimana telah ditetapkan oleh ICAO.
Di tingkat internasional, perdebatan mengenai kedaulatan dalam konteks FIR bukan merupakan persoalan baru. Persoalan tersebut telah diselesaikan di ICAO sejak 1962. Negara-negara anggota ICAO pada pokoknya telah menyepakati bahwa kedaulatan adalah sebuah konsep yang dinamis dan kontekstual yang seyogianya diterapkan secara proporsional dalam penataan ulang FIR.
Dubes RI untuk Kanada, Wakil Tetap RI di ICAO
MENYUSUL disepakatinya kerangka kerja perundingan Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura, wacana mengenai keterkaitan kedaulatan dengan ruang udara yang digunakan untuk memberikan pelayanan lalu lintas udara semakin mengemuka. Tulisan ini akan membahas persoalan tersebut, sebagai suatu konsep yang dinamis dan kontekstual, dari perspektif aturan-aturan yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).
Pada awalnya pengelolaan FIR di berbagai belahan dunia memang ditetapkan berdasarkan batas wilayah suatu negara. Namun, sejak 1962 telah terjadi perubahan pendekatan yang fundamental. Didorong oleh faktor kemajuan teknologi dan peningkatan rute penerbangan yang sangat pesat, ICAO melihat adanya urgensi untuk menata ulang pengelolaan ruang udara guna pelayanan lalu lintas penerbangan.
Melalui proses pembahasan yang sangat komprehensif, negara-negara anggota ICAO (termasuk Indonesia) menyepakati Resolusi Majelis ICAO Nomor Resolusi ICAO 14/24 tahun 1962 tentang Delineation of Air Traffic Areas Extending over National Boundaries. Resolusi tersebut pada pokoknya meminta negara-negara anggota ICAO untuk meninjau kembali FIR dengan lebih memperhatikan aspek teknis dan operasional penerbangan daripada pertimbangan batas wilayah suatu negara.
Resolusi tersebut secara khusus menekankan lima hal penting yang perlu diperhatikan oleh negara-negara dalam melakukan peninjauan kembali FIR. Pertama, pengelolaan FIR suatu wilayah udara dapat didelegasikan kepada negara lain sehingga pengelolaan FIR oleh negara tersebut dapat melampaui batas wilayah nasionalnya dan meliputi sebagian/seluruh wilayah udara negara yang mendelegasikan.
Kedua, pendelegasian tersebut tidak berarti mengakibatkan pengurangan kedaulatan nasional. Alasannya, pendelegasian dimaksud terbatas hanya pada kewenangan untuk memberikan informasi mengenai lalu lintas udara. Ketiga, pendelegasian dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sebelumnya oleh negara yang mendelegasikan. Keempat, hak negara untuk menghentikan perjanjian pendelegasian FIR dimaksud. Kelima, kemungkinan pembentukan joint air traffic services authority yang melayani ruang udara beberapa negara.
Menurut Civil Air Navigation Services Organization, pendelegasian tersebut merupakan suatu langkah yang tidak bertentangan dengan Konvensi Chicago 1944. Meskipun Pasal 1 Konvensi secara tegas menyatakan bahwa negara memiliki "complete and exclusive sovereignty" terhadap ruang udara di atas wilayahnya, konvensi tersebut memungkinkan pendelegasian kewenangan pengelolaan FIR kepada negara lain.
Hal ini dimungkinkan karena Pasal 28 Konvensi tidak mewajibkan suatu negara untuk memberikan pelayanan lalu lintas udara di wilayah udaranya. Sebaliknya, pasal tersebut memberi peluang kepada negara untuk menetapkan modalitas pemberian pelayanan lalu lintas penerbangan di wilayah udaranya (mengelola sendiri atau mendelegasikan kepada negara lain berdasarkan pertimbangan standar keselamatan dan efisiensi penerbangan yang ditetapkan oleh ICAO). Karena itu, pada akhirnya Annex 11 Konvensi juga diamendemen dengan memasukkan elemen-elemen penting resolusi ICAO tersebut. Dengan demikian, setiap upaya penataan ulang FIR sudah sepatutnya dilakukan dengan mengacu pada Annex 11 tersebut.
Setelah melalui proses penataan ulang yang lebih memperhatikan aspek teknis dan operasional, saat ini pengelolaan ruang udara di seluruh dunia oleh ICAO dibagi menjadi sekitar 405 FIR yang ruang lingkupnya tidak selalu mengikuti batas wilayah nasional negara. Banyak negara yang mendelegasikan pengelolaan FIR di sebagian wilayah udaranya ke negara lain. Bahkan, paling tidak terdapat 55 negara mendelegasikan pengelolaan pelayanan lalu lintas penerbangan di seluruh wilayah udaranya ke negara lain (pengelolaan pelayanan lalu lintas penerbangan di seluruh wilayah udara Timor Leste diserahkan kepada FIR Ujung Pandang).
FIR dan Keamanan Nasional
Keterkaitan antara FIR dan keamanan nasional juga merupakan salah satu isu yang menjadi persoalan dalam pembahasan di ICAO pada 1962 tersebut. Meskipun ICAO telah menyepakati pendelegasian pengelolaan lalu lintas penerbangan yang melampaui wilayah nasional, masyarakat internasional juga menyadari bahwa persoalan keamanan nasional selalu mendapat perhatian khusus dalam proses perundingan FIR oleh berbagai negara.
Karena itu, dalam praktik, perjanjian internasional tentang pendelegasian FIR juga disertai klausul tentang penarikan kembali pendelegasian dalam situasi krisis yang mengancam keamanan suatu negara. Selain itu, pendelegasian tersebut juga disertai modalitas koordinasi antara militer dengan pihak pelayanan lalu lintas udara. Dalam kaitan ini, ICAO telah mengeluarkan Circular 330 Civil-Military Cooperation in Air Traffic Management yang memuat panduan dan praktik berbagai negara.
Pendelegasian ini tidak mengurangi kewenangan suatu negara dalam menjaga wilayah udaranya. Semua pesawat udara milik negara asing dan pesawat sipil asing yang tidak berjadwal yang akan memasuki wilayah udara suatu negara tetap memerlukan clearance sesuai Konvensi Chicago.
Pendelegasian tersebut pada pokoknya juga tidak memengaruhi kebebasan angkatan udara negara tersebut di ruang udara yang didelegasikan. Namun demikian, Pasal 3 Konvensi Chicago mensyaratkan agar negara ketika mengeluarkan aturan untuk pesawat udara milik negara tersebut seyogianya juga memperhatikan ketentuan keselamatan yang berlaku untuk pesawat sipil.
Kesimpulan
Kerangka kerja perundingan FIR dengan Singapura merupakan sebuah langkah awal diplomasi yang dilakukan pemerintah untuk menata ulang pengelolaan ruang udara yang digunakan untuk memberikan pelayanan lalu lintas udara di atas Natuna, Tarempa, dan Kepulauan Riau. Pengelolaan ruang udara tersebut pada pokoknya terbatas hanya mengenai penyediaan informasi penerbangan guna mencegah terjadinya tabrakan di udara dan mempercepat serta menjamin terwujudnya lalu lintas penerbangan yang teratur.
Meskipun menjaga kedaulatan nasional selalu menjadi pertimbangan utama dalam setiap pelaksanaan hubungan luar negeri, dalam melakukan perundingan dengan Singapura tentu Indonesia tetap harus tetap menghormati ketentuan-ketentuan internasional. Karena itu, sudah sepatutnya upaya penataan ulang FIR lebih mengedepankan pertimbangan teknis dan operasional penerbangan sipil sebagaimana telah ditetapkan oleh ICAO.
Di tingkat internasional, perdebatan mengenai kedaulatan dalam konteks FIR bukan merupakan persoalan baru. Persoalan tersebut telah diselesaikan di ICAO sejak 1962. Negara-negara anggota ICAO pada pokoknya telah menyepakati bahwa kedaulatan adalah sebuah konsep yang dinamis dan kontekstual yang seyogianya diterapkan secara proporsional dalam penataan ulang FIR.
(thm)