Menakar Menteri Jokowi-Ma’ruf

Senin, 21 Oktober 2019 - 07:40 WIB
Menakar Menteri Jokowi-Ma’ruf
Menakar Menteri Jokowi-Ma’ruf
A A A
Adi Prayitno Direktur Eksekutif

Parameter Politik Indonesia



Joko Widodo dan Ma’ruf Amin resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Publik berharap janji Nawacita jilid kedua bisa direalisasi secara maksimal. Terutama pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan baru, penanganan kemiskinan dan pengangguran, serta prospek hukum dan korupsi yang lebih menjanjikan.

Survei nasional Parameter Politik Indonesia yang dilakukan pada 5-12 Oktober 2019 menyuguhkan fakta bahwa kinerja Jokowi di periode pertama relatif baik dengan sejumlah catatan kritis. Publik yang menilai kinerja Jokowi baik mencapai 41,0%, biasa saja 33,4%, buruk 23,3%. Selebihnya tak menjawab. Jika diringkus secara sederhana, kinerja Jokowi sebenarnya sudah baik tapi belum maksimal karena menyisakan sejumlah pekerjaan rumah.

Jokowi dinilai sukses membangun infrastruktur, memberikan bansos, sembako, dana desa, PKH, KIS, dan KIP. Namun pada saat bersamaan Jokowi dianggap kurang maksimal dalam soal kesejahteraan, lapangan pekerjaan, pengurangan kemiskinan, dan harga yang masih mahal. Publik belum merasakan "sentuhan magis" pembangunan infrastruktur yang sinergis dengan persoalan mendasar rakyat. Termasuk juga soal isu pelemahan KPK cukup kuat serta potret hukum yang dinilai masih tebang pilih.

Di periode kedua, mayoritas publik optimistis Jokowi dan Ma’ruf Amin bisa menunaikan janji politiknya. Angka optimisme publik mencapai 67,4%, pesimisme 25,8%, sisanya tak menjawab. Jokowi punya bekal segalanya untuk mewujudkan semua visi misi politiknya. Terutama dukungan parlemen yang maksimal karena nyaris tak ada parpol yang berhasrat menjadi oposisi. Kecuali PKS mungkin atau juga PAN yang belakangan selalu dikaitkan dengan koalisi Jokowi. Itu artinya tak ada halangan berarti yang menjadi hambatan politik serius.

Menteri Siap Kerja

Lima tahun ke depan warisan (legacy) Jokowi dipertaruhkan apakah bisa mewujudkan semua janji politik atau sebaliknya justru jauh dari harapan. Karenanya tak ada pilihan lain selain mencari menteri yang siap kerja total. Bukan menteri yang hati dan pikirannya terbelah dengan kesibukan lain. Lalu apa definisi operasional konsep menteri siap kerja itu?

Secara sederhana menteri siap kerja adalah mereka yang maksimal menghibahkan seluruh hidupnya membantu Jokowi dan Ma’ruf Amin merealisasi janji politik. Terutama soal keberlanjutan pembangunan infrastruktur yang inline dengan kebutuhan mendasar rakyat. Tak boleh ada lagi menteri yang loyalitasnya terbelah (split loyality) dengan aktivitas partai politik.

Menteri siap kerja juga bisa didefinisikan sebagai sosok yang sudah kenal baik dengan gagasan besar Jokowi dan Ma’ruf Amin sehingga punya chemistry sinergis sejak awal. Bukan menteri yang masih meraba-raba kehendak pembangunan ke depan. Karenanya menteri yang direkrut sejatinya individu radikal progresif yang siap pakai dalam kondisi apa pun. Kriteria utama menteri siap kerja adalah memiliki kapasitas, kompetensi, dan integritas memadai. Bukan menteri amatiran sebagai efek hasrat akomodasi politik berlebihan yang membutakan faktor keahlian. Kabinet akan hancur jika tidak diserahkan kepada ahlinya.

Idealnya Jokowi dan Ma’ruf Amin sangat otoritatif menentukan menteri sesuai dengan selera. Bukan tergantung pada kehendak oligarki partai politik yang mendikte. Publik menunggu orisinalitas Jokowi dan Ma’ruf Amin yang tak bisa diintervensi. Seperti pernyataan yang selalu diulang Jokowi bahwa dirinya tak ada beban politik, tak bisa ditekan kelompok mana pun, serta independen dalam memutuskan persoalan strategis.

Meski begitu tak mudah bagi Jokowi mengatur komposisi kabinet di tengah tekanan politik akomodatif. Belum kelar kegaduhan soal postur kabinet yang harus didistribusikan ke partai politik pengusungnya, Jokowi malah dibebani dengan santernya Gerindra dan Demokrat yang ingin merapat. Dalam konteks ini kematangan politik Jokowi diuji dengan semangat tanpa beban dan tanpa tekanan. Itu yang ditunggu publik, yakni soal Jokowi yang bisa "bertangan besi" menentukan para pembantunya sesuai dengan selera, bukan selera partai politik maupun pihak lain yang tak muncul ke permukaan tapi dominan mendikte.

Persoalan Utama Survei Parameter Politik Indonesia merekam setidaknya empat persoalan prioritas yang menjadi perhatian khusus Jokowi dan Ma’ruf ke depan. Pertama , perbaikan di bidang ekonomi, terutama terbukanya kran lapangan pekerjaan baru serta pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran. Janji infrastruktur lanjutan harus mampu menjawab persoalan ini sehingga tak ada lagi alasan sektor ekonomi yang stagnan.

Infrastruktur fisik yang dibangun masif semestinya menjangkau sektor riil rakyat seperti pertanian, nelayan, dan kelompok usaha kecil dan menengah. Apa gunanya infrastruktur jika tak mampu menjawab kesulitan hidup rakyat di berbagai sektor kehidupan. Parameter utama keberhasilan pembangunan infrastruktur terletak pada sejauh mana bisa membuka jejaring dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang lebih merata.

Kedua , meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Lokus utamanya pada peningkatan kualitas kesehatan seperti mengurangi stunting dan meminimalkan kematian ibu hamil. SDM tak mungkin unggul jika masih ada stunting dan gizi buruk. Karenanya biar bagus, pemerintah harus menyuplai gizi dari produsen yang dihasilkan rakyat seperti telur, ikan, daging, dan seterusnya. Bukan gizi yang disuplai korporasi. Jadi duit negara untuk rakyat kembali ke kas nega

Meningkatkan SDM juga sangat terkait dengan pendidikan vokasi berbasis sumber daya masyarakat lokal. Terutama usaha ekonomi yang banyak digeluti rakyat seperti perkebunan, perikanan, dan pertanian yang ditopang kecanggihan teknologi digital 4.0 sebagai upaya fasilitasi untuk memasarkan produksi ekonomi rakyat.

Ketiga , korupsi. Disahkannya revisi UU KPK menjadi kegelisahan banyak kalangan soal masa depan pemberantasan korupsi. Sejumlah pasal jelas sangat melemahkan seperti adanya dewan pengawas yang potensial menghalangi proses penyelidikan dan penyadapan maupun soal kewenangan penyidik yang hanya dari unsur polisi dan jaksa tanpa penyidik independen yang selama ini dilakukan KPK.

Di tengah kegelisahan itulah publik berharap Jokowi berhadapan dengan politisi parlemen dengan mengeluarkan perppu untuk mengeliminasi revisi UU KPK kontroversial. Tak ada jalan lain selain perppu untuk menyelamatkan nasib KPK ke depan. Pilihan sulit memang bagi Jokowi antara mengikuti kehendak partai politik pengusung atau suara rakyat. Tak mudah memang. Jokowi pasti sangat dilematis.

Keempat , penegakan hukum yang adil. Tajam ke semua kalangan tanpa pandang bulu. Ada kesan selama ini praktik penegakan hukum timpang. Pihak yang ditengarai kritis kerap bermasalah namun untuk pendukung penguasa sering kali lolos dan tak pernah diproses. Kesan itulah yang akut menjejali memori publik sehingga ada kesan hukum berat sebelah

Tentu penegakan hukum yang adil menjadi harapan semua orang. Di tengah demokrasi yang kian transparan mestinya tak ada lagi stigma negatif dan perilaku hukum yang timpang. Jika ini dibiarkan berlarut bukan mustahil bangsa ini akan berjalan ke belakangan. Sebab salah satu instrumen penting kesuksesan membangun demokrasi yang sehat adalah penegakan hukum yang berintegritas dan bermartabat.
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2416 seconds (0.1#10.140)