Matinya Etika Pendengung Media Sosial
A
A
A
Agus Zaini
Tenaga Ahli Menko Polhukam
DIGITALISASI memang tempat kericuhan bermula. Awalnya media sosial (medsos) bermanfaat guna merekatkan yang jauh dan sebagai kanal berbagi informasi. Dalam perkembangannya, justru jadi semacam industri yang bisa dipesan untuk rupa-rupa kepentingan; mulai memasarkan suatu produk hingga kampanye politik, bahkan pabrikasi fitnah.
Dampaknya, hoaks menjamur. Bagi pegiat medsos “bayaran” apa pun boleh dilakukan, termasuk melakukan fitnah. Maka tak heran, medsos, seperti Facebook ataupun Twitter, dianggap memecah belah, menciptakan jurang polarisasi yang berujung pada kericuhan tak berkesudahan. Sudah banyak contoh kasus yang sebetulnya mengajak kita berpikir ulang bahwa persoalan baru ada di depan mata. Ajakan menyemai literasi digital untuk berinternet sehat rasanya belum cukup.
Dalam hiruk-pikuk medsos, yang dikedepankan bukan argumen, tetapi sentimen. Maka buku karangan Tom Nichols, berjudul The Death of Expertise (2017) menemukan pijakannya. Kepandiran tumbuh subur di dunia yang serbainstan ini, profesor atau orang yang punya kepakaran dikalahkan oleh suatu akun (atau seseorang) yang mengantongi banyak followers. Bahkan jika terjadi silang pendapat, para pengikut itu mencaci maki lawan bicara tanpa ampun, menyerang secara kalap yang tendensius bersifat personal.
Padahal yang dibutuhkan bukan "berdebat", tetapi dialog bila ingin menggapai pencerahan dari berbalas cuitan. Berdebat hanya butuh retorika dan suara keras keroyokan. Sementara dialog semua pihak saling memahami dan mencari titik temu; “saya benar, kamu belum tentu salah”.
Wahana Sangka Curiga
Selain mirip keranjang hoaks, medsos juga bergeser jadi wahana sangka curiga. Orang gampang berkomentar tanpa berhitung dampaknya, seolah tidak merasa memikul beban moral etik antarsesama. Kasus terbaru soal upaya pembunuhan Menko Polhukam Wiranto pada 10 Oktober 2019. Hampir saja ia meregang nyawa lantaran luka tusukan, tapi ada saja yang beranggapan bahwa itu rekayasa.
Bayangkan akun Twitter @hanumrais enteng mencuit: “settingan agar dana deradikalisasi terus mengucur” bahkan ia menuding peristiwa itu hanya framing belaka. Tentu komentar Hanum atas Wiranto, sungguh melukai perasaan. Dia belum tentu mampu bertanggung jawab apabila dikejar pembuktian dari tuduhannya.
Sejak lama, teknologi informasi yang begitu pesat saat ini membuka keran kemungkinan manusia hidup dalam satu ruang. Kini tukang ojek bisa bersanggahan dengan seorang dosen, yang secara kapasitas jauh berbeda. Ada (being) atau kenyataan yang senyatanya melebur ke dalam dunia citraan. Mitos, gosip, dugaan saling berkelindan dalam dunia virtual.
Selain akun @hanumrais, akun Instagram atas nama @rockygerung mengunggah gambar editan detik-detik penusukan Wiranto; “sudahlah pak wir, hentikan dramamu...” begitu potongan caption-nya. Senada dengan Hanum, gambar itu menggiring opini bahwa peristiwa itu sandiwara.
Rasanya saat ini publik sedang sakit, defisit simpati yang mungkin sudah berada pada titik nadir kebangkrutan. Banyak alasan, bisa karena kekecewaan berbeda pandangan atau beberapa alasan lain.
Komentar bernada miring juga datang dari akun Twitter dan Instagram mantan artis Marissa Haque. "Kemarin di TV saya ndak melihat ada darah di tubuh Pak W. Dan semua berita datang dari satu sumber video HP dengan posisi adegan tertutup pintu mobil satu dengan kaca terbuka lalu pintu satunya dengan kaca tertutup ber-riben gelap,” cuitnya pada Jumat, 11 Oktober 2019.
Sebagian besar netizen termasuk istri Ikang Fawzi itu, agaknya kerap terjebak pada alur berpikir yang mengada-ada, mengaitkan sesuatu yang konteksnya sangat jauh berbeda. Dan, seolah-olah tahu persis apa yang terjadi. "Berita datang dari satu sumber video HP," katanya. Pertanyaannya, dari mana ia tahu? Kalau bukan mengarang atau hanya dengar dari selentingan gosip.
Ujaran Marissa dikategorikan false context, antara konten dan narasi salah atau tidak sinkron. Sekaligus ia melakukan misleading content yang memelintir konten untuk niatan menjelekkan. Pengalamannya syuting sebagai artis dengan mengilustrasikan kondisi kaca mobil yang terbuka pada peristiwa Wiranto, sangat tidak ada kaitannya.
Selain hanya sebagai narasi tanpa data, yang ditujukan menyudutkan. Deretan gelar akademik hingga level doktor, ternyata tidak membuat Marissa dan sebagian orang, mampu berpikir logis dan bijak. Ternyata untuk bisa cerdas tidak selalu harus bergelar doktor. Seperti diketahui, per 12 Oktober 2019 siang, postingannya telah dihapus. Artinya, dia mungkin sadar bahwa komentarnya bernada halusinasi.
Kasus Marissa itu diharapkan bisa jadi pelajaran bersama bahwa lebih baik menahan diri berkomentar, ketimbang berhalusinasi, dan berujung malu sendiri. Cek dan ricek penting dalam bermedia sosial, ketimbang merasa paling benar. Apalagi sampai rela meninggalkan adab sebagai orang beragama untuk selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Wiranto dan keluarga sedang berduka, jika tidak bisa memberikan doa, diam rasanya lebih dari cukup.
Michel Hardt dan Antonio Negri (dalam Empire, 2000) berpendapat dunia virtual (dalam bentuk medsos), sebuah dunia yang tak lagi punya batasan. Siapa yang sanggup membendung jalan pikiran orang. Tidak ada yang mampu mengukur kekuatan, termasuk nilai-nilai. Jelas kita memasuki dunia yang melampaui ukuran.
Teks-teks dan kode ditempatkan sebagai reproduksi wacana yang membentuk dunianya sendiri. Dalam cuitan akun Hanum dan akun Instagram atas nama Rocky Gerung memperlihatkan, antara fakta, teks, penulis, dan pembacanya mengalami keterpisahan.
Sementara pembaca yang menangkap pesan dari tools viral; punya kedaulatan sendiri saat melakukan penafsiran pada sebuah teks sesuai dengan kondisi sosiokultural masing-masing.
Singkat cerita, pengalaman sosiokultural para pendengung; membentuk semacam structural conduciveness di mana berlangsung tindakan kolektif yang tergerak dari kesamaan nasib, barisan perjuangan, kemiripan pandangan ataupun ideologi. Histeria pun meletup yang mendorong orang jadi sangat diskriminatif dan di luar kebiasaan sehingga lahir keyakinan umum yang membentuk sebuah faktor precipitating (kecurigaan atau rasa cemas).
Dengan begitu desas-desus dimobilisasi, sangka curiga gampang dipercaya sebagai kebenaran, lalu viral dan menular tanpa pengecekan ulang. Kemudian diikuti oleh orang lain dengan pikiran kolektif yang sama berdasarkan pengalaman kelompoknya.
Reaksi orang seperti Hanum; disebut sebagai milling, di mana proses kegelisahan tergugah; mengoyak emosional secara individu per individu yang membuat orang jadi mudah berubah irasional. Cuitan itu diarahkan mengaduk-ngaduk perasaan individu bagian dari kelompoknya sehingga bergerak dengan sangat emosional.
Kendati Prabowo Subianto yang pernah jadi rival Jokowi pada Pemilu Presiden 2019 lalu berjiwa besar dan menghargai proses demokrasi. Malah Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu berkomitmen membantu pemerintah dalam membangun bangsa. Kenapa bekas pendukungnya malah nyinyir tanpa henti. Ringkasnya, kembali ke pembahasan awal, produsen informasi terbilang sangat subjektif dan tidak lepas dari kuasa kepentingan sehingga memanipulasi informasi “dihalalkan” demi tujuan praktis mereka.
Jika dikaitkan dengan pemikiran Derrida, situasi itu bisa disebut sebagai interpretasi atas interpretasi (interpretation of interpretation) terhadap berita, teks-teks, desas-desus yang berserakan. Maka para pendengung medsos bebas melakukan rekontekstualisasi yang kemudian melahirkan tafsiran baru yang liar bahkan tanpa didukung data-data kuat; meskipun melukai kemanusiaan sekalipun.
Sebagaimana Hanum yang seolah bergembira dan memilih menyingkirkan empatinya atas peristiwa upaya pembunuhan yang menimpa Menko Polhukam Wiranto.
Tenaga Ahli Menko Polhukam
DIGITALISASI memang tempat kericuhan bermula. Awalnya media sosial (medsos) bermanfaat guna merekatkan yang jauh dan sebagai kanal berbagi informasi. Dalam perkembangannya, justru jadi semacam industri yang bisa dipesan untuk rupa-rupa kepentingan; mulai memasarkan suatu produk hingga kampanye politik, bahkan pabrikasi fitnah.
Dampaknya, hoaks menjamur. Bagi pegiat medsos “bayaran” apa pun boleh dilakukan, termasuk melakukan fitnah. Maka tak heran, medsos, seperti Facebook ataupun Twitter, dianggap memecah belah, menciptakan jurang polarisasi yang berujung pada kericuhan tak berkesudahan. Sudah banyak contoh kasus yang sebetulnya mengajak kita berpikir ulang bahwa persoalan baru ada di depan mata. Ajakan menyemai literasi digital untuk berinternet sehat rasanya belum cukup.
Dalam hiruk-pikuk medsos, yang dikedepankan bukan argumen, tetapi sentimen. Maka buku karangan Tom Nichols, berjudul The Death of Expertise (2017) menemukan pijakannya. Kepandiran tumbuh subur di dunia yang serbainstan ini, profesor atau orang yang punya kepakaran dikalahkan oleh suatu akun (atau seseorang) yang mengantongi banyak followers. Bahkan jika terjadi silang pendapat, para pengikut itu mencaci maki lawan bicara tanpa ampun, menyerang secara kalap yang tendensius bersifat personal.
Padahal yang dibutuhkan bukan "berdebat", tetapi dialog bila ingin menggapai pencerahan dari berbalas cuitan. Berdebat hanya butuh retorika dan suara keras keroyokan. Sementara dialog semua pihak saling memahami dan mencari titik temu; “saya benar, kamu belum tentu salah”.
Wahana Sangka Curiga
Selain mirip keranjang hoaks, medsos juga bergeser jadi wahana sangka curiga. Orang gampang berkomentar tanpa berhitung dampaknya, seolah tidak merasa memikul beban moral etik antarsesama. Kasus terbaru soal upaya pembunuhan Menko Polhukam Wiranto pada 10 Oktober 2019. Hampir saja ia meregang nyawa lantaran luka tusukan, tapi ada saja yang beranggapan bahwa itu rekayasa.
Bayangkan akun Twitter @hanumrais enteng mencuit: “settingan agar dana deradikalisasi terus mengucur” bahkan ia menuding peristiwa itu hanya framing belaka. Tentu komentar Hanum atas Wiranto, sungguh melukai perasaan. Dia belum tentu mampu bertanggung jawab apabila dikejar pembuktian dari tuduhannya.
Sejak lama, teknologi informasi yang begitu pesat saat ini membuka keran kemungkinan manusia hidup dalam satu ruang. Kini tukang ojek bisa bersanggahan dengan seorang dosen, yang secara kapasitas jauh berbeda. Ada (being) atau kenyataan yang senyatanya melebur ke dalam dunia citraan. Mitos, gosip, dugaan saling berkelindan dalam dunia virtual.
Selain akun @hanumrais, akun Instagram atas nama @rockygerung mengunggah gambar editan detik-detik penusukan Wiranto; “sudahlah pak wir, hentikan dramamu...” begitu potongan caption-nya. Senada dengan Hanum, gambar itu menggiring opini bahwa peristiwa itu sandiwara.
Rasanya saat ini publik sedang sakit, defisit simpati yang mungkin sudah berada pada titik nadir kebangkrutan. Banyak alasan, bisa karena kekecewaan berbeda pandangan atau beberapa alasan lain.
Komentar bernada miring juga datang dari akun Twitter dan Instagram mantan artis Marissa Haque. "Kemarin di TV saya ndak melihat ada darah di tubuh Pak W. Dan semua berita datang dari satu sumber video HP dengan posisi adegan tertutup pintu mobil satu dengan kaca terbuka lalu pintu satunya dengan kaca tertutup ber-riben gelap,” cuitnya pada Jumat, 11 Oktober 2019.
Sebagian besar netizen termasuk istri Ikang Fawzi itu, agaknya kerap terjebak pada alur berpikir yang mengada-ada, mengaitkan sesuatu yang konteksnya sangat jauh berbeda. Dan, seolah-olah tahu persis apa yang terjadi. "Berita datang dari satu sumber video HP," katanya. Pertanyaannya, dari mana ia tahu? Kalau bukan mengarang atau hanya dengar dari selentingan gosip.
Ujaran Marissa dikategorikan false context, antara konten dan narasi salah atau tidak sinkron. Sekaligus ia melakukan misleading content yang memelintir konten untuk niatan menjelekkan. Pengalamannya syuting sebagai artis dengan mengilustrasikan kondisi kaca mobil yang terbuka pada peristiwa Wiranto, sangat tidak ada kaitannya.
Selain hanya sebagai narasi tanpa data, yang ditujukan menyudutkan. Deretan gelar akademik hingga level doktor, ternyata tidak membuat Marissa dan sebagian orang, mampu berpikir logis dan bijak. Ternyata untuk bisa cerdas tidak selalu harus bergelar doktor. Seperti diketahui, per 12 Oktober 2019 siang, postingannya telah dihapus. Artinya, dia mungkin sadar bahwa komentarnya bernada halusinasi.
Kasus Marissa itu diharapkan bisa jadi pelajaran bersama bahwa lebih baik menahan diri berkomentar, ketimbang berhalusinasi, dan berujung malu sendiri. Cek dan ricek penting dalam bermedia sosial, ketimbang merasa paling benar. Apalagi sampai rela meninggalkan adab sebagai orang beragama untuk selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Wiranto dan keluarga sedang berduka, jika tidak bisa memberikan doa, diam rasanya lebih dari cukup.
Michel Hardt dan Antonio Negri (dalam Empire, 2000) berpendapat dunia virtual (dalam bentuk medsos), sebuah dunia yang tak lagi punya batasan. Siapa yang sanggup membendung jalan pikiran orang. Tidak ada yang mampu mengukur kekuatan, termasuk nilai-nilai. Jelas kita memasuki dunia yang melampaui ukuran.
Teks-teks dan kode ditempatkan sebagai reproduksi wacana yang membentuk dunianya sendiri. Dalam cuitan akun Hanum dan akun Instagram atas nama Rocky Gerung memperlihatkan, antara fakta, teks, penulis, dan pembacanya mengalami keterpisahan.
Sementara pembaca yang menangkap pesan dari tools viral; punya kedaulatan sendiri saat melakukan penafsiran pada sebuah teks sesuai dengan kondisi sosiokultural masing-masing.
Singkat cerita, pengalaman sosiokultural para pendengung; membentuk semacam structural conduciveness di mana berlangsung tindakan kolektif yang tergerak dari kesamaan nasib, barisan perjuangan, kemiripan pandangan ataupun ideologi. Histeria pun meletup yang mendorong orang jadi sangat diskriminatif dan di luar kebiasaan sehingga lahir keyakinan umum yang membentuk sebuah faktor precipitating (kecurigaan atau rasa cemas).
Dengan begitu desas-desus dimobilisasi, sangka curiga gampang dipercaya sebagai kebenaran, lalu viral dan menular tanpa pengecekan ulang. Kemudian diikuti oleh orang lain dengan pikiran kolektif yang sama berdasarkan pengalaman kelompoknya.
Reaksi orang seperti Hanum; disebut sebagai milling, di mana proses kegelisahan tergugah; mengoyak emosional secara individu per individu yang membuat orang jadi mudah berubah irasional. Cuitan itu diarahkan mengaduk-ngaduk perasaan individu bagian dari kelompoknya sehingga bergerak dengan sangat emosional.
Kendati Prabowo Subianto yang pernah jadi rival Jokowi pada Pemilu Presiden 2019 lalu berjiwa besar dan menghargai proses demokrasi. Malah Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu berkomitmen membantu pemerintah dalam membangun bangsa. Kenapa bekas pendukungnya malah nyinyir tanpa henti. Ringkasnya, kembali ke pembahasan awal, produsen informasi terbilang sangat subjektif dan tidak lepas dari kuasa kepentingan sehingga memanipulasi informasi “dihalalkan” demi tujuan praktis mereka.
Jika dikaitkan dengan pemikiran Derrida, situasi itu bisa disebut sebagai interpretasi atas interpretasi (interpretation of interpretation) terhadap berita, teks-teks, desas-desus yang berserakan. Maka para pendengung medsos bebas melakukan rekontekstualisasi yang kemudian melahirkan tafsiran baru yang liar bahkan tanpa didukung data-data kuat; meskipun melukai kemanusiaan sekalipun.
Sebagaimana Hanum yang seolah bergembira dan memilih menyingkirkan empatinya atas peristiwa upaya pembunuhan yang menimpa Menko Polhukam Wiranto.
(whb)