Tantangan dan Ujian Kematangan Politik Puan
A
A
A
Rahmat Sahid
Jurnalis, Kolumnis, Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno
PROSES pelantikan anggota DPR periode 2019–2024 ditandai dengan opini cukup dominan mengenai dipilihnya Puan Maharani secara aklamasi sebagai ketua DPR. Ia mewakili Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan pemenang Pemilu 2019.
Sebagaimana diketahui, penetapan pimpinan DPR berdasarkan payung hukum bernama Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Undang-undang tersebut menentukan susunan dan mekanisme, yakni pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua—yang berasal dari partai politik masing-masing berdasarkan urutan perolehan suara dan kursi terbanyak di parlemen.
Dengan aturan dan mekanisme yang tertera di UU MD3, otomatis posisi ketua DPR menjadi hak Fraksi PDIP. Dalam konteks ini, PDIP menjadi semacam pemecah rekor, dengan mengukir sejarah karena bisa menugaskan kader perempuan sebagai ketua DPR—menjadi yang pertama sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Puan menyusul sang ibu, Megawati Soekarnoputri, yang mengukir sejarah sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia. Secara kebetulan juga, kedua perempuan itu merupakan penerus trah Bung Karno, presiden pertama Indonesia setelah bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Dari sisi biologis, Puan memang cucu dari sang Proklamator. Tetapi, jika hanya dengan faktor itu penilaian atas kapasitas dan kapabilitas Puan sebagai ketua DPR didasarkan, juga rasanya tak adil. Nyatanya, Puan dalam kancah politik memang tak sekadar ”bermodal” cucu Bung Karno. Ia memang dialiri darah politik yang kemudian menuntun nalurinya terjun ke dunia politik. Tetapi, Puan juga berproses menjadikan kekuasaan politik berwajah kerakyatan sebagaimana konsep marhaenisme yang digali oleh kakeknya.
Mengacu pada perjalanan politik Puan, selain karena faktor gen dan lingkungan politik, dia juga banyak digembleng dan belajar langsung dalam dinamika politik yang sejak remaja ia saksikan langsung di rumahnya—sejak kecil hingga remaja. Itu setidaknya menjadi bekal dasar sebelum terjun langsung ke dunia politik pada 2007. Ia kemudian menjadi caleg terpilih pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Ditakdirkan sebagai putri Megawati Soekarnoputri juga menjadi keuntungan secara biologis dan historis bagi Puan Maharani. Selain menjadi ketua umum PDIP—partai terbesar saat ini—ibunya juga presiden kelima Republik Indonesia. Bahkan, dalam karier politiknya Megawati pernah menjadi anggota DPR dan wakil presiden. Namun, catatan mentereng Megawati juga bukan satu-satunya dasar untuk menilai bahwa karena faktor itulah Puan ditugaskan menduduki posisi ketua DPR.
Sebab, nyatanya Puan sendiri sudah mengukir sekian prestasi, baik dalam kerja-kerja politik maupun dalam kecakapannya mengemban amanah di jabatan publik. Antara lain ditunjukkan dengan kecakapannya memimpin Fraksi PDIP dan saat menjadi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) di Kabinet Indonesia Kerja.
Di dalam kerja-kerja politik, Puan adalah panglima yang berada di garda terdepan dalam pemenangan Pemilu 2014 lalu. Hasilnya, PDIP menjadi jawara dan mengantarkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden-wakil presiden periode 2014–2019. Contoh fantastis lain dalam kerja politik Puan adalah ketika sebagai komandan pemenangan yang berhasil pada Pilkada Jawa Tengah 2013, meskipun saat itu calon yang diusung sangat rendah tingkat keterpilihannya, yakni pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko.
Keberkahan lain Puan, selain sebagai cucu Bung Karno dan putri Megawati, sang ayah, yakni almarhum Taufiq Kiemas, juga pernah menjabat sebagai ketua MPR (2009–2013). Jabatan itu melengkapi gelar “maestro” dan “politisi ulung” pada diri Taufiq karena kelihaiannya dalam memerankan diri sebagai jembatan mengelola keberagaman dan perbedaan pada bangsa ini.
Bukan hanya karena faktor itu saja alasan mengapa Puan layak menggantikan dan meneruskan peran sang ayah dalam memimpin lembaga tinggi negara dengan suasana sejuk tanpa mengurangi bobot kewibawaan dan produktivitasnya. Nyatanya, dalam literatur dan kesaksian sejarah, Puan memang sudah ditempa langsung oleh ayahnya dan diterjunkan langsung oleh ibunya dalam berbagai dinamika serta kerja-kerja politik agar ketika diberikan penugasan dan amanat bisa menunjukkan kematangan dan kemampuannya.
Puan, yang lahir pada 6 September 1973 di Jakarta, misalnya langsung merasakan persinggungan politik sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu Megawati mulai aktif kembali dalam kancah perpolitikan Indonesia dan karenanya mulai sering berkeliling Indonesia. Dari situ Puan kecil mulai menyaksikan bagaimana seorang politisi bekerja.
Persinggungan dengan dunia politik semakin dirasakan Puan pada masa sekolah menengah atas (SMA), karena ia mulai mendampingi dan menyaksikan langsung ibunya dalam kegiatan politik. Puan bahkan pernah menyaksikan langsung saat Megawati dikonfrontasi oleh utusan penguasa yang melarang masuk struktur Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Puan yang baru beranjak remaja kala itu belajar bagaimana tenangnya Megawati menghadapi tekanan politik dan tetap berpegang teguh pada perjuangan.
Ketika mengenyam bangku kuliah di Program Studi Komunikasi Massa, FISIP, Universitas Indonesia (UI), naluri politik Puan tersalurkan saat magang di majalah Forum Keadilan. Di sana ia merasakan tantangan dunia jurnalistik, seperti mencari narasumber dan kesibukan di kantor menjelang naik cetak.
Sebagai putri Taufiq Kiemas, jauh sebelum bapaknya menjadi ketua MPR, ia juga setia mendampingi ibunya berjuang melewati berbagai peristiwa politik yang melahirkan PDIP. Naluri sebagai komunikator, mediator, dan jembatan komunikasi yang mengalir dari Taufiq Kiemas sudah muncul pada sosok Puan remaja kala itu yang belajar langsung saat para aktivis serta pejuang reformasi berkumpul di rumah kedua orang tuanya di Kebagusan, Jakarta Selatan. Puan ada di situ mendengar berbagai pembicaraan mereka, termasuk membantu di dapur umum.
Baru pada 2006 Puan akhirnya mulai aktif terlibat dalam organisasi politik. Di organisasi kepemudaan, ia masuk di DPP KNPI Bidang Luar Negeri. Tak lama kemudian ia masuk dalam struktur DPP PDIP. Pemilu 2009 menjadi perjuangan pertama Puan dalam membangun basis politik sebagai calon anggota legislatif dari Dapil Jawa Tengah V (Surakarta, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali). Kala itu ia terpilih dengan suara terbanyak kedua di tingkat nasional, yaitu 242.504 suara.
Di DPR sejak 2009, ia punya pengalaman di Komisi VI yang mengawasi BUMN, perdagangan, koperasi, dan usaha kecil menengah. Ia juga punya pengalaman di Badan Kerja Sama Antarparlemen. Di internal PDIP, ia menapak secara berjenjang sebagai ketua I Fraksi PDIP, kemudian ketua Fraksi PDIP di DPR. Oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, ia juga berturut-turut dipercaya sebagai ketua Bidang Politik DPP PDIP yang memiliki peran strategis dalam penentuan sikap politik dan komunikasi dengan organisasi lainnya.
Deretan pengalaman politik dan kemampuannya dalam sistem manajemen itulah yang salah satunya membuat Presiden Joko Widodo dalam lima tahun periode pertamanya memimpin bangsa ini nyaman dengan kinerjanya. Secara objektif, dalam mengoordinasikan kementerian di bawah Menko PMK siapa pun bisa dilihat kondusivitasnya. Selain itu, Puan punya bobot mumpuni ketika harus mewakili Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan.
Sebagai sosok yang menekankan pentingnya sistem manajemen, pengalamannya dalam berpartai, memimpin fraksi, dan kinerjanya sebagai Menko PMK, tidak adil ketika sejak awal penilaian diberikan kepada sosok Puan hanya karena faktor trah dan keturunan. Sebab, jika mau objektif pada sejumlah catatan kinerja dan pengalamannya, tentu sulit mengingkari penilaian bahwa ia memang layak dan pantas menduduki posisi sebagai ketua DPR RI.
Bauran dari kerja keras dan kematangan politik Puan tentu akan dilihat oleh publik dalam kinerjanya lima tahun ke depan. Ada banyak tantangan dan setumpuk harapan untuk bisa lebih meyakinkan rakyat bahwa lembaga DPR yang selama ini dalam cibiran akan mengalami perbaikan dan lebih bisa diharapkan.
Jabatan dan penugasan amanat sebagai ketua DPR sekaligus menjadi tantangan serta ujian bagi Puan untuk bisa menunjukkan kelenturan politik yang diwariskan ayahnya dan konsistensi politik yang ditanamkan ibunya. Dengan begitu, dalam memimpin DPR ke depan ia bisa lebih kondusif, produktif, aspiratif, serta mampu mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan politik strategis di DPR.
Sesuai dengan apa yang dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945, khususnya dalam mewujudkan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara-semua buat semua-satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.”
Selamat bekerja, Mbak Puan Maharani.
Jurnalis, Kolumnis, Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno
PROSES pelantikan anggota DPR periode 2019–2024 ditandai dengan opini cukup dominan mengenai dipilihnya Puan Maharani secara aklamasi sebagai ketua DPR. Ia mewakili Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan pemenang Pemilu 2019.
Sebagaimana diketahui, penetapan pimpinan DPR berdasarkan payung hukum bernama Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Undang-undang tersebut menentukan susunan dan mekanisme, yakni pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua—yang berasal dari partai politik masing-masing berdasarkan urutan perolehan suara dan kursi terbanyak di parlemen.
Dengan aturan dan mekanisme yang tertera di UU MD3, otomatis posisi ketua DPR menjadi hak Fraksi PDIP. Dalam konteks ini, PDIP menjadi semacam pemecah rekor, dengan mengukir sejarah karena bisa menugaskan kader perempuan sebagai ketua DPR—menjadi yang pertama sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Puan menyusul sang ibu, Megawati Soekarnoputri, yang mengukir sejarah sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia. Secara kebetulan juga, kedua perempuan itu merupakan penerus trah Bung Karno, presiden pertama Indonesia setelah bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Dari sisi biologis, Puan memang cucu dari sang Proklamator. Tetapi, jika hanya dengan faktor itu penilaian atas kapasitas dan kapabilitas Puan sebagai ketua DPR didasarkan, juga rasanya tak adil. Nyatanya, Puan dalam kancah politik memang tak sekadar ”bermodal” cucu Bung Karno. Ia memang dialiri darah politik yang kemudian menuntun nalurinya terjun ke dunia politik. Tetapi, Puan juga berproses menjadikan kekuasaan politik berwajah kerakyatan sebagaimana konsep marhaenisme yang digali oleh kakeknya.
Mengacu pada perjalanan politik Puan, selain karena faktor gen dan lingkungan politik, dia juga banyak digembleng dan belajar langsung dalam dinamika politik yang sejak remaja ia saksikan langsung di rumahnya—sejak kecil hingga remaja. Itu setidaknya menjadi bekal dasar sebelum terjun langsung ke dunia politik pada 2007. Ia kemudian menjadi caleg terpilih pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Ditakdirkan sebagai putri Megawati Soekarnoputri juga menjadi keuntungan secara biologis dan historis bagi Puan Maharani. Selain menjadi ketua umum PDIP—partai terbesar saat ini—ibunya juga presiden kelima Republik Indonesia. Bahkan, dalam karier politiknya Megawati pernah menjadi anggota DPR dan wakil presiden. Namun, catatan mentereng Megawati juga bukan satu-satunya dasar untuk menilai bahwa karena faktor itulah Puan ditugaskan menduduki posisi ketua DPR.
Sebab, nyatanya Puan sendiri sudah mengukir sekian prestasi, baik dalam kerja-kerja politik maupun dalam kecakapannya mengemban amanah di jabatan publik. Antara lain ditunjukkan dengan kecakapannya memimpin Fraksi PDIP dan saat menjadi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) di Kabinet Indonesia Kerja.
Di dalam kerja-kerja politik, Puan adalah panglima yang berada di garda terdepan dalam pemenangan Pemilu 2014 lalu. Hasilnya, PDIP menjadi jawara dan mengantarkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden-wakil presiden periode 2014–2019. Contoh fantastis lain dalam kerja politik Puan adalah ketika sebagai komandan pemenangan yang berhasil pada Pilkada Jawa Tengah 2013, meskipun saat itu calon yang diusung sangat rendah tingkat keterpilihannya, yakni pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko.
Keberkahan lain Puan, selain sebagai cucu Bung Karno dan putri Megawati, sang ayah, yakni almarhum Taufiq Kiemas, juga pernah menjabat sebagai ketua MPR (2009–2013). Jabatan itu melengkapi gelar “maestro” dan “politisi ulung” pada diri Taufiq karena kelihaiannya dalam memerankan diri sebagai jembatan mengelola keberagaman dan perbedaan pada bangsa ini.
Bukan hanya karena faktor itu saja alasan mengapa Puan layak menggantikan dan meneruskan peran sang ayah dalam memimpin lembaga tinggi negara dengan suasana sejuk tanpa mengurangi bobot kewibawaan dan produktivitasnya. Nyatanya, dalam literatur dan kesaksian sejarah, Puan memang sudah ditempa langsung oleh ayahnya dan diterjunkan langsung oleh ibunya dalam berbagai dinamika serta kerja-kerja politik agar ketika diberikan penugasan dan amanat bisa menunjukkan kematangan dan kemampuannya.
Puan, yang lahir pada 6 September 1973 di Jakarta, misalnya langsung merasakan persinggungan politik sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu Megawati mulai aktif kembali dalam kancah perpolitikan Indonesia dan karenanya mulai sering berkeliling Indonesia. Dari situ Puan kecil mulai menyaksikan bagaimana seorang politisi bekerja.
Persinggungan dengan dunia politik semakin dirasakan Puan pada masa sekolah menengah atas (SMA), karena ia mulai mendampingi dan menyaksikan langsung ibunya dalam kegiatan politik. Puan bahkan pernah menyaksikan langsung saat Megawati dikonfrontasi oleh utusan penguasa yang melarang masuk struktur Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Puan yang baru beranjak remaja kala itu belajar bagaimana tenangnya Megawati menghadapi tekanan politik dan tetap berpegang teguh pada perjuangan.
Ketika mengenyam bangku kuliah di Program Studi Komunikasi Massa, FISIP, Universitas Indonesia (UI), naluri politik Puan tersalurkan saat magang di majalah Forum Keadilan. Di sana ia merasakan tantangan dunia jurnalistik, seperti mencari narasumber dan kesibukan di kantor menjelang naik cetak.
Sebagai putri Taufiq Kiemas, jauh sebelum bapaknya menjadi ketua MPR, ia juga setia mendampingi ibunya berjuang melewati berbagai peristiwa politik yang melahirkan PDIP. Naluri sebagai komunikator, mediator, dan jembatan komunikasi yang mengalir dari Taufiq Kiemas sudah muncul pada sosok Puan remaja kala itu yang belajar langsung saat para aktivis serta pejuang reformasi berkumpul di rumah kedua orang tuanya di Kebagusan, Jakarta Selatan. Puan ada di situ mendengar berbagai pembicaraan mereka, termasuk membantu di dapur umum.
Baru pada 2006 Puan akhirnya mulai aktif terlibat dalam organisasi politik. Di organisasi kepemudaan, ia masuk di DPP KNPI Bidang Luar Negeri. Tak lama kemudian ia masuk dalam struktur DPP PDIP. Pemilu 2009 menjadi perjuangan pertama Puan dalam membangun basis politik sebagai calon anggota legislatif dari Dapil Jawa Tengah V (Surakarta, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali). Kala itu ia terpilih dengan suara terbanyak kedua di tingkat nasional, yaitu 242.504 suara.
Di DPR sejak 2009, ia punya pengalaman di Komisi VI yang mengawasi BUMN, perdagangan, koperasi, dan usaha kecil menengah. Ia juga punya pengalaman di Badan Kerja Sama Antarparlemen. Di internal PDIP, ia menapak secara berjenjang sebagai ketua I Fraksi PDIP, kemudian ketua Fraksi PDIP di DPR. Oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, ia juga berturut-turut dipercaya sebagai ketua Bidang Politik DPP PDIP yang memiliki peran strategis dalam penentuan sikap politik dan komunikasi dengan organisasi lainnya.
Deretan pengalaman politik dan kemampuannya dalam sistem manajemen itulah yang salah satunya membuat Presiden Joko Widodo dalam lima tahun periode pertamanya memimpin bangsa ini nyaman dengan kinerjanya. Secara objektif, dalam mengoordinasikan kementerian di bawah Menko PMK siapa pun bisa dilihat kondusivitasnya. Selain itu, Puan punya bobot mumpuni ketika harus mewakili Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan.
Sebagai sosok yang menekankan pentingnya sistem manajemen, pengalamannya dalam berpartai, memimpin fraksi, dan kinerjanya sebagai Menko PMK, tidak adil ketika sejak awal penilaian diberikan kepada sosok Puan hanya karena faktor trah dan keturunan. Sebab, jika mau objektif pada sejumlah catatan kinerja dan pengalamannya, tentu sulit mengingkari penilaian bahwa ia memang layak dan pantas menduduki posisi sebagai ketua DPR RI.
Bauran dari kerja keras dan kematangan politik Puan tentu akan dilihat oleh publik dalam kinerjanya lima tahun ke depan. Ada banyak tantangan dan setumpuk harapan untuk bisa lebih meyakinkan rakyat bahwa lembaga DPR yang selama ini dalam cibiran akan mengalami perbaikan dan lebih bisa diharapkan.
Jabatan dan penugasan amanat sebagai ketua DPR sekaligus menjadi tantangan serta ujian bagi Puan untuk bisa menunjukkan kelenturan politik yang diwariskan ayahnya dan konsistensi politik yang ditanamkan ibunya. Dengan begitu, dalam memimpin DPR ke depan ia bisa lebih kondusif, produktif, aspiratif, serta mampu mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan politik strategis di DPR.
Sesuai dengan apa yang dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945, khususnya dalam mewujudkan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara-semua buat semua-satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.”
Selamat bekerja, Mbak Puan Maharani.
(thm)